ABOUT ISLAM

Minggu, 24 April 2011

PERNIKAHAN WILLIAM DENGAN KATE MIDDLETON SERTA KEBERLANJUTAN KEJAHATAN INGGRIS TERHADAP UMAT ISLAM

Ditengah hiruk pikuk dan kemegahan persiapan pernikahan William dengan Kate Middleton pada tahun ini, sulit bagi Umat Islam melepaskan keterkaitannya dengan Kerajaan Inggris. Sementara itu, sejak masa lalu hingga saat ini Umat Islam terus menerus merasakan kejahatan Kerajaan Inggris terhadap Umat Islam.


Kejahatan Pertama, Kerajaan Inggris meruntuhkan Kekhalifahan Islam Ottoman (Turki) dengan cara merekayasa tampilnya Mustafa Kemal Ataturk sebagai pahlawan. Berdasarkan kepahlawanannya Mustafa Kemal Ataturk selanjutnya memimpin Turki pada 1923 dengan meruntuhkan Kekhalifahan Islam Ottoman, dan mendirikan Republik Sekular Turki. Runtuhnya Kekhalifahan Islam Ottoman memberi jalan bagi Kerajaan Inggris untuk menjajah Jazirah Arab dan sekitarnya, yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Kekhalifahan Islam Ottoman.


Kejahatan Kedua, penjajahan atas Jazirah Arab memberi jalan bagi Kerajaan Inggris untuk membantu Bangsa Yahudi merampok tanah Bangsa Palestina. Sebagai kaki tangan Bangsa Yahudi, Kerajaan Inggris terikat oleh Deklarasi Balfour yang dikeluarkan pada saat Perang Dunia Pertama. Dalam Deklarasi tersebut Kerajaan Inggris menunjukkan kesetiaan pada majikannya, yaitu Bangsa Yahudi, dengan menyatakan dukungan Kerajaan Inggris bagi berdirinya Negara Yahudi (Israel) di tanah Palestina.


Sejak saat itu ratusan ribu Bangsa Yahudi memasuki Tanah Palestina atas dukungan Kerajaan Inggris, hingga berdirinya Negara Israel pada tahun 1948. Setelah Negara Israel berdiri, peran Kerajaan Inggris dalam mendukung Negara Israel digantikan oleh Amerika Serikat hingga saat ini. Akibatnya Bangsa Palestina terusir dari tanahnya, sehingga sebagian harus mengungsi ke negara lain, dan sebagian lainnya berupaya mempertahankan Jalur Gaza dan Tebi Barat hingga saat ini.


Kejahatan Ketiga, rekayasa dan dukungan Kerajaan Inggris atas keberadaan Ahmadiyah, yang melakukan penistaan/penodaan terhadap Agama Islam. Kelompok ini didirikan oleh orang yang akrab dengan pejabat Kerajaan Inggris yang menjajah India. Orang tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) yang mendirikan Ahmadiyah pada tahun 1889 di Kota Qadian, Punjab, India, yang merupakan wilayah jajahan Kerajaan Inggris.


Kelompok keagamaan ini mengaku beragama Islam, tetapi menolak ketetapan Allah SWT bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Kelompok ini meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi. Bentuk dukungan Kerajaan Inggris atas keberadaan Ahmadiyah di dunia hingga saat ini nampak dari keberadaan Markas Besar Ahmadiyah Internasional yang berada di London.


Kejahatan Keempat, partisipasi yang terlalu kuat atau hiper-partisipasi Kerajaan Inggris pada berbagai serangan Barat terhadap Umat Islam di wilayah-wilayah Muslim, seperti di Afghansitan, Irak, dan Libia.


Oleh karena itu, pernikahan William dengan Kate Middleton pada tahun ini tidak layak mendapat penghormatan dan ucapan selamat dari Umat Islam, karena sekian banyak kejahatan Kerajaan Inggris terhadap Umat Islam, di mana William dan Kate Middleton merupakan bagian inti dari Kerajaan Inggris.


Selamat berpikir dan bersikap kritis, semoga Allah SWT meridhai…

Minggu, 17 April 2011

FENOMENA BRIPTU NORMAN KAMARU

Dalam beberapa minggu ini Indonesia digemparkan oleh adanya fenomena Briptu Norman Kamaru. Masyarakat Indonesia terkesima dengan penampilan Briptu Norman Kamaru yang melakukan lipsync (memperagakan gerak bibir) dan gaya penyanyi India, Syarukh Khan.


Masyarakat Indonesia terkesima bukan karena gaya dan lagu India-nya, karena hal semacam itu banyak di Youtube. Masyarakat Indonesia terkesima, juga bukan karena keindahan dan kemerduan lagu India-nya. Masyarakat Indonesia terkesima, karena yang memperagakan lagu India tersebut adalah Briptu Norman Kamaru, seorang anggota BRIMOB POLRI (Brigade Mobil Polisi Republik Indonesia) yang tampil dengan seragam BRIMOB-nya.


Masyarakat Indonesia terkesima pada Briptu Norman Kamaru, karena adanya sisi kemanusiaan yang diperlihatkan seorang anggota BRIMOB POLRI. Fenomena Briptu Norman Kamaru mengejutkan masyarakat Indonesia, karena selama ini anggota POLRI diidentikkan sebagai orang yang “kaku”.


Oleh karena itu, fenomena Briptu Norman Kamaru menyejukkan hati masyarakat Indonesia, karena menunjukkan masih adanya anggota POLRI yang memperlihatkan sisi kemanusiaannya. Fenomena ini sekaligus menunjukkan kerinduan masyarakat Indonesia atas sisi kemanusiaan POLRI. Walaupun masyarakat Indonesia faham, bahwa sebagai penegak hukum, maka segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku POLRI (sebagai institusi) haruslah berdasarkan hukum positif (yang berlaku). Hanya saja, POLRI hendaknya bijaksana dalam menegakkan hukum di Indonesia, karena kadang-kala ada beberapa substansi hukum positif yang mengganggu rasa keadilan masyarakat.


Fenomena Briptu Norman Kamaru hendaknya dapat menjadi titik temu antara POLRI dengan masyarakat Indonesia, terutama dalam membangun harmoni sosial di antara keduanya. Sudah saatnya masyarakat Indonesia meningkatkan rasa hormat kepada POLRI (termasuk BRIMOB POLRI), sebagi bukti kecintaan masyarakat Indonesia terhadap POLRI. Sudah saatnya pula POLRI mengedepankan dialog dan persuasi dalam penegakan hukum di Indonesia, karena masyarakat Indonesia yang dihadapi POLRI adalah masyarakat yang mencintai POLRI.


Terimakasih pada jajaran Pimpinan POLRI saat ini, yang tampil menyejukkan, sehingga membuat nyaman masyarakat Indonesia yang diayomi. Semoga Allah SWT berkenan meridhai segenap anggota POLRI yang mencintai Allah SWT, mencintai Rasulullah Muhammad SAW, mencintai kesungguhan dalam memperjuangkan kebenaran, dan mencintai masyarakat Indonesia.


Allah SWT berfirman, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah dalam surgaKu” (QS.89:27-30).


Terimakasih Briptu Norman Kamaru, semoga Allah SWT berkenan meridhai anda...


Oleh karena itu, dalam suasana harmoni antara POLRI dengan masyarakat (termasuk Umat Islam), Umat Islam menentang keras aksi pemboman yang terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon saat Umat Islam sedang shalat Jum’at pada tanggal 15 April 2011.


Semoga Allah SWT memberi kemampuan pada POLRI agar dapat mengungkap kasus ini, insyaAllah...

Minggu, 10 April 2011

DEMOKRASI ALA BARAT MEMBOROSKAN UANG RAKYAT

Beberapa hari ini, rakyat Indonesia dihebohkan oleh rencana pembangunan gedung baru DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Awalnya pembangunan ini beralasan, karena gedung yang lama miring beberapa derajat. Alasan kemudian berkembang, menjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang kerja masing-masing anggota DPR. Sebagaimana diketahui diproyeksikan tiap anggota DPR memiliki 1 (satu) staf administrasi dan 4 (empat) staf ahli. Sementara itu dari sisi nominal, awalnya pembangunan gedung baru DPR dianggarkan Rp. 1,8 triliun, tetapi seiring dengan protes berbagai pihak kemudian diturunkan menjadi Rp. 1,1 triliun.


Sebelumnya, saat pelantikan anggota DPR terpilih periode 2009 – 2014 telah dikeluarkan dana oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebesar Rp. 11 miliar. Sementara itu, Sekretariat Jenderal DPR mengeluarkan dana Rp. 26 miliar untuk biaya pindah tugas bagi anggota baru terpilih yang berasal dari luar Jakarta.


Rakyat juga pernah dihebohkan oleh kegiatan studi banding anggota DPR ke beberapa negara, di mana saat ke luar negeri seorang anggota DPR akan mendapat uang saku sebesar Rp. 20 – 28 juta, dan uang representasi Rp. 20 juta. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil dana studi banding anggota DPR ke luar negeri pada tahun 2010 sebesar Rp. 162, 9 miliar.


Dalam konteks pemilihan umum kepala daerah, pada tahun 2007 telah dilaksanakan 226 Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota dengan menelan biaya Rp. 1,2 triliun. Sementara itu, pada tahun 2010 telah dilaksanakan 244 Pilkada dengan menelan biaya Rp. 4,2 triliun.


Biaya demokrasi yang besar juga dikeluarkan dalam rangka Pemilihan Umum, yang memilih presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD (DPR Daerah), dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).


Uraian tentang biaya demokrasi ala Barat ini sangat ironis, bila disandingkan dengan data tentang masih adanya 31 juta orang rakyat Indonesia yang miskin.


Sesungguhnya Bangsa Indonesia saat ini perlu belajar dari fenomena penetapan Abubakar RA sebagai Khalifah Pertama setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat. Para sahabat Rasulullah Muhammad SAW memilih Abubakar RA dengan memperhatikan semangat keumatan (demi kepentingan umat) yang membutuhkan pemimpin. Oleh karena itu, para sahabat berupaya memilih pemimpin umat yang bijaksana, melalui musyawarah yang dapat mewakili kepentingan umat dalam menggapai ridha Allah SWT.


Belajar dari pemilihan Khalifah Pertama (Abubakar RA) terdapat empat kata kunci, yaitu: Pertama, “semangat keumatan”, yang identik dengan “kerakyatan”. Kedua, “bijaksana” yang merupakan kata sifat, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “kebijaksanaan”, untuk menunjukkan sesuatu yang harus dilakukan, misal: harus bijaksana; Ketiga, “musyawarah” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “permusyawaratan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga musyawarah. Keempat, “mewakili” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “perwakilan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga bagi para wakil umat.


Dengan demikian terdapat empat kata kunci dalam memilih pemimpin, yaitu: “Kerakyatan … kebijaksanaan … permusyawaratan … perwakilan.” Keempat kata kunci ini selanjutnya disusun dan ditambah dengan kata-kata lain sehingga berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”


Teks ini sesuai dengan sila ke-4 Pancasila, dan hal ini bukanlah kebetulan. Ketahuilah tidak ada yang kebetulan di alam semesta ini, sebab segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini berada dalam kekuasaan Allah SWT.


Dalam sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin (seorang muslim) mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan pemikirannya. Pada saat itu Muhammad Yamin berpidato dengan judul “Asas Dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yang mengusulkan dasar negara Indonesia terdiri dari: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.


Setelah berpidato Muhammad Yamin menyampaikan usul tertulis, agar dasar negara Indonesia terdiri dari: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, kebangsaan persatuan Indonesia. Ketiga, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Setelah Muhammad Yamin berpidato, berikutnya pada tanggal 31 Mei 1945 giliran Soepomo berpidato, dan kemudian dilanjutkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Soepomo menjelaskan, bahwa negara Indonesia didirikan dengan memperhatikan tiga paket pilihan, yaitu: Pertama, persatuan negara, negara serikat, atau persekutuan negara; Kedua, hubungan antara negara dan agama; Ketiga, republik atau monarki.


Sementara itu, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didirikan dengan dasar: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima dasar negara usulan Soekarno itu, atas usul Muhammad Yamin (saat itu duduk di samping Soekarno) diberi nama “Pancasila”.


Untuk menampung usulan Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang, yang dikenal dengan nama “Panitia Sembilan” yang bertugas merumuskan dasar negara untuk dimasukkan dalam Mukadimah Hukum Dasar.


Panitia Sembilan terdiri dari: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Dari sembilan orang anggota Panitia Sembilan ini hanya A.A. Maramis yang beragama Kristen, sedangkan yang delapan orang lainnya beragama Islam.


Akhirnya Pancasila disahkan menjadi dasar negara, melalui pengesahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, di mana Pancasila dimuat pada alinea ke-4 Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.


Pada Sila Ke – 4 Pancasila dinyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Teks ini bermakna, bahwa kepentingan rakyat diperjuangankan dan dikoordinir oleh seorang pemimpin, yang dalam menjalankan tugasnya menerapkan kebijaksanaan (wisdom) melalui musyawarah dengan para wakil rakyat.


Oleh karena itu, sistem pengelolaan negara yang ideal bagi Bangsa Indonesia bukanlah demokrasi ala Barat, melainkan pola “pemilihan khalifah”. Caranya, sebagai berikut:


Pertama, warga masing-masing RT (Rukun Tetangga) memilih Ketua RT.


Kedua, ketua-ketua RT dalam masing-masing RW (Rukun Warga) memilih Ketua RW,


Ketiga, ketua-ketua RW dalam masing-masing Kelurahan/Desa memilih Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.


Keempat, para Kepala Kelurahan dan Kepala Desa dalam masing-masing Kecamatan memilih Camat.


Kelima, para Camat dalam masing-masing Kabupaten atau Kota memilih Bupati atau Walikota.


Keenam, para Bupati dan Walikota dalam masing-masing Provinsi memilih Gubernur.


Ketujuh, para Gubernur memilih seorang Presiden.


Dalam menjalankan tugasnya Presiden berkonsultasi dengan Dewan Gubernur; sedangkan dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur, maka Gubernur berkonsultasi dengan Dewan Bupati/Walikota.


Dengan kesederhanaan sistem pengelolaan negara ini, maka akan dapat dihemat uang negara sebesar ratusan triliun rupiah. Selanjutnya seluruh uang ini dapat digunakan untuk melaksanakan sebagian program pengentasan kemiskinan.


Demokrasi ala Barat adalah sistem berbiaya tinggi yang hanya cocok di negara-negara Barat, yang negaranya telah makmur, sebagai hasil merampok sumberdaya negara-negara berkembang di masa kolonial (lihat sejarah Belanda, Inggris, Perancis, dan lain-lain).


Bagi Bangsa Indonesia yang perlu cermat dalam mengelola keuangan negara, maka sistem yang ditawarkan oleh Sila Keempat Pancasila adalah sistem yang paling tepat, yaitu sistem “permusyawaratan/perwakilan”. Dengan kata lain Sila Keempat Pancasila menghendaki sistem “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”


Semoga Bangsa Indonesia berkenan mempertimbangkan konsepsi ini...

THE CONVERSION OF THESE CONQUERORS TO ISLAM

It should be pointed out that most of these laws were elaborations of basic laws concerning non-Muslims (dhimmis) in the Quran. The Quran does not give much detail about the right conduct with non-Muslims, in principle recognizing the religions of the book and demanding a separate tax for them.


Along with the religion of Islam, the Arabic language and Arab customs spread throughout the empire. A sense of unity grew among many though not all provinces, gradually forming the consciousness of a broadly Arab-Islamic population: something which was recognizably an Islamic world had emerged by the end of the 10th century. Throughout this period, as well as in the following centuries, divisions occurred between Persians and Arabs, and Sunnis and Shiites, and unrest in provinces empowered local rulers at times.


There are a number of historians who see the rule of the Umayyads as responsible for setting up the "dhimmah" to increase taxes from the dhimmis to benefit the Arab Muslim community financially and to discourage conversion. Islam was initially associated with the ethnic identity of the Arabs and required formal association with an Arab tribe and the adoption of the client status of mawali. Governors lodged complaints with the caliph when he enacted laws that made conversion easier, depriving the provinces of revenues.


During the following Abbasid period an enfranchisement was experienced by the mawali and a shift was made in the political conception from that of a primarily Arab empire to one of a Muslim empire and c. 930 a law was enacted that required all bureaucrats of the empire to be Muslims. Both periods were also marked by significant migrations of Arab tribes outwards from the Arabian Peninsula into the new territories.


The expansion of Islam continued in the wake of Turkic conquests of Asia Minor, the Balkans, and the Indian subcontinent. The earlier period also saw the acceleration in the rate of conversions in the Muslim heartland while in the wake of the conquests the newly conquered regions retained significant non-Muslim populations in contrast to the regions where the boundaries of the Muslim world contracted, such as Sicily and Al Andalus, where Muslim populations were expelled or forced to Christianize in short order. The latter period of this phase was marked by the Mongol invasion (particularly the sack of Baghdad in 1258) and after an initial period of persecution, the conversion of these conquerors to Islam.


The Ottoman Empire defended its frontiers initially against threats from several sides: the Safavids on the Eastern side, the Byzantine Empire in the North which vanished with the fall of Constantinople 1453, and the great Catholic powers from the Mediterranean Sea: Spain, the Holy Roman Empire, and Venice with its eastern Mediterranean colonies.


Later, the Ottoman Empire set on to conquer territories from these rivals: Cyprus and other Greek islands (except Crete) were lost by Venice to the Ottomans, and the latter conquered territory up to the Danube basin as far as Hungary. Crete was conquered during the 17th century, but the Ottomans lost Hungary to the Holy Roman Empire, and other parts of Eastern Europe, ending with the Treaty of Carlowitz (1699).


Source: Wikipedia English, 20 February 2011

Minggu, 03 April 2011

PBB: PECUNDANG BANGSA - BANGSA

Ketika duduk di Sekolah Dasar diajarkan kepada kita, bahwa PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) atau UNO (United Nations Organization) adalah organisasi perhimpunan berbagai bangsa atau negara, yang didirikan dengan tujuan menciptakan perdamaian dunia, menegakkan hak asasi manusia, dan mensejahterakan bangsa-bangsa.


Ternyata semua yang diajarkan ketika duduk di Sekolah Dasar merupakan promosi, advertorial atau iklan Barat, bagi seluruh dunia. Barat yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan para sekutunya baik yang tergabung maupun tidak tergabung dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization); telah meracuni masyarakat dunia dengan berbagai promosi, advertorial, atau iklan tentang keindahan PBB.


Faktanya, PBB dalam Bahasa Indonesia lebih dapat dimaknai sebagai Pecundang Bangsa – Bangsa, yang setara dengan terminologi Bahasa Inggris, UNO (Un-identified Nations Organization) atau Organisasi Bangsa – Bangsa Tak Jelas.


Fakta ini dibentuk oleh berbagai data yang menunjukkan, bahwa negara-negara anggota PBB adalah negara-negara yang selalu dipecundangi (dibodohi) oleh Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Kondisi Amerika Serikat yang saat ini sedang dijajah oleh Bangsa Yahudi (Israel), menjadikan PBB tak lebih dari sekedar alat Pemerintah Israel, yang menggerakkan tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Selanjutnya ketiga negara ini (Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis) menggerakkan seluruh anggota PBB agar tunduk pada kepentingan Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, yang tidak lain merupakan perpanjangan tangan kepentingan Pemerintah Israel.


Fakta ini tidak mengesampingkan, data bahwa ada sebagian kecil warga Yahudi, Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis yang mencintai perdamaian; dan menentang sepak terjang bengis pemerintahnya masing-masing. Oleh karena itu, perlu diberikan apresiasi dan kesiapan hidup berdampingan secara damai pada warga pecintai damai. Perlawanan yang tegas dan terus menerus (sepanjang masa) hanya diberikan kepada Pemerintah Israel, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan para sekutunya baik yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam NATO.


Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS.114 dan QS.2:120 komunitas pemerintah dzalim yang terdiri dari Pemerintah Israel, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan para sekutunya baik yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam NATO ini, layak disebut “Komunitas Iblis Internasional”, yang dalam terminologi yang lebih sederhana disebut dengan istilah “Barat”.


Tepatnya, “Barat” adalah “Komunitas Iblis Internasional”, yang terdiri dari Pemerintah Israel, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan para sekutunya baik yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam NATO. Barat adalah pihak yang selama ini mengendalikan PBB atau UNO, dan menjadikannya sebagai organisasi Pecundang Bangsa – Bangsa, atau Un-identified Nations Organization. Sebagai contoh, lihatlah dukungan PBB atau UNO dalam kejahatan Barat di Palestina, Afghanistan, Iraq dan Libia.


Fakta terakhir (awal tahun 2011), resolusi PBB tentang Libia, memberi jalan bagi Barat untuk menguasai minyak Libia dengan cara mengadu-domba Bangsa Libia. Agen Barat yang berada di lingkaran Moamar Khadafi membujuk Khadafi agar emosional dan kejam kepada para demonstran di awal tahun 2011. Sebaliknya, agen Barat yang hidup di antara rakyat Libia dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) binaan Barat, membujuk dan mempersenjatai sebagian rakyat agar melawan Moamar Khadafi.


Akhirnya, pecahlah perang saudara antara Pemerintah Libia yang dikelompokkan sebagai pro Khadafi, dengan sebagian rakyat Libia yang anti Khadafi yang dikelompokkan sebagai oposisi. Dengan harapan mendapat konsesi minyak dari kelompok oposisi, selanjutnya Barat mendukung oposisi dan menyerang kota-kota yang berada di dalam kendali Pemerintah Libia.


Akibatnya, banyak korban tewas baik dari kelompok pro Khadafi maupun dari kelompok oposisi, sebagai “pintu masuk” penguasaan Barat atas minyak Libia yang berlimpah. Tepatnya ribuan Umat Islam Libia tewas dalam konflik Libia, di mana kejadian ini sangat menggembirakan Barat sebagai Komunitas Iblis Internasional (lihat QS.114 dan QS.2:120).


Fakta adu domba Barat di Libia, bukanlah fakta tanpa data, karena pada akhir Maret 2011 muncul bukti awal, berupa membelotnya Menteri Luar Negeri, Moussa Koussa, ke Inggris. Patut difahami data ini mirip dengan Menteri Penerangan Iraq di masa Saddam Husein, yang ternyata adalah agen Barat yang ditanam di lingkaran Saddam Husein, untuk menjerumuskan Saddam Husein agar masuk skenario Barat (menyerang Kuwait).


Sementara itu, dalam konteks oposisi Libia, bukti awal menunjukkan bahwa persiapan gerakan bersenjata telah dilakukan atas dukungan Barat, jauh-jauh hari sebelum demonstrasi menuntut mundurnya Moamar Khadafi. Dengan demikian perang saudara di Libia merupakan skenario Barat, untuk menjadi pintu masuk intervensi, penjajahan, dan penguasaan atas minyak Libia.


Inilah fakta tentang proses diubahnya PBB atau UNO menjadi organisasi Pecundang Bangsa – Bangsa, atau Un-identified Nations Organization. Berbeda dengan fakta di Libia di mana PBB nampak “responsive”, sebaliknya di Gaza (Palestina) PBB tidak mampu menekan Pemerintah Israel yang membombardir Gaza dengan pesawat udara, padahal Pemerintah Israel (Bangsa Yahudi) telah merampok Tanah Palestina dan berbuat dzalim terhadap Bangsa Palestina sejak tahun 1920.


Bahkan PBB, Amerika Serikat dan Inggris mendukung berdirinya Negara Israel di atas Tanah Palestina pada tahun 1948. Selanjutnya Amerika Serikat dan Inggris terus menerus mendukung Pemerintah Israel yang melakukan tindakan biadab terhadap Bangsa Palestina hingga saat ini (tahun 2011).


Bagi Umat Islam Dunia, keberadaan Negara Israel merupakan monumen hidup tentang Bangsa Yahudi yang dzalim, dan biadab terhadap bangsa lain (Bangsa Palestina). Keberadaan Negara Israel yang dzalim, dan biadab terhadap Bangsa Palestina merupakan bukti nyata relevansi ayat-ayat Al Qur’an hingga akhir zaman.


Banyak firman Allah SWT dalam Al Qur’an yang menjelaskan dengan terang benderang tentang sifat Bangsa Yahudi (pendiri Negara Israel) yang gemar berdusta kepada Allah SWT, serta gemar berbuat dzalim, dan biadab terhadap bangsa lain (misal: Bangsa Palestina).


Sejarah menunjukkan, bahwa Bangsa Yahudi yang merupakan bangsa budak di masa Fir’aun (Raja Mesir masa lalu) mengalami “sindrom budak” atau “slave syndrome”, yang berakibat munculnya sifat gemar menyiksa (misal: terhadap Bangsa Palestina) dan gemar memperbudak bangsa lain (misal: terhadap Bangsa Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis).


Belajar dari tipu daya Barat (Komunitas Iblis Internasional) di Palestina, Afghanistan, Iraq, dan Libia; maka Bangsa Indonesia harus berhati-hati. Bangsa Indonesia perlu berhati-hati terhadap sepak terjang dan tipu daya Pemerintah Israel, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan para sekutunya baik yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam NATO, yang menggunakan PBB sebagai kendaraan utamanya.


Jangan lupa, Bangsa Indonesia dan Bangsa Malaysia juga pernah dan sampai saat ini masih diupayakan untuk diadu domba oleh Barat. Jika Bangsa Indonesia dan Bangsa Malaysia berperang, maka yang rugi adalah kedua bangsa ini dan Umat Islam Dunia, sedangkan yang mengambil keuntungan adalah Barat.


Waspadalah… waspadalah… waspadalah…

SIGNIFICANT CONVERSIONS

In contrast, for sedentary and often already monotheistic societies, Islam was substituted for a Byzantine or Sassanian political identity and for a Christian, Jewish or Zoroastrian religious affiliation. Conversion initially was neither required nor necessarily wished for, The Arab conquerors did not require the conversion as much as the subordination of non-Muslim peoples. At the outset, they were hostile to conversions because new Muslims diluted the economic and status advantages of the Arabs.


Only in subsequent centuries, with the development of the religious doctrine of Islam and with that the understanding of the Muslim, “ummah”, did mass conversion take place. The new understanding by the religious and political leadership in many cases led to a weakening or breakdown of the social and religious structures of parallel religious communities such as Christians and Jews.


The calipha of the Umayyad dynasty established the first schools inside the empire, called “madrasas”, which taught the Arabic language and Islamic studies. They furthermore began the ambitious project of building mosques across the empire, many of which remain today as the most magnificent mosques in the Islamic world, such as the Umayyad Mosque in Damascus.


At the end of the Umayyad period, less than 10% of the people in Iran, Iraq, Syria, Egypt, Tunisia and Spain were Muslim. Only on the Arabian peninsula was the proportion of Muslims among the population higher than this.


The time of the Abbasid Dynasty (750-1258) is the second great dynasty with the rulers carrying the title of 'Caliph'.


Expansion ceased and the central disciplines of Islamic philosophy, theology, law and mysticism became more widespread and the gradual conversions of the populations within the empire occurred. Significant conversions also occurred beyond the extents of the empire such as that of the Turkic tribes in Central Asia and peoples living in regions south of the Sahara in Africa through contact with Muslim traders active in the area and sufi missionaries.


In Africa it spread along three routes, across the Sahara via trading towns such as Timbuktu, up the Nile Valley through the Sudan up to Uganda and across the Red Sea and down East Africa through settlements such as Mombasa and Zanzibar. These initial conversions were of a flexible nature and only later were the societies forcibly purged of their traditional influences.


The reasons why, by the end of the 10th century CE, a large part of the population had converted to Islam are diverse. One of the reasons may be that Islam had become more clearly defined, and the line between Muslims and non-Muslims more sharply drawn. Muslims now lived within an elaborated system of ritual, doctrine and law clearly different from those of non-Muslims.


The status of Christians, Jews and Zoroastrians was more precisely defined, and in some ways it was inferior. They were regarded as the 'People of the Book', those who possessed a revealed scripture, or 'People of the Covenant', with whom compacts of protection had been made.


Source: Wikipedia English, 20 February 2011