ABOUT ISLAM

Minggu, 27 November 2011

MAMPU "MENIADAKAN DIRI"

Allah SWT berfirman, ““Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan sebaik-baik tempat kembali” (QS.13:29).


Istilah “meniadakan diri” merupakan istilah yang bermakna simbolik, di mana dalam istilah ini yang dihilangkan adalah segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan.


Kemampuan “meniadakan diri” diperlukan, agar tujuan berbuat kebajikan dapat semakin mudah diwujudkan. Kebajikan menjadi hal penting, karena kebajikan diwujudkan dalam segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memiliki nilai positif di hadapan Tuhan, dan juga memiliki nilai positif di hadapan manusia.


Dengan demikian ”meniadakan diri” adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu menghilangkan segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan. Seseorang yang sedang berupaya “meniadakan diri” akan memperlihatkan kecenderungan tidak lagi gemar menonjolkan diri. Hal penting bagi seseorang yang mampu “meniadakan diri” adalah kontribusinya terhadap kebajikan. Ia tidak peduli, apakah orang lain mengetahui perannya atau tidak.


Seseorang yang mampu “meniadakan diri” berperan dalam dua hal, yaitu: Pertama, to be real or present, di mana ia berkontribusi melalui perannya, sehingga kebajikan menjadi nyata dan hadir dalam kehidupan sosial. Kedua, to live in difficult condition, di mana ia berkontribusi melalui perannya, sehingga kebajikan tetap ada (exist) meskipun dalam keadaan atau tempat yang sulit.


Upaya “meniadakan diri” akan mendorong seseorang untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya mewujudkan kebajikan dalam kehidupan sosial, di mana pada saat yang sama ia berupaya agar orang lain tidak mengetahui kontribusinya atas kebajikan tersebut. Ia berupaya menghapuskan segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan, sekaligus menghilangkan jejak kontribusinya atas kebajikan.


Seseorang yang berupaya “meniadakan diri”, akan bersungguh-sungguh dalam menghancurkan segala sesuatu yang buruk dan tidak bermanfaat bagi kebajikan. Dalam diskusi internal, antara dirinya dengan dirinya sendiri, ia bersungguh-sungguh melacak segenap unsur yang dapat mendukung kebajikan.


Ia juga bersungguh-sungguh menjelaskan kepada dirinya sendiri, tentang segala sesuatu yang memiliki kesalahan dan ketidak-benaran, yang mengancam kebajikan yang sedang diperjuangkannya. Seseorang yang berupaya “meniadakan diri”, akan bersungguh-sungguh dalam menghancurkan egoisme, karena akan menghalang-halangi kebajikan yang diperjuangkannya.


Ia akan memanfaatkan kehendak (will) yang ada pada dirinya untuk mendukung kebajikan. Baginya kehendak merupakan sesuatu yang penting, karena merupakan sumberdaya pada dirinya yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Pada saat melakukan pengambilan keputusan, ia juga akan melibatkan rasio, yang merupakan kemampuannya untuk melakukan abstraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, serta memperhatikan kesamaan atau perbedaan sesuatu.


Ketika ia mensinergikan kehendak dengan rasionya, ia berpeluang melakukan dua kemungkinan: Pertama, ia memposisikan kehendak di atas rasionya, atau mengutamakan kehendak daripada rasionya. Pada kondisi ini, ia berada pada posisi menghendaki. Hal ini akan mengarahkannya pada voluntarisme, yaitu suatu faham untuk melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya (volunteer berarti sukarela);


Kedua, ia memposisikan rasio di atas kehendaknya, atau mengutamakan rasio daripada kehendaknyanya. Pada kondisi ini ia telah berada pada posisi mengetahui. Hal ini akan mengarahkannya pada intelektualisme, yaitu suatu faham untuk melakukan sesuatu berdasarkan rasionya (intellectual berarti cerdik pandai).


Sesungguhnya peluang posisi menghendaki (voluntarisme) dan mengetahui (intelektualisme) dapat disinergikan oleh orang yang bersangkutan untuk mendukung pengambilan keputusan (proposisi). Namun tetap saja terbuka dua kemungkinan, yaitu: Pertama, berupa keputusan emosional, yaitu keputusan yang timbul ketika posisi mengehendaki lebih unggul dari posisi mengetahui, atau suatu keputusan lebih didasarkan pada kehendak daripada pengetahuan seseorang tentang sesuatu.


Kedua, berupa keputusan rasional, yaitu keputusan yang timbul ketika posisi mengetahui lebih unggul dari posisi menghendaki, atau suatu keputusan lebih didasarkan pada pengetahuan daripada kehendak seseorang terhadap sesuatu.


Keputusan emosional merupakan keputusan yang didasarkan pada pemikiran yang kurang cermat sehingga dapat menghalangi terwujudnya kebajikan. Oleh karena itu, seseorang yang mampu ”meniadakan diri” biasanya mampu mereduksi keputusan emosionalnya. Keputusan emosional harus dihindari, karena cenderung menyimpang dari keadilan, cenderung sesat dan menyesatkan serta mendustakan kebenaran, cenderung tidak berdasarkan pengetahuan yang memadai.


Sementara itu, keputusan rasional merupakan keputusan yang didasarkan pada pemikiran yang cermat atau mendalam melalui pemanfaatan akal sehingga berpeluang mendukung terwujudnya kebajikan. Keputusan rasional harus diupaya-terapkan, karena cenderung menggunakan akal sehingga tidak memperolok-olok kebenaran. Keputusan rasional juga cenderung menghindarkan manusia dari kehinaan, serta memberi peluang bagi manusia dalam menguasai (mampu mengatasi) dinamika sosial. Dengan kata lain, seseorang yang mampu “meniadakan diri” bersungguh-sungguh dalam keputusan rasionalnya.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 13 November 2011

MENDIDIK DIRI SENDIRI

Allah SWT mengingatkan, “Di antara orang-orang yang Kami (Allah) ciptakan terdapat umat yang memimpin manusia dengan kebenaran, dan dengan itu pula mereka berlaku adil” (QS.7:181).


Setiap manusia yang berakal jernih tentu ingin menjadi orang yang dimaksud oleh Allah SWT dalam QS.7:181, yaitu menjadi pemimpin yang benar dan adil. Untuk itu, setiap manusia hendaknya berkenan mendidik dirinya sendiri, agar dapat menjadi pemimpin yang benar dan adil.


Mendidik (educate) biasanya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika konsepsi mendidik diri diperkenalkan, maka hal ini berarti memindahkan obyek yang sebelumnya orang lain ke diri sendiri.


Dengan kata lain, mendidik diri sendiri berarti suatu proses mengajar, dan memberi informasi (information) atau pemahaman tertentu pada diri sendiri, agar siap berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku tertentu sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya.


Oleh karena yang bersangkutan berencana untuk berbuat kebajikan di muka bumi, maka pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya dididik agar sesuai, mendukung dan dapat mewujudkan rencana tersebut.


Proses mengajar (teach) diri sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah, karena banyak keinginan diri yang seringkali bertentangan dengan yang diajarkan. Upaya mengajar diri sendiri minimal harus meliputi:


Pertama, give lesson, yaitu upaya memberi pelajaran pada diri sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan melalui pengamatan, analisis dan penarikan kesimpulan atas fenomena yang ditemui;


Kedua, show how to, yaitu upaya menunjukkan atau menerangkan pada diri sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan pada diri sendiri fenomena yang baik dan yang buruk yang dialami oleh orang lain sebagai benchmarking (pembanding dan pengingat);


Ketiga, get knowledge, yaitu upaya mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca buku-buku dan browsing informasi (tekstual, audio, dan visual) yang berisi berbagai peluang kebajikan.


Selain kesediaan mengajar diri sendiri, unsur penting dalam mendidik diri sendiri adalah informasi, yang merupakan fakta tentang sesuatu benda, orang, kejadian, dan lain sebagainya. Informasi berkaitan dengan berita (messages), di mana informasi dianalogikan sebagai isi sesuatu (misal: air), sedangkan berita dianalogikan sebagai wadah sesuatu (misal: gelas).


Sebagaimana diketahui berita berisi informasi, dan ide. Dalam konteks berita, hal terkecil yang termasuk informasi antara lain sepotong tulisan atau sepenggal perkataan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.


Oleh kerena itu, ketika seseorang sedang berupaya mendidik diri sendiri, maka informasi hendaklah sekurang-kurangnya dimaknai sebagai sepotong tulisan atau sepenggal perkataan tentang diri sendiri maupun orang lain, yang disampaikan oleh dirinya sendiri kepada dirinya sendiri.


Beberapa pihak menyebut fenomena ini sebagai, “diskusi internal”, yang wujud konkritnya berupa kontestasi berbagai argumen yang ada dalam ranah pertimbangan, agar dapat dirumuskan sikap yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai…