ABOUT ISLAM

Sabtu, 28 April 2012

MENGASIHANI DIRI SENDIRI


Ada orang yang gemar mengasihani diri sendiri. Oleh karena itu, ia enggan mengajak dirinya bekerja keras. Alasannya, “Kasihan…!” Kalau ia pelajar atau mahasiswa, maka ia enggan memaksa dirinya untuk belajar. Alasannya, “Kasihan…!”

Kalau ia pekerja, buruh, atau karyawan, maka ia enggan memaksa dirinya untuk disiplin dalam bekerja. Alasannya, “Kasihan…!” Kalau ia wirausahawan, maka ia enggan memaksa dirinya untuk berikhtiar sungguh-sungguh membesarkan usahanya. Alasannya, “Kasihan…!”

Akibatnya, kalau ia pelajar atau mahasiswa, maka ia adalah pelajar atau mahasiswa yang lemah dalam ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Kalau ia pekerja, buruh, atau karyawan, maka ia adalah pekerja, buruh, atau karyawan yang lemah prestasi. Kalau ia wirausahawan, maka ia adalah wirausahawan yang lemah.

Oleh karena itu, setiap orang hendaknya berkenan bekerja keras mendisiplinkan diri, dan jangan terbiasa mengasihani diri. Bukankah lebih baik, seseorang itu “keras” terhadap dirinya agar “dunia” lembut terhadap dirinya. Daripada ia lemah terhadap dirinya, sehingga dunia “keras” terhadap dirinya.

Untuk itu setiap orang hendaknya berkenan bekerja keras. Kemudian, agar faham tentang cara bekerja keras yang baik, maka ia perlu membaca firman Allah SWT dan hadist Rasulullah Muhammad SAW, tentang cara hidup yang baik.

Cara hidup yang baik menurut Allah SWT, adalah: Pertama, beribadah kepada Allah SWT, yaitu dengan melaksanakan ibadah yang Allah SWT perintahkan kepada manusia. Selanjutnya menjadikan nilai-nilai ibadah sebagai sumber inspirasi dalam memberi manfaat optimal bagi lingkungan;

Kedua, rahmatan lil’alamiin atau memberi manfaat optimal bagi lingkungan, yaitu dengan menggunakan setiap potensi diri bagi kebaikan manusia dan lingkungan sekitar. Cara hidup seperti ini mendorong yang bersangkutan untuk terus menerus menggali potensi diri, dan mengubahnya menjadi kemampuan diri atau mampu melakukan aktualisasi potensi diri.

Agar mampu mengaktualisasi potensi diri, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh seseorang, yaitu: Pertama, referensi. Ia harus memperhatikan bacaan yang selama ini ia baca, di mana bacaan itu harus mampu menginspirasi dirinya sehingga mampu memperbaiki diri. Ia juga harus memperhatikan tokoh yang ia jadikan acuan atau contoh, di mana tokoh itu haruslah tokoh yang mampu menginspirasi dirinya sehingga mampu memperbaiki diri;

Kedua, sahabat. Ia harus bersinergi dengan banyak orang yang bersedia bekerjasama dalam beribadah kepada Allah SWT, dan memberi manfaat optimal bagi lingkungan. Oleh karena itu, ia harus pandai memilih sahabat yang bersedia bersinergi, agar ia tidak tertipu oleh orang yang menyatakan sahabat, tetapi tidak bersedia bersinergi.

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Sabtu, 21 April 2012

MENGEKALKAN DIRI


Istilah “mengekalkan diri” bukanlah berarti kekal (abadi) secara fisik, karena setiap yang bernyawa akan mengalami mati. Dengan demikian yang diharapkan kekal adalah karyanya, bukan fisiknya. Meskipun secara fisik (biologi) seseorang telah mati, meninggal, berpulang, atau wafat, tetapi karyanya masih kekal dalam pikiran atau hati umat manusia.

Namun demikian setiap manusia hendaknya menyadari, bahwa karya manusia memiliki dua prospek (kemungkinan), yaitu karya yang baik dan karya yang buruk. Contoh karya yang buruk, antara lain karya para petinggi Israel yang tak akan pernah terlupakan di hati Bangsa Palestina, dan manusia pada umumnya.

Kekejian, kebengisan, dan kekejaman para petinggi Israel merupakan karya terbesar yang mereka persembahkan bagi umat manusia dan kemanusiaan. Bagi para petinggi Israel, insyaAllah di akherat, Allah SWT akan memberi hadiah keburukan yang tak pernah terbayangkan oleh manusia. Inilah keadilan Allah SWT, di mana setiap manusia mendapat hadiah (hasil) sesuai dengan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya.

Sementara itu, contoh karya yang baik, antara lain karya para ilmuwan, yang sampai saat ini masih dapat dinikmati, digunakan, dan dikembangkan oleh umat manusia untuk merancang dan mewujudkan kebajikan. Sesuai dengan tugas dan fungsi manusia, maka sesungguhnya setiap manusia diharapkan dapat meninggalkan karya yang baik bagi manusia dan kemanusiaan.

Oleh karena itu: Pertama, harta yang dimiliki seorang manusia hendaknya dikeluarkan (dikontribusikan) untuk mendukung kebajikan. Kedua, ilmu, pengetahuan, dan teknologi yang dikuasainya hendaklah memiliki nuansa kebajikan, sehingga bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Ketiga, keturunannya (anak) hendaklah senantiasa mampu berbuat kebajikan, karena ia telah mendidik mereka dengan baik (sesuai Al Qur’an dan Al Hadist).

Setiap manusia hendaknya bersungguh-sungguh dalam mengelola harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan keturunannya. Kesemua itu harus diarahkan pada kebajikan, agar bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan.

Harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan keturunan seorang manusia hendaknya terus menerus tampil sebagai kebajikan. Sebaliknya, setiap kejadian yang bernuansa kebajikan hendaknya dapat memanfaatkan kehadiran harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan keturunan yang telah ditinggalkan oleh orang tersebut.

Inilah kekekalan diri seorang manusia, yaitu ketika keberadaan fisik tidak lagi menjadi persyaratan bagi kehadirannya. Tetapi semua ini berawal pada kemampuan seorang manusia dalam mendapatkan harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan keturunan yang baik.

Oleh karena itu: Pertama, bekerjalah dengan tekun, dan bersemangat dengan cara yang halal (diperkenan atau dimuliakan Allah SWT) agar memperoleh harta yang memadai untuk pelaksanaan tugas dan fungsi manusia. Kedua, belajar, berlatih, dan berikhtiarlah agar memperoleh ilmu, pengetahuan, dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia, karena kental dengan nuansa kebajikan. Ketiga, menikahlah dengan orang yang shaleh atau shalehah agar memperoleh keturunan yang baik (shaleh dan shalehah), sambil berikhtiar mendidik keturunannya dengan sebaik-baiknya.

Apabila seseorang berhasil mengelola harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan keturunannya dengan baik, maka sesungguhnya ia telah berhasil mengekalkan dirinya. Meskipun ia telah meninggalkan dunia ini, umat manusia akan tetap mengingatnya sebagai ahli kebajikan. InsyaAllah di akherat, Allah SWT akan memberinya hadiah kebaikan yang tak pernah terbayangkan oleh manusia.

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan Bangsa Indonesia dan Bangsa Palestina.

 Semoga Allah SWT berkenan meridhai…

...

Sabtu, 14 April 2012

MENGHITUNG DIRI SENDIRI


Seorang manusia tidak layak mengabaikan diri sendiri, namun seorang manusia juga tak layak mengagungkan diri sendiri. Seorang manusia hendaknya mampu menghitung diri sendiri. Ia harus mampu memperhitungkan positioning dirinya di hadapan Allah SWT dan di hadapan masyarakat. Ia haruslah berada pada posisi taqwa di hadapan Allah SWT, dan berada pada posisi rahmatan lil’alamiin di hadapan masyarakat.

Setiap manusia memiliki modal dasar, yang berupa: Pertama, potensi diri, yaitu kemampuan yang masih bersifat potensial, atau belum diwujudkan. Kedua, kemampuan diri, yaitu potensi yang telah berhasil diaktualisasikan, atau telah berhasil diwujudkan.

Modal dasar yang dimiliki oleh setiap manusia ini selanjutnya dilibatkan dalam prosesi (proses menuju sukses), yaitu: Pertama, beribadah kepada Allah SWT. Kedua, memberi manfaat optimal bagi orang lain dan lingkungan, atau rahmatan lil’alamiin.

Tujuan pelibatan modal dasar oleh setiap manusia dalam proses, hanyalah satu, yaitu mencapai sukses, yang berupa keberhasilan menggapai ridha Allah SWT. Dalam prosesi, selain melibatkan modal dasar, maka setiap manusia juga membutuhkan alat, agar prosesi dapat mencapai tujuan (ridha Allah SWT). Alat menuju sukses (ridha Allah SWT) antara lain berupa: harta, jabatan, peringkat / gelar, dan keluarga.

Untuk mendapatkan alat menuju sukses dalam kualitas yang setinggi-tingginya, maka setiap manusia harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syaratnya, yang berupa:

Pertama, hidup dalam koridor Islam, yaitu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam tuntunan dan ketentuan yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak.

Kedua, kelola pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku secara Islami, yaitu: fathonah atau cerdas, amanah atau dapat dipercaya, shiddiq atau obyektif / jujur, dan tabligh atau informatif.

Ketiga, ambil peran sebagai muslim, yaitu: sebagai mujahiddin atau pejuang kebenaran / agama, uswatun hasanah atau teladan / contoh yang baik, assabiquunal awwalluun atau pioner / pendahulu, sirajan muniran atau pencerah, dan rahmatan lil’alamiin. 

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan Bangsa Indonesia dan Bangsa Palestina.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Minggu, 08 April 2012

MENGABAIKAN DIRI SENDIRI

“Mengabaikan” adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak cukup memberi kepedulian (care) atau perhatian (attention) pada sesuatu. Dengan demikian “mengabaikan diri sendiri”, berarti suatu kondisi di mana seseorang tidak cukup memberi kepedulian atau perhatian pada diri sendiri.


Seseorang yang mengabaikan diri sendiri seringkali tidak bersedia mengakui potensi yang ada pada dirinya. Ia terprovokasi oleh pendapat orang lain tentang citra negatif dirinya. Ia berkeyakinan, bahwa dirinya tidak akan mampu mengerjakan sesuatu.


Ia tidak percaya dengan firman Allah SWT yang menyatakan, bahwa Allah SWT menciptakan manusia dalam kondisi yang paling sempurna, bila dibandingkan ciptaan Allah SWT lainnya. Oleh karena itu, ia tidak mengetahui, bahwa sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, ia dibekali oleh sekian banyak potensi, yang jika ia latih dan kembangkan akan menjadi sekian banyak kemampuan. Padahal kemampuan ini dapat digunakan oleh manusia untuk berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku tertentu sesuai dengan visi dan misinya di dunia (alam semesta).


Seorang manusia yang memiliki kemampuan akan menyadari, bahwa visinya adalah “menggapai ridha Allah SWT”. Untuk menggapai ridha Allah SWT, maka ia harus menyusun misi, yang berupa berbagai kegiatan utama, seperti beribadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin.


Dengan demikian, tidak selayaknya seorang manusia mengabaikan dirinya sendiri. Tidak selayaknya seorang manusia membiarkan dirinya hidup dalam kesia-siaan, dengan tidak beribadah kepada Allah SWT, dan rahmatan lil’alamiin. Sesungguhnya orang-orang yang hidup dalam kesia-siaan adalah orang-orang yang merugi. Hal ini dikarenakan ia gagal menjalankan visi dan misinya sebagai manusia.


Allah SWT menyebut orang-orang yang hidup dalam kesia-siaan ini sebagai “lebih rendah dari hewan ternak”. Sebagaimana diketahui, hewan ternak bermanfaat bagi umat manusia, sedangkan orang-orang yang hidup dalam kesia-siaan tidak bermanfaat bagi umat manusia.


Dengan demikian sudah saatnya setiap manusia: Pertama, mempedulikan dan memperhatikan dirinya, agar ia tidak tergolong sebagai orang yang gemar mengabaikan diri sendiri. Kedua, mempedulikan dan memperhatikan persiapan dirinya ketika ia mati (tidak lagi hidup di dunia). Ketiga, bersungguh-sungguh menggapai ridha Allah SWT.


Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan Bangsa Indonesia dan Bangsa Palestina.


Semoga Allah SWT berkenan meridhai...


...