ABOUT ISLAM

Minggu, 30 Januari 2011

KETIKA TOKOH AGAMA BERBOHONG

Beberapa waktu lalu beberapa tokoh agama mengkritik pemerintah, dengan menyatakan bahwa pemerintah berbohong. Kritik ini tentu dimaksudkan agar jalannya pemerintahan berjalan semakin baik, sehingga rakyat semakin sejahtera.


Tetapi, bagaimana jika ada tokoh agama yang berbohong? Kejadian ini tentulah sangat disayangkan, dan tidaklah seharusnya hal ini terjadi. Tokoh agama adalah tokoh yang dekat dengan Tuhan, oleh karena itu ia tidak layak berbohong.


Tetapi, apa indikator kebohongan tokoh agama? Sebagai penentu indikator kebohongan tokoh agama bukanlah manusia, melainkan haruslah Tuhan. Hal ini dikarenakan tokoh agama bergerak dalam profesi yang berkaitan dengan Tuhan, dan mereka haruslah orang yang paling dekat, dan paling kenal dengan Tuhan.


Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui, apakah seorang tokoh agama berbohong atau tidak, adalah firman Tuhan dalam Al Qur’an Surat ke-112 (Al Ikhlas). Tidak boleh ada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku tokoh agama yang bertentangan dengan firman Tuhan ini. Bila ada seorang tokoh agama yang pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya bertentangan dengan firman Tuhan ini, maka tokoh agama tersebut telah berbohong.


Masyarakat (rakyat) hendaklah tidak lagi mempercayai tokoh agama yang pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya bertentangan dengan firman Tuhan dalam Al Qur’an Surat ke-112 (Al Ikhlas). Jangan percaya alasan “kesejahteraan rakyat” yang diperjuangkan oleh tokoh agama yang tergolong pembohong. Sebab, jika Tuhan saja berani ia dustai (dengan berbohong), apalagi masyarakat atau rakyat.


Dalam Al Qur’an Surat ke-112 (Al Ikhlas),Tuhan berfirman: “Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung padaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara denganNya.”


Oleh karena itu: Pertama, apabila ada tokoh agama yang menyatakan, bahwa ada Tuhan selain Allah, maka tokoh agama tersebut telah berbohong. Kedua, apabila ada tokoh agama yang menyatakan, bahwa Tuhan itu tidak Maha Esa (karena ada Tuhan-Tuhan yang lain), maka tokoh agama tersebut telah berbohong. Ketiga, apabila ada tokoh agama yang menyatakan, bahwa Tuhan itu beranak dan diperanakkan, maka tokoh agama tersebut telah berbohong. Keempat, apabila ada tokoh agama yang menyatakan, bahwa ada sesuatu yang setara dengan Tuhan, maka tokoh agama tersebut telah berbohong.


Dengan demikian, masyarakat (rakyat) perlu berhati-hati dalam mensikapi pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku tokoh agama yang telah menjadi pembohong, karena pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya bertentangan dengan firman Tuhan dalam Al Qur’an Surat ke-112 (Al Ikhlas). Jangan percaya alasan “kesejahteraan rakyat” yang diperjuangkan oleh tokoh agama yang tergolong pembohong. Sebab, jika Tuhan saja berani ia dustai (dengan berbohong), apalagi masyarakat atau rakyat.

Minggu, 23 Januari 2011

THE PRIMARY RELIGIOUS

Law is the primary religious science in Islam. Once committed to Islam, the believer’s overriding concern and question is “What do I do? what is God’s will?"


Law is essentially religious, the concrete expression of God’s guidance (Shariah, path or law) for humanity. Throughout history, Islamic law has remained central to moslem identity and practice, for it constitutes the ideal social blueprint for the good society.


The Shariah has been a source of law and moral guidance, the basis for both law and ethics. Despite vast cultural differences, Islamic law has provided an underlying sense of identity, or a common code of behavior for moslem societies.


As a result, the role of Islamic law in Muslim society has been and continues to be central issue for the community of believers. For the moslem community, following the Shariah of God meant obedience to God’s continuing revelation and to His Prophet.


Issues of worship, family relations, criminal justice, and warfare could be referred to The Prophet Muhammad (peace be upon him) for guidance and adjudication. Both Quranic teaching and Prophetic example guided and governed the early Islamic state.

Minggu, 16 Januari 2011

CARA EFISIEN MEMILIH PEMIMPIN

Pada tahun 2010 di Indonesia telah dilaksanakan 244 Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dengan menelan biaya Rp. 4,2 triliun. Ironinya pada tahun 2010 sebanyak 31 juta dari 237 juta penduduk Indonesia berada dalam kondisi sangat miskin (miskin luar biasa).


Uniknya, pada tahun 2010 terdapat fenomena, yaitu 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. “Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu,” demikian catatan Editorial MI tanggal 20 Januari 2011.


Allah SWT mengkritik manusia dengan menyatakan, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS.5:50).


Sesungguhnya manusia saat ini (Bangsa Indonesia) perlu belajar dari fenomena penetapan Abubakar RA sebagai Khalifah Pertama setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat. Para sahabat Rasulullah Muhammad SAW memilih Abubakar RA dengan memperhatikan semangat keumatan (demi kepentingan umat) yang membutuhkan pemimpin. Oleh karena itu, para sahabat berupaya memilih pemimpin umat yang bijaksana, melalui musyawarah yang dapat mewakili kepentingan umat dalam menggapai ridha Allah SWT.


Belajar dari pemilihan Khalifah Pertama (Abubakar RA) terdapat empat kata kunci, yaitu: Pertama, “semangat keumatan”, yang identik dengan “kerakyatan”. Kedua, “bijaksana” yang merupakan kata sifat, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “kebijaksanaan”, untuk menunjukkan sesuatu yang harus dilakukan, misal: harus bijaksana; Ketiga, “musyawarah” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “permusyawaratan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga musyawarah. Keempat, “mewakili” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “perwakilan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga bagi para wakil umat.


Dengan demikian terdapat empat kata kunci dalam memilih pemimpin, yaitu: “Kerakyatan … kebijaksanaan … permusyawaratan … perwakilan.” Keempat kata kunci ini selanjutnya disusun dan ditambah dengan kata-kata lain sehingga berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”


Teks ini sesuai dengan sila ke-4 Pancasila, dan hal ini bukanlah kebetulan. Ketahuilah tidak ada yang kebetulan di alam semesta ini, sebab segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini berada dalam kekuasaan Allah SWT.


Dalam sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin (seorang muslim) mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan pemikirannya. Pada saat itu Muhammad Yamin berpidato dengan judul “Asas Dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yang mengusulkan dasar negara Indonesia terdiri dari: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.


Setelah berpidato Muhammad Yamin menyampaikan usul tertulis, agar dasar negara Indonesia terdiri dari: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, kebangsaan persatuan Indonesia. Ketiga, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Setelah Muhammad Yamin berpidato, berikutnya pada tanggal 31 Mei 1945 giliran Soepomo berpidato, dan kemudian dilanjutkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Soepomo menjelaskan, bahwa negara Indonesia didirikan dengan memperhatikan tiga paket pilihan, yaitu: Pertama, persatuan negara, negara serikat, atau persekutuan negara; Kedua, hubungan antara negara dan agama; Ketiga, republik atau monarki.


Sementara itu, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didirikan dengan dasar: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima dasar negara usulan Soekarno itu, atas usul Muhammad Yamin (saat itu duduk di samping Soekarno) diberi nama “Pancasila”.


Untuk menampung usulan Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang, yang dikenal dengan nama “Panitia Sembilan” yang bertugas merumuskan dasar negara untuk dimasukkan dalam Mukadimah Hukum Dasar.


Panitia Sembilan terdiri dari: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Dari sembilan orang anggota Panitia Sembilan ini hanya A.A. Maramis yang beragama Kristen, sedangkan yang delapan orang lainnya beragama Islam.


Akhirnya Pancasila disahkan menjadi dasar Negara, melalui pengesahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, di mana Pancasila dimuat pada alinea ke-4 Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.


Pada Sila Ke – 4 Pancasila dinyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Teks ini bermakna, bahwa kepentingan rakyat diperjuangankan dan dikoordinir oleh seorang pemimpin, yang dalam menjalankan tugasnya menerapkan kebijaksanaan (wisdom) melalui musyawarah dengan para wakil rakyat.


Oleh karena itu, sesungguhnya pola suksesi kepemimpinan di Indonesia bukanlah demokrasi ala Barat, melainkan pola “pemilihan khalifah”. Caranya, sebagai berikut:


Pertama, warga masing-masing RT (Rukun Tetangga) memilih Ketua RT.

Kedua, ketua-ketua RT dalam masing-masing RW (Rukun Warga) memilih Ketua RW,

Ketiga, ketua-ketua RW dalam masing-masing Kelurahan/Desa memilih Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.

Keempat, para Kepala Kelurahan dan Kepala Desa dalam masing-masing Kecamatan memilih Camat.

Kelima, para Camat dalam masing-masing Kabupaten atau Kota memilih Bupati atau Walikota.

Keenam, para Bupati dan Walikota dalam masing-masing Provinsi memilih Gubernur.

Ketujuh, para Gubernur memilih seorang Presiden.


Dalam menjalankan tugasnya Presiden berkonsultasi dengan Dewan Gubernur; sedangkan dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur, maka Gubernur berkonsultasi dengan Dewan Bupati/Walikota.


Dengan kesederhanaan sistem suksesi kepemimpinan ini, maka akan dapat dihemat uang negara sebesar ratusan triliun rupiah. Selanjutnya seluruh uang ini dapat digunakan untuk melaksanakan sebagian program pengentasan kemiskinan, di mana pada tahun 2010 saja terdapat 31 juta orang miskin.

Minggu, 09 Januari 2011

CONTINUED TO GROW

Historians often have wondered at the remarkable success of Islam and the Prophet Muhammad (peace be upon him) in forming a new society. The pace of consolidation of this society and its evolving into one of the greatest of civilizations also has been mind-boggling.


The rise of Islam is perhaps the most amazing event in human history. Springing from a land and a people previously negligible, Islam spread within a century over half the earth, shattering great empires, overthrowing long established religions, remoulding the souls of races, and building up a whole new world (the world of Islam).


As confrontation and challenge of the existing powers provided the context for the new society to expand the territories under its control, in two other respects, the size of the Muslim community and its influence continued to grow at a rather astonishingly brisk pace.


First, representatives of the Muslim community, inspired by the call of Islam to propagate the message to the rest of the world, reached distant parts of the world. Also, the Arabs originally were a trading community, and under Islam, with trade and business considered a virtue and thus emphasized, many Muslims built trade contacts across the lands and seas and even settled in other parts of the world. Indeed, trade and propagation were often inseparable.


Second, as the Islamic polity took shape and achieved consolidation and even dominance, people of other faiths and from other parts of the world often migrated to the broad Islamic polity in search of peace, security and prosperity. The new universalist polity, not racially Arab any more, attracted people from many parts of the world: Bilal (a slave from Abyssinia, now Ethiopia), Salman from Persia, Shoaib from Rome, and so on.

Minggu, 02 Januari 2011

MEMBANGUN KUALITAS PRIBADI

Setiap muslim tentu menyadari, bahwa ia harus berusaha sungguh-sungguh agar dapat mengoptimalkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya, terutama dalam menerapkan nilai-nilai Islam pada kehidupan sehari-hari. Setiap muslim harus bersungguh-sungguh, agar terhindar dari sikap dan tindakan murtad, sehingga tergolong sebagai murtaddin, yaitu manusia yang menyatakan diri dan memperagakan pemikiran, sikap, dan perilaku yang menunjukkan ia tidak lagi memeluk agama Islam.


Menjadi murtaddin merupakan bencana terbesar bagi seorang manusia, karena saat itu ia tidak lagi menjadi bagian umat yang mempertuhankan Tuhan (Allah s.w.t.), sebaliknya ia akan menjadi bagian umat yang mempertuhankan tuhan palsu (tuhan yang bukan Tuhan). Murtad bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan telah melalui proses tertentu yang sebelumnya telah dipilih oleh yang bersangkutan.


Sebagai contoh: Pertama, bila ada seorang manusia yang gemar pada hal-hal yang bersifat mistik atau klenik, yaitu konsepsi dan ritual berkomunikasi dengan alam gaib dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariat Islam. Suatu saat ia akan tergelincir dengan merasa mendapat petunjuk gaib untuk murtad, padahal kondisi ini dikarenakan ia tidak dapat lagi membedakan petunjuk sesat dengan petunjuk kebenaran;


Kedua, bila ada seorang manusia gemar mengemis bantuan, tanpa peduli dari mana bantuan tersebut berasal, dan tidak lagi memperdulikan halal atau haram bantuan yang diperolehnya. Orang semacam ini akan berpeluang menjadi murtad, karena merasa simpatik atas bantuan atau perhatian kaum kafir kepadanya. Padahal kondisi ini diawali oleh ketidak-seriusannya menjemput rizki yang diberikan Allah s.w.t. kepadanya.


Secara umum diketahui, bahwa proses menjadi murtaddin terdiri dari tahapan-tahapan, sebagai berikut: (1) tidak menghargai kecerdasan atau fathonah, (2) sehingga ia mengalami proses pembodohan personal; (3) sejak itu ia tidak ingin mengetahui kebenaran; (4) dan enggan memahami Islam; (5) akibatnya ia tidak faham Islam; (6) dan tidak faham kebenaran dan keindahan nilai-nilai Islam; (7) bahkan ia terkesima dengan kebenaran versi manusia dan keindahan dunia; dan akhirnya (8) ia menjadi murtad.


Oleh karena itu setiap muslim wajib menjaga dan meningkatkan kualitas pribadi, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad s.a.w. Dengan kata lain setiap muslim wajib memiliki kualitas pribadi, yang: (1) fathonah atau cerdas, (2) amanah atau dapat dipercaya, (3) shiddiq atau obyektif, (4) tabligh atau informatif, (5) istiqomah atau konsisten, (6) ikhlas atau tulus hati, dan (7) ridha atau lapang dada.


Berbekal kualitas pribadi yang tinggi, maka setiap muslim dapat hidup dalam koridor nilai-nilai Islam, yaitu akidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak. Dengan bekal ini insyaAllah setiap muslim dapat memberi kontribusi dalam membangun peradaban Islam, yang: (1) transenden atau meruhani, yaitu mempertuhankan Allah s.w.t.; (2) humanis atau sesuai fitrah manusia; dan (3) emansipatori atau bersifat pembebasan manusia dari nilai-nilai jahiliah tradisional dan modern.