ABOUT ISLAM

Minggu, 26 Desember 2010

EACH AND EVERY ASPECT

Islam is a complete and comprehensive religion. The comprehensiveness available in Islam is not found in any religion of the world. This is because there is not a single moment in the life of man i.e. from his first breath till his last breath in this world, wherein Islam has failed to provide any command for his benefit.


Islam has explained the simplest and the most ordinary things of life. Islam has provided direction for keeping and clipping nails, manners for entering and exiting the house, the etiquette for sitting on dining cloth, picking up a morsel and even chewing the morsel. Also, it has been explained where a person should look while having his food, while reciting prayers or while walking on the road... In brief, Islam has explained each and every aspect related to human life. There is not a single affair of humans which has been neglected by Islam.


On one hand, Islam has given the explanation of each and every necessity of human beings; on the other hand, the commands are in their simplest form so that they can be acted on very easily. The Prophet Muhammad said: “I have brought simple and easy Shariat (laws).” Therefore, all the rules of holy Islam are easy to act upon. Also, Allah has not put any obligations on man which are beyond his capacity to fulfill.


The question before us is that - when Allah has not made anything binding on a human which is beyond his capacity and Holy Prophet (s.a.w.a.) has brought simple and easy Shariat - then why is it difficult for us to act on the laws of Islam? And why is worship associated to few things?


The most important reason for the above is not being aware of the laws of Islam and the other significant reason being negligence. We have not paid heed to the fact that Islam has provided laws for each and every aspect of human life. This negligence is the cause of our not knowing the laws of Islam.


Islam has condemned heedlessness and ignorance. Islam has ordered people to refer to scholars for things about which they are ignorant. The scholars have been ordered to make the reality of things clear to those who inquire from them. Allah has never kept the earth void of His Proof so that people may contend that if they would have known the command they would have definitely acted on it.

Sabtu, 18 Desember 2010

MAKHLUK CIPTAAN ALLAH SWT

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT, ia (manusia) diciptakan dari tiada menjadi ada (lihat QS.76:1-2). Manusia setelah Nabi Adam AS memiliki korelasi genetik dengan Nabi Adam AS, karena Nabi Adam AS merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT, sedangkan manusia-manusia sesudahnya merupakan hasil reproduksi dari Nabi Adam AS dan keturunannya.


Penciptaan manusia oleh Allah SWT diketahui memiliki empat varian, yaitu: Pertama, penciptaan Adam AS yang memiliki keunikan, karena diciptakan dari tanah yang selanjutnya disempurnakan kejadiannya dan dilengkapi dengan ruh ciptaan Allah SWT (lihat QS.3:59);


Kedua, penciptaan Hawa (istri Nabi Adam AS) yang memiliki keunikan, karena diciptakan dari diri Adam AS (lihat QS.4:1). Penciptaan Hawa ini sekaligus memberi hikmah, tentang pentingnya suami istri bersatu dalam nilai-nilai Islam.


Ketiga, penciptaan Isa AS yang memiliki keunikan, karena diciptakan oleh Allah SWT tanpa melalui proses reproduksi sebagaimana manusia pada umumnya. Isa a.s. lahir dari seorang wanita suci bernama Maryam, yang tidak pernah “disentuh” laki-laki (lihat QS.4:171 dan QS.19:20).


Keempat, penciptaan manusia pada umumnya melalui proses reproduksi (lihat QS.23:12-14). Penciptaan ini memberi peluang bagi upaya mempertahankan eksistensi manusia di alam semesta, dalam rangka menjalankan nilai-nilai Islam.


Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, manusia harus berpegang pada aqidah, bahwa Tuhan semesta alam adalah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT (lihat QS.112:1-4). Oleh karena itu kehadiran manusia di dunia memiliki dua tugas utama, yaitu: Pertama, beribadah atau berbakti kepada Allah SWT (lihat QS.51:56). Kedua, menjadi rahmat bagi alam semesta atau rahmatan lil’alamiin (lihat QS.21:107).


Sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan tugasnya, manusia harus dapat mengelola alam semesta dengan sebaik-baiknya. Untuk itu manusia harus memiliki kualitas yang baik (fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh), agar ia dapat mengelola alam semesta dengan baik.


Salah satu indikator manusia yang berkualitas baik, adalah ketika ia mampu menata emosinya. Kemampuan ini akan memberi kontribusi pada manusia yang bersangkutan untuk secara optimal mengelola alam semesta.


Dengan demikian manusia dapat memberi makna dalam kehadirannya di alam semesta, dan benarlah kehendak Allah SWT yang berkenan menciptakan manusia. Hal ini sekaligus merupakan wujud rasa syukur manusia kepada Allah SWT.

Minggu, 12 Desember 2010

MAN AS GOD DEPUTY

The Holy Quran indicates that Allah (God) has created man as His deputy on earth to enjoy and protect God’s creation. Behold, thy Lord said to the angels; “I will create a vicegerent on earth” (Quran, 2:30); “It is He who hath made you the inheritors of the earth” (Quran, 6:165).


In Islam, the earth and its resources belong to Allah, and moslems are obligated to protect these resources for future generations. Consequently, Islamic norms will not allow one to benefit from these resources and impose cost on others. A complete application of Islamic norms will eliminate the problem of negative externalities and provide a safeguard for environmental protection.



It is important to remember that Islamic economics is of a normative form. Thus, the use of these resources is subject to Islamic norms of moderation and avoidance of wastefulness. The earth and its resources must be protected for all generations to come. In a few words, Islamic social justice demands intergenerational equity as well. This suggests that while we are allowed to use these resources for our own benefits, we must also protect them for our progeny. Consequently, Islamic economics could resolve a major problem that has preoccupied Western economists for a long time, namely, the problem of negative externalities and its impact on the environment.



In Islam, ownership in an absolute sense belongs to Allah. The earth and its natural resources are Allah’s blessings that He has mercifully made available to mankind for his/her sustenance. Allah said: (1) “To Allah belongs al that the heavens and earth contain” (Quran, 2:284); “Do you not see how He has subdued to you all that is in the earth?” (Quran, 22:65); “He has subjected to you what the heavens and the earth contain; all is from Him” (Quran, 45:13).



We have already established that absolute ownership belongs to Allah, and human beings are His trustees and care takers who have the right to use and enjoy the earth and its resources and yet they must protect and preserve it for future generations. Therefore, one can argue that Islam has pragmatically established the limited right of private ownership as a system of rewards and incentives to motivate individuals in their trusteeship function. Then, private ownership is God’s reward for those who fulfill their obligations.

Sabtu, 04 Desember 2010

HIJRAH DARI DUNIA JAHILIAH

Tak terasa umat manusia segera memasuki tahun 1432 Hijriah, yang memiliki makna perpindahan masa, dari masa sebelumnya ke masa berikutnya. Dalam konteks dunia, kepindahan ini sekaligus juga bermakna sebagai kepindahan dari situasi dan kondisi jahiliah (kegelapan) menuju ke situasi dan kondisi yang mencerahkan dalam temaram cahaya Islam.


Situasi dan kondisi jahiliah adalah suatu situasi dan kondisi yang dipenuhi oleh kemaksiatan di segala bidang. Pada tataran dunia (global), umat manusia berada pada situasi dan kondisi yang sesat, jenuh, membosankan, dan menyesakkan dada. Perzinahan dengan lawan jenis telah jenuh dan membosankan bagi para penggemar maksiat, sehingga mereka menciptakan perzinahan sejenis.


Kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme telah menjadi pedoman hidup masyarakat jahiliah, yang dengan senang hati mereka rasukkan pada semua aspek kehidupan. Akibatnya, kemusyrikan dan aliran sesat dipuja-puja, riba menjadi basis kegiatan usaha, kebejatan menjadi moralitas teragung, serta pejajahan dan imperialisme menjadi sandaran hubungan internasional.


Oleh karena itu, pada tahun 1432 Hijriah, sudah selayaknya umat manusia di dunia berbondong-bondong menjemput cahaya Islam. Sudah saatnya umat manusia menerapkan tata nilai yang transenden (meruhani), humanis (sesuai fitrah manusia), dan emansipatoris (membebaskan manusia dari kejahiliahan). Tata nilai inilah yang disediakan oleh cahaya Islam, namun dibenci oleh warga jahiliah.


Bagi umat manusia yang telah menyadari keburukan nilai-nilai jahiliah, marilah secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hiduplah dengan aqidah yang benar, agar ibadah yang dilaksanakan diridhai Allah SWT, dan dapat bermuamallah dengan saling memuliakan, melalui tata nilai yang berbasis pada adab yang shahih, dan akhlak terpuji.


Hiduplah dengan fathonah (cerdas), amanah (dapat dipercaya), shiddiq (obyektif), dan tabligh (informatif), agar substansi hidup yang dijalani dapat rahmatan lil’alamiin, sebagai salah satu wujud ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.


Bila setiap individu berkenan berhijrah dari kejahiliahan menuju cahaya. Bila setiap individu berkenan berhijrah dari kegelapan menuju Islam. InsyaAllah, secara kolektif kualitas umat manusia akan semakin baik, sehingga kehidupan umat manusia akan semakin indah, dan keridhaan Allah SWT akan semakin mudah diperoleh.


Bila para pemimpin dunia berkenan berhijrah dari kejahiliahan menuju cahaya, maka tidak akan ada lagi eksploitasi atas negara berkembang atau negara miskin oleh negara-negara maju. Tidak akan ada lagi pemimpin negara berkembang atau negara miskin yang bersedia menghamba pada negara-negara maju. InsyaAllah…….