ABOUT ISLAM

Jumat, 30 Desember 2011

MAMPU MENGEKSPRESIKAN DIRI

Ekspresi (expression), adalah kondisi ketika seseorang memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya kepada orang lain. Dengan demikian “mampu mengekspresikan diri”, adalah kemampuan seseorang dalam memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya kepada orang lain, sesuai dengan kepentingan yang sedang diperjuangkannya. Ketika ia sedang memperjuangkan kebajikan, maka ekspresinya akan memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang mengarah pada kebajikan.


Ekspresi kebajikan dapat dilakukan dengan cara: Pertama, memanfaatkan kata-kata. Ia dapat memilih kata-kata yang tepat agar orang lain dapat mengenali pemikiran dan sikapnya atas sesuatu. Untuk itu ia sangat membutuhkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar;


Kedua, memanfaatkan wajah. Ia dapat memperlihatkan wajah tertentu untuk pemikiran atau sikap tertentu. Ia memperlihatkan wajah gembira bila ia setuju pada suatu kondisi tertentu, ia juga dapat mengerutkan keningnya untuk memperlihatkan ekspresi penolakan atau keterkejutan atas suatu kondisi, atau ia memperlihatkan senyum hambar ketika ia bingung atau ragu-ragu atas suatu kondisi tertentu;


Ketiga, memanfaatkan gestures, yaitu suatu gerakan tangan, badan, atau kepala yang diperlihatkan oleh seseorang, untuk menunjukkan pemikiran dan sikapnya atas suatu kondisi tertentu. Ia dapat menggelengkan kepala sebagai tanda ia tidak setuju atas suatu kondisi, atau ia membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan atas pemikiran atau sikap orang yang di hadapannya.


Gestures juga dapat dilakukan oleh seseorang dengan memperlihatkan tindakan tertentu, untuk memberitahukan pemikiran dan sikapnya kepada orang lain atas suatu kondisi tertentu. Misalnya, ia menyingkirkan meja dan kursi yang berada di tengah ruangan, sebagai tanda bahwa ia tidak setuju atas peletakan kursi di tengah ruangan.


Setelah memiliki kemampuan mengekspresikan diri, hal lain yang perlu diperhatikan adalah konteks ekspresi. Sebagai contoh: Pertama, ada sesuatu yang bersifat rahasia yang berkaitan dengan ekspresi. Untuk konteks ini, maka ekspresi hanya dilakukan kepada orang – orang tertentu yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten atas suatu masalah. Caranya dengan memberikan informasi yang mengejutkan atau sangat rahasia tersebut.


Cara lainnya adalah dengan mengijinkan data tertentu dilihat oleh orang yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten. Ekspresi atas hal – hal yang bersifat rahasia dilakukan dengan terlebih dahulu membuka tabir informasi atas suatu kondisi atau situasi tertentu. Dengan upaya ini, maka ia akan dapat membuka atau mengetahui sesuatu yang sesungguhnya bersifat rahasia atau tersembunyi. Setelah itu, barulah informasi ini diberikan kepada orang yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten;


Kedua, ada sesuatu yang boleh jadi belum diminati orang lain yang berkaitan dengan ekspresi. Untuk mengekspresikan diri atas sesuatu hal yang belum diminati oleh orang lain, maka terlebih dahulu harus ditumbuhkan minat tersebut. Caranya dengan memperlihatkan, bahwa sesuatu yang perlu diminati itu adalah sesuatu yang penting, perlu dilakukan, atau membutuhkan perhatian khusus.

Minggu, 18 Desember 2011

DENGAN SENDIRINYA

Banyak makna yang diberikan oleh masyarakat bagi istilah “bukti” (evidence). Pertama, “bukti” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dipercaya benara adanya. Kondisi seperti ini biasanya dikenali sebagai fakta (fact). Kedua, “bukti” juga dapat dimaknai sebagai suatu informasi yang diberikan dengan tujuan untuk membantu pembuktian atas sesuatu. Kondisi ini biasanya dilakukan di pengadilan untuk mengungkap suatu kasus tertentu, baik yang bersifat pidana, perdata, tata usaha negara, maupun konstitusional.


Dalam konteks motivasi, “bukti” hendaknya dimaknai sebagai fakta, yaitu sesuatu yang benar (true) dan sesuatu yang nyata (real). Untuk itu dibutuhkan proses tertentu, agar sesuatu diterima sebagai sesuatu yang benar dan nyata. Kondisi ini biasa dikenali sebagai proses pembuktian.


Dengan demikian istilah “terbukti dengan sendirinya” tidak dimaksudkan untuk menafikan (meniadakan) proses, melainkan justru ingin mendorong dilakukannya proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”, karena mereka tidak mampu melihat proses yang ada. Hal ini disebabkan proses tersebut berlangsung sangat alami (natural), sehingga hasil yang diperoleh nampak sebagai sesuatu yang wajar terjadi.


Sebagai contoh, seseorang yang berjuang mencapai sukses, dengan melakukan berbagai upaya secara sistematis, efektif, dan efisien, maka lambat laun akan sukses. Ketika orang tersebut telah mencapai sukses, maka orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain tidak mampu melihat proses yang ada, karena orang tersebut menjalani proses kehidupannya dengan sangat alami. Ketika gagal, ia bangkit kembali untuk mencoba membangun kebajikan dengan cara yang lain. Sampai suatu saat berbagai kebajikan yang diikhtiarkannya terakumulasi sebagai kesuksesan. Saat itulah, segala sesuatu yang dilakukannya bagi orang lain akan nampak sebagai sesuatu yang wajar. Dengan kondisi demikian, di mata banyak orang (orang lain), kesuksesannya akan difahami sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Sesuatu “terbukti dengan sendirinya”, karena ada unsur “keniscayaan” dalam pembuktiannya. Keniscayaan muncul sebagai konsekuensi logis, atas berbagai ikhtiar kebajikan yang dirancang dan diimplementasikan oleh orang tersebut.


Keniscayaan barulah muncul, bila ikhtiar dilakukan secara sistematis, efektif, dan efisien. Dengan demikian, mari wujudkan “terbukti dengan sendirinya” melalui proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain tidak mengenali prosesnya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang alami. Atau orang lain menganggapnya sebagai “terbukti dengan sendirinya”.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai…

Minggu, 04 Desember 2011

MEMBANGUN HARGA DIRI

Harga diri (esteem) adalah suatu kondisi di mana seseorang menghormati dirinya sendiri, dengan cara memberi citra baik bagi dirinya, melalui berbagai aktivitas kebajikan. Untuk itu ia menunjukkan perilaku yang halus, lembut, dan tidak kasar, serta berupaya menunjukkan pada khalayak bahwa ia memperhatikan kesetaraan kepentingan dirinya dengan orang lain.


Ketika seseorang berupaya membangun harga dirinya, maka ada beberapa hal yang harus ia lakukan, yaitu: Pertama, ia harus menghindarkan diri dari kondisi tenggelam, atau larut dalam masalah, karena kondisi ini akan menjadikan ia hidup tanpa solusi atas masalah yang dihadapi.


Kedua, ia harus menghindarkan diri dari kondisi tenggelam dalam kepasrahan, serta jangan pernah hanya mengharap keajaiban dan tanpa upaya, melainkan terus menerus berupaya mengatasi masalah sebagai suatu cara membuat keajaiban.


Ketiga, ia harus lakukan penataan emosi dalam format sadar diri, dengan memanfaatkan potensi untuk mencari solusi.


Ketiga upaya tersebut membutuhkan kesediaannya untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, ia harus memperhatikan content, konten, atau isi, seperti: isi pengendalian diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan memotivasi diri sendiri.


Kedua, ia harus memperhatikan context, konteks, atau relevansi, seperti: berbagai situasi dan kondisi yang terkait dengan interaksi antara yang bersangkutan dengan orang lain.


Ketiga, ia harus memperhatikan goal atau tujuan, seperti: pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain.


Setiap orang hendaknya bersegera membangun harga diri, dengan cara memberi citra baik bagi dirinya, melalui berbagai aktivitas kebajikan. Salah satu kebajikan yang dapat diraih melalui pengendalian diri adalah menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.


Perilaku menahan amarah merupakan perilaku seseorang yang memiliki harga diri. Perilaku ini berpasangan secara relasional (sebab akibat) dengan perilaku memaafkan kesalahan orang lain.


Kedua perilaku ini dapat dipandang sebagai perilaku yang bersifat parallel (sejajar), maupun linear (serial). Dalam perspektif parallel masing-masing perilaku (menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain) difahami dapat muncul bersamaan.


Sedangkan dalam perspektif linear difahami, bahwa perilaku diawali oleh perilaku menahan amarah. Perilaku ini memberi kesempatan pada individu yang bersangkutan untuk memunculkan perilaku memaafkan kesalahan orang lain.


Seseorang yang memiliki harga diri akan secara sadar mengekspresikan perilaku menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Kesadaran diri sendiri ini mencakup dua hal, yaitu: kesadaran terhadap adanya proses berpikir atau metakognisi (metacognition), dan kesadaran terhadap adanya penataan emosi atau metamood.


Metakognisi dan metamood menghasilkan kesadaran individu terhadap adanya pemikiran tentang perlunya penataan emosi. Hal ini memberi pilihan bagi individu tersebut untuk melakukan penekanan emosi, yang akan menimbulkan pemberontakan; atau melakukan pembebasan emosi, yang akan menimbulkan kejenuhan.


Oleh karena penekanan dan pembebasan emosi menimbulkan efek negatif pada individu, berupa pemberontakan dan kejenuhan pada diri individu yang bersangkutan, maka dibutuhkan adanya solusi emosional berupa pengendalian emosi. Pengendalian emosi, merupakan konsepsi perilaku diri sendiri yang bersifat individual, sadar, rasional, internal, dan sukarela.


Seseorang yang mampu mengendalikan emosi memiliki karakteristik, sebagai berikut: Pertama, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan dapat dimohon pertolonganNya terhadap apapun situasi dan kondisi yang dialami.


Kedua, ia bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima informasi, deskripsi, atau berita apapun.


Ketiga, ia bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima pengakuan dari pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya.


Keempat, ia memiliki kesabaran (dalam arti tetap gigih mencari solusi) dan dapat menahan perasaan, ketika mengetahui ada kejanggalan atau mengalami situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan.


Pengendalian emosi yang dilakukan oleh individu, akan dapat menetralisir pemberontakan dan kejenuhan diri, melalui penyikapan kebutuhan secara tepat, yaitu: ada kebutuhan emosi yang dapat dipenuhi secara proporsional karena bermanfaat; dan ada kebutuhan emosi yang tidak dapat dipenuhi, karena tidak bermanfaat.


Ketika seseorang berhasil melakukan hal ini, maka ia telah mengakses jalan bagi pembangunan dirinya menjadi manusia yang memiliki harga diri.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...