ABOUT ISLAM

Minggu, 15 Juli 2012

PENGORBANAN DIRI


“Pengorbanan diri” bukanlah terminologi (istilah) yang mengarah pada kejahatan. Sebaliknya, “pengorbanan diri” merupakan terminologi yang mengarah dan menginspirasi kebajikan. Seorang manusia yang mampu melakukan “pengorbanan diri”, adalah seorang manusia yang mampu menjadikan dirinya sebagai instrumen kebajikan, yaitu orang yang gemar beribadah kepada Allah SWT, dan gemar memberi manfaat optimal kepada masyarakat, atau rahmatan lil’alamiin.

Seorang manusia yang mampu melakukan “pengorbanan diri”, adalah seorang manusia yang juga mampu mengendalikan dan mengarahkan dirinya, agar dapat melaksanakan tugas dan fungsi kemanusiaannya. Sebagai manusia, ia wajib beribadah kepada Allah SWT; dan sebagai manusia, iapun wajib berbuat kebajikan kepada sesama manusia.

Oleh karena itu, seorang manusia yang siap melakukan ”pengorbanan diri” akan berupaya memperbaiki diri, agar ia dapat mempersembahkan sesuatu yang terbaik yang ada pada dirinya kepada Allah SWT.

Caranya: Pertama, membangun kualitas diri. Untuk itu ia akan terlebih dahulu memaknai sukses dengan tepat; agar ia dapat membangun percaya diri yang kuat; karena memiliki basis pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memadai; sehingga ia berpeluang mengatur dan mengembangkan dirinya.

Kedua, meningkatkan kualitas diri. Untuk itu ia akan berupaya meningkatkan kontribusi kebajikannya; dengan cara memperhatikan kelebihan dan kekurangan yang ada pada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya; sehingga ia dapat mengeliminasi kekurangan, dan mengembangkan kelebihan yang ada pada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya; agar ia dapat menjadi pribadi mandiri yang mampu berkontribusi optimal.

Ketiga, mengembangkan kualitas diri. Untuk itu ia akan berupaya mengendalikan diri; dengan tidak menipu, dan tidak merusak diri sendiri dan orang lain; sehingga ia dapat membuktikan kemuliaan dirinya; melalui kebajikan optimal yang dilakukannya.

Keempat, optimalisasi kualitas diri. Untuk itu ia akan bersungguh-sungguh mengikhtiarkan nasib baiknya; dengan cara mendidik dan meningkatkan disiplin diri, serta  meniadakan kesombongan yang ada pada diri; sehingga dapat meningkatkan dampak kebajikan optimalnya, baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.

Kelima, ekspresi kualitas diri. Untuk itu ia akan menyembunyikan kebajikan yang pernah dilakukannya; agar semakin banyak orang yang tidak mengetahui kontribusi kebajikannya; sehingga ia berpeluang memperoleh ridha Allah SWT; seraya tetap meningkatkan kekhusyuan beribadah kepada Allah SWT, dan meningkatkan kontribusi kebajikan bagi sesama manusia.

Setelah menjadi peribadi yang siap melakukan pengorbanan diri, barulah ia layak berharap menjadi bagian dari orang-orang yang dimaksud oleh Allah SWT, dalam firmanNya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah dalam surgaKu” (QS.89:27-30). 

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai…

...

Senin, 09 Juli 2012

MENGEKANG DIRI


Seorang manusia yang bersungguh-sungguh berupaya menggapai ridha Allah SWT, tentulah hanya akan mempertuhankan Tuhan yang sesungguh-sungguhnya Tuhan, yaitu Allah SWT. Jika ada seorang manusia yang mempertuhankan sesuatu (manusia, hewan, benda, dan lain-lain) selain Allah SWT, tentulah ia orang yang tertipu.

Kondisi ini terjadi karena ia kurang bersungguh-sungguh menggunakan akal dan pikirannya, atau ia tidak berkenan berpikir dan berakal. Seorang manusia yang mempertuhankan manusia, tentulah seorang manusia yang tertipu; karena Tuhan Yang Maha Esa telah menyatakan dirinya tidak beranak dan tidak diperanakkan (lihat QS.112).

Semoga Allah SWT berkenan memberikan hidayah (petunjuk) bagi orang-orang yang belum mengerti, bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun boleh jadi Allah SWT telah memberikan petunjuk (melalui nilai-nilai Islam), tetapi orang-orang tersebut tetap membangkang kepada Allah SWT.

Dengan kesungguhannya dalam mempertuhankan Allah SWT, maka seorang manusia akan bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah SWT, serta bersungguh-sungguh dalam berkarya dan berikhtiar sebagai bentuk rahmatan lil’alamiin, pada setiap pagi, siang, dan petang.

Selain itu pada sepertiga malam ia menyempatkan diri beraudiensi dengan Allah SWT, melalui shalat malam. Allah SWT berfirman dalam QS.6:160, “Barangsiapa yang datang dengan perbuatan baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat. Dan barangsiapa yang datang dengan kejahatan, maka ia tidak dibalas melainkan yang setimpal dengan perbuatannya, dan ia tidak akan dirugikan (melainkan ia sendiri yang merugikan diri sendiri).”

Hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan menunjukkan tentang terjadinya proses mengekang diri pada seseorang. Ia berupaya mengekang diri untuk tidak melakukan hal-hal yang sia-sia dalam hidupnya. Ia bersungguh-sungguh mempertuhankan Allah SWT, dengan segala implikasi logisnya, seperti hidup lebih sederhana (efektif dan efisien), dan lebih bermanfaat (rahmatan lil’alamiin). Dengan kemampuan mengekang diri, maka hidupnya akan lebih tertata, dan lebih memungkinkan baginya mencapai sukses, yaitu menggapai ridha Allah SWT.

Sebagai orang yang mampu mengekang diri, maka ia akan: Pertama, membangun komitmen yang kuat untuk tidak berpikir, bertindak, bersikap, dan berperilaku yang bertentangan dengan firman Allah SWT. Kedua, karena Allah SWT juga memerintahkan agar setiap manusia mampu memberi manfaat optimal bagi lingkungannya, maka ia berkomitmen untuk menjadikan pikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya bermanfaat optimal bagi lingkungannya. Ketiga, ia bersungguh-sungguh mewujudkan komitmennya seraya memohon pertolongan pada Allah SWT, agar ia dapat mewujudkan komitmennya.

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai…

...