ABOUT ISLAM

Minggu, 25 September 2011

JANGAN MERUSAK DIRI

Merusak diri, adalah suatu kondisi di mana seseorang berupaya menggagalkan kesuksesan atau kemenangan dirinya atas segenap dinamika sosial yang dihadapinya.


Agar berhasil merusak dirinya sendiri, seseorang biasanya mengawali dengan merusak kesehatannya, yang kemudian dilanjutkan dengan merusak mindset atau pola pikirnya. Akibatnya segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya akan rusak, atau jauh dari kebajikan.


Agar tidak merusak diri, setiap orang hendaknya berupaya menghilangkan penyakit dalam “hatinya”, seperti rasa tamak (serakah), dan dengki (iri hati). Hal ini perlu dilakukan agar ia tidak terjebak dalam “jalan” sesat yang mengakibatkan psike atau jiwanya menjadi tak tenang, dan akhirnya sesak nafas atau stroke.


Agar tidak merusak diri, setiap orang hendaknya terus menerus mempelajari konsepsi kehidupan dengan baik. Selayaknya ia mengenali konsepsi kehidupan, dengan cara mempelajari kajian akademik tentang konsepsi kehidupan, dan informasi popular tentang konsepsi kehidupan.


Kesediaan mempelajari konsepsi kehidupan, akan menjadikan seseorang memiliki pengetahuan yang cukup tentang konsepsi kehidupan. Pengetahuan inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar bagi seseorang dalam merespon dinamika sosial yang dihadapinya, agar ia tetap berada pada jalur pencapaian kebajikan.


Tepatlah kiranya bila ia selalu berdoa kepada Allah SWT, agar Allah SWT berkenan melimpahkan petunjuk kepadanya. Saat itulah secara bersamaan ia berhasil mencegah mindset-nya dari kerusakan. Mindset yang baik, akan mendorong pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang tetap berada pada jalur pencapaian kebajikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.


Oleh karena buruknya akibat yang ditimbulkan dari aktivitas merusak diri, maka setiap orang dianjurkan untuk “Jangan Merusak Diri”. Untuk itu, setiap orang hendaknya bersungguh-sungguh berupaya sukses (success). Sebagaimana diketahui, sukses adalah suatu kondisi ketika seseorang berhasil mencapai sesuatu yang ingin dicapainya.


Seseorang dinyatakan sukses, ketika ia mampu mendapatkan kemajuan (achievement) yang berupa suatu kebajikan. Kesuksesan seseorang ditentukan oleh pencapaian kebajikan yang berhasil ia lakukan, karena seseorang yang sedang berupaya untuk sukses, akan berusaha agar pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya bernilai (valuable) serta berguna (useful) bagi dirinya dan masyarakat.


Allah SWT berfirman, “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56).


Allah SWT juga berfirman, “Dan Kami tiada mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil’alamiin” (QS.21:107).


Dengan memperhatikan firman Allah SWT dalam QS.51:56 dan QS.21:107 sudah selayaknya seorang manusia tidak merusak diri, agar ia berkesempatan memadukan semangat beribadah kepada Allah SWT dengan semangat rahmatan lil’alamiin.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 18 September 2011

JANGAN MENIPU

Allah SWT mengingatkan, “Hai sekalian manusia, sungguh telah datang kepadamu pengajaran dari Tuhanmu (Allah), penyembuh penyakit-penyakit dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS.10:57).


Istilah “penyakit-penyakit dalam dada” pada firman Allah SWT ini dapat dimaknai sebagai “berbagai kesalahan pemikiran dan persepsi manusia tentang sesuatu, yang kemudian menyesatkannya, hingga terasa sesak dadanya, karena sulit bernafas dengan baik disebabkan banyaknya persoalan yang tak terpecahkan.”


Salah satu penyakit dalam dada adalah kegemaran menipu diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, manusia harus terus menerus mempelajari konsepsi kehidupan yang diajarkan Allah SWT, yang antara lain melarang seorang manusia menipu diri sendiri dan orang lain.


Menipu, adalah suatu pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang terhadap diri sendiri dan orang lain, yang mengakibatkan dirinya dan orang lain percaya pada sesuatu yang tidak benar.


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar seseorang dapat menghindarkan diri dari upaya menipu diri sendiri dan orang lain, yaitu dengan memperhatikan konsepsi tentang percaya (believe) dan benar (true). “Percaya”, adalah suatu kondisi di mana seseorang berpikir bahwa sesuatu itu benar. Sementara itu, “benar” adalah sesuatu yang real, sungguh-sungguh ada, dan tidak salah yang diakui berdasarkan fakta dan bukan berdasarkan khayalan.


Upaya menghindarkan diri dari menipu diri sendiri dan orang lain merupakan sesuatu yang penting, karena kemampuannya ini bukan saja akan berdampak bagi pelakunya, melainkan juga akan berdampak bagi orang lain (masyarakat).


Penguasa yang gemar menipu diri sendiri (dengan meyakini seolah-olah ia telah melakukan kebajikan dan berbuat adil pada rakyatnya), akan berkembang menjadi penguasa yang gemar menipu orang lain (rakyatnya). Penguasa seperti ini akan menjadikan fitnah sebagai instrumen profesinya, sehingga meskipun ia professional, keprofesionalannya berada dalam ranah sesat dan maksiat.


Dengan demikian “percaya” dan “benar” merupakan dua kata kunci yang penting karena berdampak luas bagi masyarakat. “Percaya” dan “benar” juga merupakan dua kata yang saling terkait dengan sangat erat, karena keduanya mempersyaratkan adanya fakta.


Agar seseorang dapat menghindarkan diri dari upaya menipu, maka ia perlu menjadikan fakta sebagai prasyarat pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku. Ketika fakta menjadi pertimbangan utama dalam pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang, maka ia akan mampu mengenali dirinya dan orang lain.


Ada pepatah menyatakan, "The first key to success is knowing yourself" (kunci pertama untuk sukses itu dimulai dengan mengenali dirimu sendiri). Upaya mengenali diri, akan menjadikan seseorang mampu menemukan potensi dan bakat unik yang telah dianugerahkan Allah SWT dalam dirinya.


Allah SWT menganugerahkan kemampuan unik pada diri tiap manusia yang diciptakanNya. Oleh karena itu, selalu ada perbedaan kemampuan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.


Perbedaan kemampuan ini tidaklah bersifat strukturatif (atas – bawah), sehingga tidaklah benar apabila ada sebagian masyarakat yang menempatkan kemampuan tertentu pada posisi superior (kuat dan berkuasa), sedangkan kemampuan yang lain berada pada posisi inferior (lemah dan tak berkuasa).


Sesungguhnya perbedaan kemampuan pada diri tiap-tiap manusia dimaksudkan agar manusia dapat saling melengkapi, dan saling memenuhi kebutuhan. Ketika ada anjuran agar manusia mengenali potensi dirinya, sebagian manusia menganggap anjuran itu kuno atau klise.


Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian, karena adakalanya hingga tua ada manusia yang tidak tahu tentang potensi, bakat dan keinginan mulianya dalam hidup di dunia. Oleh karena itu, "Kenali dirimu, karena barangsiapa yang mengenali dirinya, maka dia insyaAllah akan mengenali Tuhannya (Allah SWT)."


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai…

Minggu, 11 September 2011

MAMPU MENGENDALIKAN DIRI

Pada “bulan suci”, yaitu Ramadhan, Umat Islam menunaikan Ibadah Puasa. Hikmah pelaksanaan Ibadah Puasa oleh Umat Islam pada Bulan Ramadhan antara lain sebagai bentuk latihan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengendalikan diri, agar ia memiliki kepekaan sosial yang tinggi; selain kepekaan ruhani, yaitu berbakti kepada Allah SWT. Dengan kepekaan sosial yang tinggi, maka ia dapat membangun motivasi yang mampu merespon dinamika sosial.


Seseorang dikatakan mampu mengendalikan diri, apabila ia memiliki kekuatan dan aturan yang ditetapkan dan dipatuhi oleh diri sendiri, yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Dengan demikian ia dapat berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan visi, misi, dan tujuan hidupnya.


Berdasarkan pengertian tersebut, maka ada dua hal penting dalam mengendalikan diri, yaitu kekuatan (power), dan aturan (rule). Kekuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kekuatan yang ada pada diri sendiri, yaitu kekuatan pemikiran, kekuatan sikap, kekuatan tindakan, dan kekuatan perilaku yang ada pada orang tersebut. Demikian pula dengan aturan, yaitu aturan yang ditetapkan oleh diri sendiri dan dipatuhi pula oleh diri sendiri, sehingga dapat mendukung munculnya kekuatan pemikiran, kekuatan sikap, kekuatan tindakan, dan kekuatan perilaku yang ada pada orang tersebut.


Orang yang mampu mengendalikan diri adalah orang yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan (power to control), serta memiliki aturan untuk mengendalikan (rule to control). Bagi orang ini, kekuatan dan aturan adalah dua instrumen pribadi miliknya, yang ia gunakan untuk mengendalikan dirinya.


Kekuatan yang ada pada dirinya digunakan untuk memampukan dirinya dalam membangkitkan energi diri, yang akan mempengaruhi dan membentuknya menjadi orang yang terkendali. Demikian pula halnya dengan aturan yang ditetapkan dan dipatuhi oleh dirinya sendiri.


Baginya, aturan tersebut merupakan beberapa prinsip yang menjadi pegangan hidup. Aturan tersebut berisi instruksi pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku, yang akan memimpinnya agar hidup dalam cara-cara yang biasa, namun mampu memberikan hasil yang luar biasa. Hasil tersebut berupa kebajikan yang mampu membahagiakan manusia, dan menjadikan Allah SWT berkenan memberi nilai positif padanya atas segenap proses yang dilalui.


Orang yang mampu mengendalikan diri mengerti, bahwa Allah SWT melarang manusia mengabaikan akalnya. Seharusnya manusia memanfaatkan dan mengembangkan akalnya, agar ia dapat memunculkan kekuatan pemikiran, yang kemudian akan mendorong munculnya kekuatan, sikap, tindakan, dan perilaku.


Tanpa kesediaan memanfaatkan dan mengembangkan akal, manusia akan sulit mengendalikan diri, karena kekuatan dan aturan yang ia tetapkan dan laksanakan sendiri membutuhkan akal dalam operasionalisasinya. Sementara itu, tanpa kemampuan mengendalikan diri, maka manusia akan hidup dalam ombang-ambing badai individual (dari diri sendiri) dan badai sosial (dari pihak lain).


Oleh karena itu, bangun terus kemampuan mengendalikan diri, serta kembangkan dan manfaatkan akal untuk menggalang kekuatan dan aturan yang mampu membahagiakan. Jadikan kemampuan mengendalikan diri sebagai pendorong munculnya pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang mampu mewujudkan kebajikan.


Allah SWT mengingatkan dalam Al Qur’an agar seorang muslim sungguh-sungguh mempergunakan akalnya (lihat QS.5:58). Pemahaman manusia saat ini telah sampai pada pengertian bahwa akal identik dengan logika, rasionalitas dan proses penyimpulan. Dengan demikian akal merupakan instrumen yang penting dalam kehidupan seorang manusia.


Hanya saja yang penting untuk diperhatikan prosedurnya bukanlah mengakalkan Al Qur’an, melainkan meng-Al Qur’an-kan akal. Tepatnya menundukkan akal manusia pada kebenaran Allah SWT yang tertuang dalam Al Qur’an. Allah SWT menjelaskan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh Allah SWT (lihat QS.2:147), kalau kebenaran itu ditentukan oleh manusia maka terjadilah kerusakan di alam semesta (lihat QS.23:71).


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 04 September 2011

MAMPU BERDIRI SENDIRI

Pada postingan sebelumnya, blog ini pernah menyebutkan tentang “beralamat sendiri”, yang mengandung makna mandiri. Seseorang dikatakan telah beralamat sendiri, bila pemikiran, sikap, dan perilaku orang tersebut tidaklah dideterminir atau ditentukan oleh pihak lain di luar dirinya. Berbekal kemampuan, kepercayaan, dan potensi yang dimilikinya, orang tersebut menetapkan sendiri pemikiran, sikap, dan perilakunya.


Pengertian “berdiri sendiri” memiliki persamaan dan perbedaan dengan “beralamat sendiri”. Persamaannya, keduanya sama-sama mengandung makna mandiri. Hanya saja, beralamat sendiri belum memperhitungkan kemampuan menahan “badai sosial”, sedangkan berdiri sendiri sudah memperhitungkan kemampuan menahan “badai sosial”.


Badai sosial merupakan sesuatu yang lazim dialami oleh seorang manusia kapanpun dan di manapun ia berada. Semakin besar peran yang dimainkan oleh seseorang dalam mewujudkan kebajikan, maka akan semakin besar pula badai sosial yang menerpanya.


Sebagai contoh, seseorang yang berperan dalam upaya merubah perilaku sekelompok penjudi agar tidak lagi berjudi, akan diterpa oleh berbagai tekanan dan intimidasi dari pihak-pihak yang selama ini memperoleh keuntungan besar dari bisnis judi. Semakin besar peran orang tersebut dalam merubah perilaku penjudi, maka akan semakin besar pula tekanan dan intimidasi dari pihak-pihak yang mendukung perjudian.


Seseorang yang mampu berdiri sendiri, adalah seseorang yang pemikiran, sikap, dan perilakunya tidak dideterminir atau ditentukan oleh pihak lain di luar dirinya, melainkan dia sendirilah yang menentukannya. Berbekal kemampuan, kepercayaan, dan potensi yang dimilikinya, orang tersebut menetapkan sendiri pemikiran, sikap, dan perilakunya dalam menahan dan menepis badai sosial.


Contoh, seseorang yang merintis usaha rumah makan di lingkungan yang telah banyak berdiri rumah makan, maka selain harus menyajikan makanan yang halal dan sehat dalam suasana nyaman, ia juga harus memiliki kiat dan jaringan pertemanan yang siap menghadapi intimidasi dari pemilik rumah makan yang telah ada sebelumnya dan gangguan dari preman setempat.


Saat ini, berdiri sendiri merupakan suatu kemampuan yang penting bagi manusia, karena kemampuan ini menjadikan manusia dapat menghadapi badai sosial dengan mata terbuka, dan tetap fokus pada kebajikan yang diperjuangkan. Kebajikan merupakan perbuatan baik yang bermanfaat di dunia dan akherat bagi yang membantu dan yang dibantu.


Untuk itu, seseorang yang ingin memiliki kemampuan berdiri sendiri hendaknya bersungguh-sungguh membangun kecerdasannya. Ia juga harus terus menerus berinteraksi dengan orang-orang yang cerdas dunia dan cerdas akherat.


Kata kuncinya, “Jangan pernah kehilangan kesempatan berbuat kebajikan, karena hidup di dunia hanya satu kali dan tak akan terulang kembali.”


Allah s.w.t. berfirman, “Dan janganlah engkau turut segala sesuatu yang tidak engkau ketahui ilmunya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya” (QS.17:36).


Dengan demikian, seorang manusia yang ingin mampu berdiri sendiri, hendaknya: Pertama, bersungguh-sungguh mempelajari ilmu tentang kemampuan berdiri sendiri. Hal ini akan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hatinya menjadi pendengaran, penglihatan, dan hati yang mampu berkontribusi bagi yang bersangkutan, dalam mewujudkan kemampuan berdiri sendiri.


Kedua, bersungguh-sungguh mempelajari ilmu tentang kebajikan dalam persepektif Allah SWT. Hal ini akan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hatinya menjadi pendengaran, penglihatan, dan hati yang mampu berkontribusi bagi yang bersangkutan, dalam melakukan kebajikan.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai…