ABOUT ISLAM

Senin, 24 Oktober 2011

MEMBANGUN DISIPLIN DIRI

Disiplin diri (self discipline) adalah suatu kondisi ketika perilaku seseorang dikendalikan secara cermat oleh orang itu sendiri, berdasarkan tata nilai yang ditetapkannya sendiri. Dalam prakteknya, disiplin diri berkaitan dengan tiga hal yang berprosesi secara berurutan. Ketiga hal tersebut adalah, sebagai berikut: (1) pengetahuan (knowledge), (2) pengendalian (control), dan (3) pengendalian diri (self control).


Agar mampu mengendalikan diri, maka seseorang harus faham tentang konsepsi pengendalian. Selanjutnya, agar faham konsepsi pengendalian, maka seseorang harus memiliki pengetahuan tentang pengendalian. Akhirnya, agar memiliki pengetahuan tentang pengendalian, maka seseorang harus bersedia belajar (learning) tentang konsepsi dan pelaksanaan pengendalian, termasuk pengendalian diri.


Agar dapat belajar tentang konsepsi dan pelaksanaan pengendalian, maka dibutuhkan kesediaan seseorang untuk:


Pertama, bersungguh-sungguh menggapai keahlian atau keilmuan yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian.


Kedua, bersungguh-sungguh mengingat berbagai hal yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian.


Ketiga, bersungguh-sungguh memahami berbagai hal yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian.


Keempat, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai hal yang berkaitan dengan pengendalian diri, sebagai bagian dari pelaksanaan kebajikan.


Berbekal pengetahuan, seseorang memiliki informasi dan pemahaman tentang sesuatu di dalam pikirannya. Informasi tersebut antara lain berupa tata nilai dan cara-cara berbuat kebajikan, yang menjadi target pencapaian hidupnya. Kebajikan yang ingin dicapainya meliputi segala aktivitas yang mendapat posisi mulia di hadapan Allah SWT, dan rahmatan lil’alamiin.


Informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang juga meliputi tentang pentingnya pengendalian. Berbekal pengendalian, seseorang menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya atau organisasinya, untuk mengarahkan segenap aktivitasnya agar tetap berada pada jalur pencapaian tujuan. Kebajikan inilah yang menjadi salah satu pencapaian yang ingin diperoleh seseorang melalui pengendalian.


Orang tersebut selanjutnya sadar, bahwa pengendalian yang dibutuhkannya bukanlah pengendalian yang bersifat umum, melainkan pengendalian yang lebih terpusat pada dirinya. Ia harus mengendalikan dirinya sendiri, agar segenap aktivitas dirinya terkendali dengan berada pada jalur pencapaian tujuan. Hal ini terwujud, ketika ia berhasil melakukan kebajikan sebagai bagian dari pencapaian utamanya.


Dengan demikian dalam rangka membangun disiplin diri, maka seseorang harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebajikan dan konsepsi pengendalian, serta bersedia melakukan pengendalian diri.


Oleh karena itu, seseorang yang sedang membangun diri harus: Pertama, berupaya agar dirinya mampu menangkap hikmah dari setiap kejadian, baik yang dialaminya maupun yang diketahuinya.


Kedua, berupaya agar dirinya mampu mendekatkan diri pada Allah SWT, dan orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya.


Ketiga, berupaya agar dirinya mampu melaksanakan kebajikan.


Keempat, bersedia mempraktekkan hal-hal yang telah dicontohkan oleh tokoh-tokoh yang secara nyata mempraktekkan kebajikan dalam hidupnya.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Rabu, 19 Oktober 2011

MENENTUKAN NASIB SENDIRI

Allah SWT telah memberi petunjuk, bahwa Ia tidak akan merubah nasib seseorang atau suatu kelompok manusia, bila orang tersebut atau kelompok manusia tersebut tidak sungguh-sungguh berupaya mengubah nasibnya agar lebih baik, yaitu lebih mulia di hadapan Allah SWT, dan bermanfaat optimal bagi umat manusia.


Berdasarkan petunjuk Allah SWT itu, maka dapatlah difahami bahwa sesungguhnya peluang nasib manusia tidaklah tunggal, melainkan ada sekian banyak peluang nasib manusia. Oleh karena itu, upaya manusialah yang pada akhirnya memilih salah satu peluang itu. Dengan kata lain manusia berkontribusi bagi nasibnya sendiri.


Ketika peluang telah dipilih oleh manusia melalui upayanya, maka Allah SWT dengan cara ketuhananNya menetapkan takdirnya. Cara ketuhanan tersebut, antara lain berupa memberhasilkan atau menggagalkan upaya manusia.


Bila upaya yang dilakukan manusia akan “menjauhkannya” dari Allah SWT, maka besar kemungkinan akan digagalkan oleh Allah SWT. Sebaliknya, bila upaya yang dilakukan manusia akan “mendekatkannya” dengan Allah SWT, maka besar kemungkinan akan diberhasilkanNya.


Cara ini tidak berlaku, bagi manusia yang tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Bagi manusia seperti ini, maka Allah SWT akan mengabaikannya. Bagi manusia yang tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa, telah disiapkan perhitungan tersendiri yang berisi sanksi berat dariNya.


Oleh karena itu, seorang manusia harus berupaya sungguh-sungguh agar ia dapat melakukan sesuatu yang mulia di hadapan Allah SWT, dan dapat semakin mendekatkan dirinya dengan Allah SWT. Selain itu ia juga harus melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi orang lain atau masyarakat.


Dengan demikian seorang manusia yang ingin mulia dan dekat dengan Allah SWT serta berguna bagi orang lain atau masyarakat, harus: Pertama, melakukan determinasi (determination), yaitu upaya yang terus menerus dalam bertindak meskipun banyak menemui kesulitan dan rintangan. Determinasi dilakukan karena orang tersebut faham, bahwa tindakannya mulia di hadapan Allah SWT, dan diperlukan oleh orang lain atau masyarakat.


Kedua, faham bahwa kesulitan memang tidak selalu mudah untuk diatasi. Namun dengan berbekal keahlian dan keterampilan, maka ada peluang untuk mengatasi kesulitan tersebut. Dengan demikian selalu terbuka peluang bagi keberhasilan dalam mengatasi kesulitan.


Ketiga, berbekal keberanian, kualitas diri yang baik, dan tata nilai yang diacunya, maka segenap energi dikerahkan agar dirinya berada pada posisi sebagai manusia yang bersungguh-sungguh mengejar kemuliaan di hadapan Allah SWT. Kesungguhan ini juga diwujudkan melalui tindakan yang diperlukan oleh orang lain atau masyarakat. Dengan demikian Allah SWT dan orang lain atau masyarakat akan mendukungnya dalam melakukan kemuliaan.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 09 Oktober 2011

SIAP BERKORBAN

Berkorban, adalah suatu kondisi di mana seseorang memberikan atau mengerjakan sesuatu yang bernilai dalam hidupnya, untuk dipersembahkan kepada orang lain atau suatu masyarakat, agar dapat bersama-sama mencapai kemuliaan.


Tidak jarang semangat berkorban pada diri seseorang diawali oleh suatu penolakan masyarakat. Hal ini terjadi karena ada orang lain yang menyatakan, bahwa sesuatu yang akan diberikan atau dikerjakan merupakan sesuatu yang tidak benar. Adakalanya penolakan masyarakat terjadi karena tidak ada ijin dari pemegang otoritas (kekuasaan) untuk memberikan atau mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, seseorang yang siap berkorban harus mampu mengatasi hal ini.


Untuk melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya, maka seseorang perlu untuk memiliki pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memperlihatkan substansi siap berkorban. Dengan substansi ini, maka orang tersebut dapat memberikan atau mengerjakan sesuatu yang bernilai dalam hidupnya, untuk dipersembahkan kepada orang lain atau suatu masyarakat, agar dapat bersama-sama mencapai kemuliaan.


Salah satu contoh kesediaan berkorban, adalah kesediaan seorang pengelola perusahaan mengorbankan hubungan baik yang telah dijalinnya bertahun-tahun dengan orang kepercayaannya, demi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran. Pengelola perusahaan tersebut mampu mengendalikan emosinya, ketika ia mengetahui orang kepercayaannya telah melakukan tindakan yang membahayakan perusahaannya secara berulang-ulang.


Ia tetap tenang, ketika mendapat laporan dari stafnya, bahwa ia telah dikhianati oleh orang kepercayaannya. Orang kepercayaannya telah memberikan data palsu kepadanya, sehingga ia salah bersikap. Akibatnya ia memandang baik perbuatan yang buruk, dan sebaliknya, memandang buruk perbuatan yang baik.


Ia tetap dapat mengendalikan emosinya, ketika ia merasakan adanya kejanggalan dari deskripsi yang diberikan oleh orang kepercayaannya. Sampai akhirnya ia berhasil menjelaskan kepada orang kepercayaannya, bahwa ia telah mengetahui tipudaya orang kepercayaannya tersebut. Ia bersedia mengabulkan permohonan maaf orang kepercayaannya, namun ia terpaksa harus memecat orang kepercayaannya itu dari perusahaan yang dikelolanya.


Saat itulah, pengelola perusahaan tersebut, telah mengorbankan hubungan baik yang dijalinnya bertahun-tahun dengan orang kepercayaannya, demi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran. Meskipun tetap perlu difahami, bahwa orang kepercayaan pengelola perusahaan itulah yang telah terlebih dahulu mengorbankan hubungan baik tersebut.


Pengendalian emosi, merupakan konsepsi perilaku diri sendiri yang bersifat sadar dan sukarela. Sebagai konsepsi perilaku diri sendiri, maka pengendalian emosi bersifat individual. Sedangkan sebagai konsepsi yang bersifat sadar, maka pengendalian emosi bersifat rasional. Sementara itu, sebagai konsepsi yang bersifat sukarela, maka pengendalian emosi bersifat internal. Kesemua ini dilakukan dalam rangka interaksi dengan pihak lain.


Pengendalian emosi sebagai wujud dari kesiapan berkorban, pada akhirnya mengajarkan bahwa kesediaan berkorban dilakukan seseorang, karena:


Pertama, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa masih ada Allah SWT yang dapat dimohon pertolonganNya, terhadap situasi dan kondisi apapun yang dialami, termasuk situasi dan kondisi yang mengharuskan ia berkorban;


Kedua, ia terbiasa bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima laporan, informasi, deskripsi, atau berita apapun, yang pada akhirnya mengharuskan ia berkorban;



Ketiga, ia terbiasa bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima pengakuan dari pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya, yang akhirnya mengharuskan ia berkorban, dengan melepaskan kepercayaannya kepada pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya;


Keempat, ia memiliki kesabaran (dalam arti tetap gigih mencari solusi) dan dapat menahan perasaan, ketika mengetahui ada kejanggalan atau mengalami situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan, yang pada akhirnya mengharuskan ia berkorban;


Kelima, ia bersedia memohonkan ampunan kepada Allah SWT bagi pihak yang telah bertaubat dari kesalahannya, meskipun karena itu ia akhirnya harus berkorban;


Keenam, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa Allah SWT akan memberi kemudahan baginya dalam melakukan kebajikan.

Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 02 Oktober 2011

MAMPU MEMBELA DIRI

Membela diri, adalah suatu pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang dalam melindungi diri dari serangan yang bersifat fisik maupun non fisik terhadap dirinya. Hal ini dilakukan seseorang sebagai upaya mencegah diri dari bahaya atau tekanan yang akan merugikan dirinya.


Kemampuan membela diri menunjukkan, bahwa yang bersangkutan peduli pada dirinya. Dengan kata lain, yang bersangkutan mengetahui bahwa dirinya penting, dan merasa bahwa kepentingan dirinya harus dilindungi. Dirinya penting untuk melakukan sesuatu yang penting bagi kepentingannya, yaitu berbuat kebajikan.


Seseorang yang mampu membela diri tidak mudah terkecoh oleh pujian, karena boleh jadi pujian itu justru dimaksudkan untuk menghancurkan dirinya. Bila ada orang yang memuji dirinya, maka ia akan tersenyum dan menerimanya sebagai pemicu semangat.


Seseorang yang mampu membela diri akan menjaga dirinya agar tetap berada dalam koridor kebajikan. Ia tidak mudah terkecoh oleh hinaan, karena boleh jadi hinaan merupakan informasi penting tentang kekurangan dirinya.


Kekurangan itulah yang selama ini sedang ia upayakan untuk direduksi (dikurangi) dengan penuh kesungguhan. Oleh karena itu, ia membela diri, hanya apabila ikhtiar kebajikannya terganggu.


Sebagai contoh, apabila ada orang yang menghina tindakannya ketika membantu anak yatim, maka ia akan membela diri. Ia akan menjelaskan bahwa membantu anak yatim merupakan tindakan yang penting dan perlu.



Penggemar kebajikan ini juga sanggup membela diri secara fisik, jika ada orang yang ingin berbuat jahat kepadanya. Ia telah mempersiapkan diri dengan berlatih secukupnya dalam hal bela diri.




Ia menjaga kesehatannya, agar dapat selalu beribadah kepada Allah SWT, dan terus menerus melakukan kebajikan pada sesama manusia sesuai kemampuannya.
Ia ingin dirinya dinilai baik oleh Allah SWT. Ia juga ingin agar hidupnya bermakna bagi orang lain.



Ibadah kepada Allah SWT, dan kebajikan bagi sesama manusia menjadi instrumen interaksi dirinya. Allah SWT merupakan Dzat yang penting bagi dirinya, karena merupakan tujuan segenap ibadah dan kebajikannya. Sesama manusia merupakan sahabat yang penting bagi dirinya, terutama sebagai ”tempat” berbagi dalam suka dan duka.




Seseorang yang mampu membela diri selalu ingat firman Allah SWT, “
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik dengan suatu berita, maka selidikilah, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS.49:6).



Berdasarkan firman Allah SWT ini, maka seseorang yang mampu membela diri akan berhati-hati dalam mensikapi informasi, karena sebaik-baik pembelaan diri adalah kemampuan mensikapi informasi dengan tepat, agar tidak keliru dalam mengambil keputusan.



Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...