Hari ini TV One memberitakan, bahwa tadi malam pukul 24.10 Waktu Indonesia Bagian Barat, terdakwa Bom Bali-1 telah dieksekusi (dihukum mati) di lembah Nirbaya, Cilacap. Mereka yang dihukum mati adalah Imam Samudra, Amrozi, dan Mukhlas. Jika mereka sungguh-sungguh melakukan tindakan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa, Polisi, dan Hakim, maka mereka layak dihukum mati.
Namun demikian ada pertanyaan yang tersisa: Pertama, apakah tidak mungkin bahwa mereka adalah korban salah tangkap, sebagaimana yang terjadi pada kasus Asrori. Kedua, bagaimana dengan kualitas kejaksaan yang menuntutnya, apakah tidak ada oknum kejaksaan seperti Urip Trigunawan yang menerima suap dari pihak yang berkepentingan (Arthalita). Ketiga, bagaimana dengan kinerja kepolisian, yang beberapa kali salah tangkap seperti pada kasus Asrori. Keempat, bagaimana dengan ketepatan putusan hakim, yang juga pernah menghukum orang tak bersalah seperti pada kasus Asrori. Kelima, bagaimana dengan adanya bahan peledak C-4 (yang diberitakan media massa), yang ternyata hanya dapat dibeli dari Amerika Serikat melalui mekanisme government to government. Keenam, bagaimana dengan semangat berlebihan yang ditunjukkan oleh Pemerintah Australia terhadap kasus ini, yang memperlihatkan kepentingan mereka untuk mendiskreditkan Islam yang semakin meluas pemeluknya di Australia.
Inilah sekian banyak pertanyaan yang tersisa. Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak akan menghidupkan kembali mereka yang telah mati, baik korban Bom Bali-1 maupun mereka yang didakwa melakukannya. Namun setidaknya, pertanyaan ini dapat mengingatkan kita, bahwa kebenaran manusia itu relatif. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah SWT. Kebenaran tidak pernah bersumber pada manusia, karena bila kebenaran bersumber pada manusia, maka akan rusaklah alam semesta.
Pertanyaan yang tersisa ini, hendaklah tidak membuat kita (sesama manusia) saling bermusuhan, melainkan hendaknya mampu membuat kita semakin kritis, agar semakin tidak mudah bagi orang-orang fasiq (yang memusuhi kebajikan) menghancurkan universalitas manusia. Khusus bagi Umat Islam, hendaklah pertanyaan ini semakin menambah semangat kita mempelajari QS.2:147, QS.18:29, QS.23:71, dan QS.34:49.
Namun demikian ada pertanyaan yang tersisa: Pertama, apakah tidak mungkin bahwa mereka adalah korban salah tangkap, sebagaimana yang terjadi pada kasus Asrori. Kedua, bagaimana dengan kualitas kejaksaan yang menuntutnya, apakah tidak ada oknum kejaksaan seperti Urip Trigunawan yang menerima suap dari pihak yang berkepentingan (Arthalita). Ketiga, bagaimana dengan kinerja kepolisian, yang beberapa kali salah tangkap seperti pada kasus Asrori. Keempat, bagaimana dengan ketepatan putusan hakim, yang juga pernah menghukum orang tak bersalah seperti pada kasus Asrori. Kelima, bagaimana dengan adanya bahan peledak C-4 (yang diberitakan media massa), yang ternyata hanya dapat dibeli dari Amerika Serikat melalui mekanisme government to government. Keenam, bagaimana dengan semangat berlebihan yang ditunjukkan oleh Pemerintah Australia terhadap kasus ini, yang memperlihatkan kepentingan mereka untuk mendiskreditkan Islam yang semakin meluas pemeluknya di Australia.
Inilah sekian banyak pertanyaan yang tersisa. Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak akan menghidupkan kembali mereka yang telah mati, baik korban Bom Bali-1 maupun mereka yang didakwa melakukannya. Namun setidaknya, pertanyaan ini dapat mengingatkan kita, bahwa kebenaran manusia itu relatif. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah SWT. Kebenaran tidak pernah bersumber pada manusia, karena bila kebenaran bersumber pada manusia, maka akan rusaklah alam semesta.
Pertanyaan yang tersisa ini, hendaklah tidak membuat kita (sesama manusia) saling bermusuhan, melainkan hendaknya mampu membuat kita semakin kritis, agar semakin tidak mudah bagi orang-orang fasiq (yang memusuhi kebajikan) menghancurkan universalitas manusia. Khusus bagi Umat Islam, hendaklah pertanyaan ini semakin menambah semangat kita mempelajari QS.2:147, QS.18:29, QS.23:71, dan QS.34:49.
2 komentar:
syari'ah Islam itulah jalan keluarnya. Pendapat yang berbeda adalah keindahan, namun Musyawarah selalu menjadi tonggak saudara - saudara kita. Meraka tahu apa yang mereka perbuat dan seharusnya mereka juga tau apa yang akan dia dapat. Apapun yang terjadi, pasti ada alasan dari semua itu..
Cobalah sedikit melihat apa yang mereka berikan tuk kita..
pabila positif maka teruskanlah
bila negatif segera hentikan
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675
Posting Komentar