ABOUT ISLAM

Jumat, 30 Desember 2011

MAMPU MENGEKSPRESIKAN DIRI

Ekspresi (expression), adalah kondisi ketika seseorang memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya kepada orang lain. Dengan demikian “mampu mengekspresikan diri”, adalah kemampuan seseorang dalam memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya kepada orang lain, sesuai dengan kepentingan yang sedang diperjuangkannya. Ketika ia sedang memperjuangkan kebajikan, maka ekspresinya akan memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang mengarah pada kebajikan.


Ekspresi kebajikan dapat dilakukan dengan cara: Pertama, memanfaatkan kata-kata. Ia dapat memilih kata-kata yang tepat agar orang lain dapat mengenali pemikiran dan sikapnya atas sesuatu. Untuk itu ia sangat membutuhkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar;


Kedua, memanfaatkan wajah. Ia dapat memperlihatkan wajah tertentu untuk pemikiran atau sikap tertentu. Ia memperlihatkan wajah gembira bila ia setuju pada suatu kondisi tertentu, ia juga dapat mengerutkan keningnya untuk memperlihatkan ekspresi penolakan atau keterkejutan atas suatu kondisi, atau ia memperlihatkan senyum hambar ketika ia bingung atau ragu-ragu atas suatu kondisi tertentu;


Ketiga, memanfaatkan gestures, yaitu suatu gerakan tangan, badan, atau kepala yang diperlihatkan oleh seseorang, untuk menunjukkan pemikiran dan sikapnya atas suatu kondisi tertentu. Ia dapat menggelengkan kepala sebagai tanda ia tidak setuju atas suatu kondisi, atau ia membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan atas pemikiran atau sikap orang yang di hadapannya.


Gestures juga dapat dilakukan oleh seseorang dengan memperlihatkan tindakan tertentu, untuk memberitahukan pemikiran dan sikapnya kepada orang lain atas suatu kondisi tertentu. Misalnya, ia menyingkirkan meja dan kursi yang berada di tengah ruangan, sebagai tanda bahwa ia tidak setuju atas peletakan kursi di tengah ruangan.


Setelah memiliki kemampuan mengekspresikan diri, hal lain yang perlu diperhatikan adalah konteks ekspresi. Sebagai contoh: Pertama, ada sesuatu yang bersifat rahasia yang berkaitan dengan ekspresi. Untuk konteks ini, maka ekspresi hanya dilakukan kepada orang – orang tertentu yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten atas suatu masalah. Caranya dengan memberikan informasi yang mengejutkan atau sangat rahasia tersebut.


Cara lainnya adalah dengan mengijinkan data tertentu dilihat oleh orang yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten. Ekspresi atas hal – hal yang bersifat rahasia dilakukan dengan terlebih dahulu membuka tabir informasi atas suatu kondisi atau situasi tertentu. Dengan upaya ini, maka ia akan dapat membuka atau mengetahui sesuatu yang sesungguhnya bersifat rahasia atau tersembunyi. Setelah itu, barulah informasi ini diberikan kepada orang yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten;


Kedua, ada sesuatu yang boleh jadi belum diminati orang lain yang berkaitan dengan ekspresi. Untuk mengekspresikan diri atas sesuatu hal yang belum diminati oleh orang lain, maka terlebih dahulu harus ditumbuhkan minat tersebut. Caranya dengan memperlihatkan, bahwa sesuatu yang perlu diminati itu adalah sesuatu yang penting, perlu dilakukan, atau membutuhkan perhatian khusus.

Minggu, 18 Desember 2011

DENGAN SENDIRINYA

Banyak makna yang diberikan oleh masyarakat bagi istilah “bukti” (evidence). Pertama, “bukti” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dipercaya benara adanya. Kondisi seperti ini biasanya dikenali sebagai fakta (fact). Kedua, “bukti” juga dapat dimaknai sebagai suatu informasi yang diberikan dengan tujuan untuk membantu pembuktian atas sesuatu. Kondisi ini biasanya dilakukan di pengadilan untuk mengungkap suatu kasus tertentu, baik yang bersifat pidana, perdata, tata usaha negara, maupun konstitusional.


Dalam konteks motivasi, “bukti” hendaknya dimaknai sebagai fakta, yaitu sesuatu yang benar (true) dan sesuatu yang nyata (real). Untuk itu dibutuhkan proses tertentu, agar sesuatu diterima sebagai sesuatu yang benar dan nyata. Kondisi ini biasa dikenali sebagai proses pembuktian.


Dengan demikian istilah “terbukti dengan sendirinya” tidak dimaksudkan untuk menafikan (meniadakan) proses, melainkan justru ingin mendorong dilakukannya proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”, karena mereka tidak mampu melihat proses yang ada. Hal ini disebabkan proses tersebut berlangsung sangat alami (natural), sehingga hasil yang diperoleh nampak sebagai sesuatu yang wajar terjadi.


Sebagai contoh, seseorang yang berjuang mencapai sukses, dengan melakukan berbagai upaya secara sistematis, efektif, dan efisien, maka lambat laun akan sukses. Ketika orang tersebut telah mencapai sukses, maka orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain tidak mampu melihat proses yang ada, karena orang tersebut menjalani proses kehidupannya dengan sangat alami. Ketika gagal, ia bangkit kembali untuk mencoba membangun kebajikan dengan cara yang lain. Sampai suatu saat berbagai kebajikan yang diikhtiarkannya terakumulasi sebagai kesuksesan. Saat itulah, segala sesuatu yang dilakukannya bagi orang lain akan nampak sebagai sesuatu yang wajar. Dengan kondisi demikian, di mata banyak orang (orang lain), kesuksesannya akan difahami sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Sesuatu “terbukti dengan sendirinya”, karena ada unsur “keniscayaan” dalam pembuktiannya. Keniscayaan muncul sebagai konsekuensi logis, atas berbagai ikhtiar kebajikan yang dirancang dan diimplementasikan oleh orang tersebut.


Keniscayaan barulah muncul, bila ikhtiar dilakukan secara sistematis, efektif, dan efisien. Dengan demikian, mari wujudkan “terbukti dengan sendirinya” melalui proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain tidak mengenali prosesnya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang alami. Atau orang lain menganggapnya sebagai “terbukti dengan sendirinya”.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai…

Minggu, 04 Desember 2011

MEMBANGUN HARGA DIRI

Harga diri (esteem) adalah suatu kondisi di mana seseorang menghormati dirinya sendiri, dengan cara memberi citra baik bagi dirinya, melalui berbagai aktivitas kebajikan. Untuk itu ia menunjukkan perilaku yang halus, lembut, dan tidak kasar, serta berupaya menunjukkan pada khalayak bahwa ia memperhatikan kesetaraan kepentingan dirinya dengan orang lain.


Ketika seseorang berupaya membangun harga dirinya, maka ada beberapa hal yang harus ia lakukan, yaitu: Pertama, ia harus menghindarkan diri dari kondisi tenggelam, atau larut dalam masalah, karena kondisi ini akan menjadikan ia hidup tanpa solusi atas masalah yang dihadapi.


Kedua, ia harus menghindarkan diri dari kondisi tenggelam dalam kepasrahan, serta jangan pernah hanya mengharap keajaiban dan tanpa upaya, melainkan terus menerus berupaya mengatasi masalah sebagai suatu cara membuat keajaiban.


Ketiga, ia harus lakukan penataan emosi dalam format sadar diri, dengan memanfaatkan potensi untuk mencari solusi.


Ketiga upaya tersebut membutuhkan kesediaannya untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, ia harus memperhatikan content, konten, atau isi, seperti: isi pengendalian diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan memotivasi diri sendiri.


Kedua, ia harus memperhatikan context, konteks, atau relevansi, seperti: berbagai situasi dan kondisi yang terkait dengan interaksi antara yang bersangkutan dengan orang lain.


Ketiga, ia harus memperhatikan goal atau tujuan, seperti: pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain.


Setiap orang hendaknya bersegera membangun harga diri, dengan cara memberi citra baik bagi dirinya, melalui berbagai aktivitas kebajikan. Salah satu kebajikan yang dapat diraih melalui pengendalian diri adalah menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.


Perilaku menahan amarah merupakan perilaku seseorang yang memiliki harga diri. Perilaku ini berpasangan secara relasional (sebab akibat) dengan perilaku memaafkan kesalahan orang lain.


Kedua perilaku ini dapat dipandang sebagai perilaku yang bersifat parallel (sejajar), maupun linear (serial). Dalam perspektif parallel masing-masing perilaku (menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain) difahami dapat muncul bersamaan.


Sedangkan dalam perspektif linear difahami, bahwa perilaku diawali oleh perilaku menahan amarah. Perilaku ini memberi kesempatan pada individu yang bersangkutan untuk memunculkan perilaku memaafkan kesalahan orang lain.


Seseorang yang memiliki harga diri akan secara sadar mengekspresikan perilaku menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Kesadaran diri sendiri ini mencakup dua hal, yaitu: kesadaran terhadap adanya proses berpikir atau metakognisi (metacognition), dan kesadaran terhadap adanya penataan emosi atau metamood.


Metakognisi dan metamood menghasilkan kesadaran individu terhadap adanya pemikiran tentang perlunya penataan emosi. Hal ini memberi pilihan bagi individu tersebut untuk melakukan penekanan emosi, yang akan menimbulkan pemberontakan; atau melakukan pembebasan emosi, yang akan menimbulkan kejenuhan.


Oleh karena penekanan dan pembebasan emosi menimbulkan efek negatif pada individu, berupa pemberontakan dan kejenuhan pada diri individu yang bersangkutan, maka dibutuhkan adanya solusi emosional berupa pengendalian emosi. Pengendalian emosi, merupakan konsepsi perilaku diri sendiri yang bersifat individual, sadar, rasional, internal, dan sukarela.


Seseorang yang mampu mengendalikan emosi memiliki karakteristik, sebagai berikut: Pertama, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan dapat dimohon pertolonganNya terhadap apapun situasi dan kondisi yang dialami.


Kedua, ia bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima informasi, deskripsi, atau berita apapun.


Ketiga, ia bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima pengakuan dari pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya.


Keempat, ia memiliki kesabaran (dalam arti tetap gigih mencari solusi) dan dapat menahan perasaan, ketika mengetahui ada kejanggalan atau mengalami situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan.


Pengendalian emosi yang dilakukan oleh individu, akan dapat menetralisir pemberontakan dan kejenuhan diri, melalui penyikapan kebutuhan secara tepat, yaitu: ada kebutuhan emosi yang dapat dipenuhi secara proporsional karena bermanfaat; dan ada kebutuhan emosi yang tidak dapat dipenuhi, karena tidak bermanfaat.


Ketika seseorang berhasil melakukan hal ini, maka ia telah mengakses jalan bagi pembangunan dirinya menjadi manusia yang memiliki harga diri.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 27 November 2011

MAMPU "MENIADAKAN DIRI"

Allah SWT berfirman, ““Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan sebaik-baik tempat kembali” (QS.13:29).


Istilah “meniadakan diri” merupakan istilah yang bermakna simbolik, di mana dalam istilah ini yang dihilangkan adalah segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan.


Kemampuan “meniadakan diri” diperlukan, agar tujuan berbuat kebajikan dapat semakin mudah diwujudkan. Kebajikan menjadi hal penting, karena kebajikan diwujudkan dalam segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memiliki nilai positif di hadapan Tuhan, dan juga memiliki nilai positif di hadapan manusia.


Dengan demikian ”meniadakan diri” adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu menghilangkan segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan. Seseorang yang sedang berupaya “meniadakan diri” akan memperlihatkan kecenderungan tidak lagi gemar menonjolkan diri. Hal penting bagi seseorang yang mampu “meniadakan diri” adalah kontribusinya terhadap kebajikan. Ia tidak peduli, apakah orang lain mengetahui perannya atau tidak.


Seseorang yang mampu “meniadakan diri” berperan dalam dua hal, yaitu: Pertama, to be real or present, di mana ia berkontribusi melalui perannya, sehingga kebajikan menjadi nyata dan hadir dalam kehidupan sosial. Kedua, to live in difficult condition, di mana ia berkontribusi melalui perannya, sehingga kebajikan tetap ada (exist) meskipun dalam keadaan atau tempat yang sulit.


Upaya “meniadakan diri” akan mendorong seseorang untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya mewujudkan kebajikan dalam kehidupan sosial, di mana pada saat yang sama ia berupaya agar orang lain tidak mengetahui kontribusinya atas kebajikan tersebut. Ia berupaya menghapuskan segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan, sekaligus menghilangkan jejak kontribusinya atas kebajikan.


Seseorang yang berupaya “meniadakan diri”, akan bersungguh-sungguh dalam menghancurkan segala sesuatu yang buruk dan tidak bermanfaat bagi kebajikan. Dalam diskusi internal, antara dirinya dengan dirinya sendiri, ia bersungguh-sungguh melacak segenap unsur yang dapat mendukung kebajikan.


Ia juga bersungguh-sungguh menjelaskan kepada dirinya sendiri, tentang segala sesuatu yang memiliki kesalahan dan ketidak-benaran, yang mengancam kebajikan yang sedang diperjuangkannya. Seseorang yang berupaya “meniadakan diri”, akan bersungguh-sungguh dalam menghancurkan egoisme, karena akan menghalang-halangi kebajikan yang diperjuangkannya.


Ia akan memanfaatkan kehendak (will) yang ada pada dirinya untuk mendukung kebajikan. Baginya kehendak merupakan sesuatu yang penting, karena merupakan sumberdaya pada dirinya yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Pada saat melakukan pengambilan keputusan, ia juga akan melibatkan rasio, yang merupakan kemampuannya untuk melakukan abstraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, serta memperhatikan kesamaan atau perbedaan sesuatu.


Ketika ia mensinergikan kehendak dengan rasionya, ia berpeluang melakukan dua kemungkinan: Pertama, ia memposisikan kehendak di atas rasionya, atau mengutamakan kehendak daripada rasionya. Pada kondisi ini, ia berada pada posisi menghendaki. Hal ini akan mengarahkannya pada voluntarisme, yaitu suatu faham untuk melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya (volunteer berarti sukarela);


Kedua, ia memposisikan rasio di atas kehendaknya, atau mengutamakan rasio daripada kehendaknyanya. Pada kondisi ini ia telah berada pada posisi mengetahui. Hal ini akan mengarahkannya pada intelektualisme, yaitu suatu faham untuk melakukan sesuatu berdasarkan rasionya (intellectual berarti cerdik pandai).


Sesungguhnya peluang posisi menghendaki (voluntarisme) dan mengetahui (intelektualisme) dapat disinergikan oleh orang yang bersangkutan untuk mendukung pengambilan keputusan (proposisi). Namun tetap saja terbuka dua kemungkinan, yaitu: Pertama, berupa keputusan emosional, yaitu keputusan yang timbul ketika posisi mengehendaki lebih unggul dari posisi mengetahui, atau suatu keputusan lebih didasarkan pada kehendak daripada pengetahuan seseorang tentang sesuatu.


Kedua, berupa keputusan rasional, yaitu keputusan yang timbul ketika posisi mengetahui lebih unggul dari posisi menghendaki, atau suatu keputusan lebih didasarkan pada pengetahuan daripada kehendak seseorang terhadap sesuatu.


Keputusan emosional merupakan keputusan yang didasarkan pada pemikiran yang kurang cermat sehingga dapat menghalangi terwujudnya kebajikan. Oleh karena itu, seseorang yang mampu ”meniadakan diri” biasanya mampu mereduksi keputusan emosionalnya. Keputusan emosional harus dihindari, karena cenderung menyimpang dari keadilan, cenderung sesat dan menyesatkan serta mendustakan kebenaran, cenderung tidak berdasarkan pengetahuan yang memadai.


Sementara itu, keputusan rasional merupakan keputusan yang didasarkan pada pemikiran yang cermat atau mendalam melalui pemanfaatan akal sehingga berpeluang mendukung terwujudnya kebajikan. Keputusan rasional harus diupaya-terapkan, karena cenderung menggunakan akal sehingga tidak memperolok-olok kebenaran. Keputusan rasional juga cenderung menghindarkan manusia dari kehinaan, serta memberi peluang bagi manusia dalam menguasai (mampu mengatasi) dinamika sosial. Dengan kata lain, seseorang yang mampu “meniadakan diri” bersungguh-sungguh dalam keputusan rasionalnya.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 13 November 2011

MENDIDIK DIRI SENDIRI

Allah SWT mengingatkan, “Di antara orang-orang yang Kami (Allah) ciptakan terdapat umat yang memimpin manusia dengan kebenaran, dan dengan itu pula mereka berlaku adil” (QS.7:181).


Setiap manusia yang berakal jernih tentu ingin menjadi orang yang dimaksud oleh Allah SWT dalam QS.7:181, yaitu menjadi pemimpin yang benar dan adil. Untuk itu, setiap manusia hendaknya berkenan mendidik dirinya sendiri, agar dapat menjadi pemimpin yang benar dan adil.


Mendidik (educate) biasanya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika konsepsi mendidik diri diperkenalkan, maka hal ini berarti memindahkan obyek yang sebelumnya orang lain ke diri sendiri.


Dengan kata lain, mendidik diri sendiri berarti suatu proses mengajar, dan memberi informasi (information) atau pemahaman tertentu pada diri sendiri, agar siap berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku tertentu sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya.


Oleh karena yang bersangkutan berencana untuk berbuat kebajikan di muka bumi, maka pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya dididik agar sesuai, mendukung dan dapat mewujudkan rencana tersebut.


Proses mengajar (teach) diri sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah, karena banyak keinginan diri yang seringkali bertentangan dengan yang diajarkan. Upaya mengajar diri sendiri minimal harus meliputi:


Pertama, give lesson, yaitu upaya memberi pelajaran pada diri sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan melalui pengamatan, analisis dan penarikan kesimpulan atas fenomena yang ditemui;


Kedua, show how to, yaitu upaya menunjukkan atau menerangkan pada diri sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan pada diri sendiri fenomena yang baik dan yang buruk yang dialami oleh orang lain sebagai benchmarking (pembanding dan pengingat);


Ketiga, get knowledge, yaitu upaya mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca buku-buku dan browsing informasi (tekstual, audio, dan visual) yang berisi berbagai peluang kebajikan.


Selain kesediaan mengajar diri sendiri, unsur penting dalam mendidik diri sendiri adalah informasi, yang merupakan fakta tentang sesuatu benda, orang, kejadian, dan lain sebagainya. Informasi berkaitan dengan berita (messages), di mana informasi dianalogikan sebagai isi sesuatu (misal: air), sedangkan berita dianalogikan sebagai wadah sesuatu (misal: gelas).


Sebagaimana diketahui berita berisi informasi, dan ide. Dalam konteks berita, hal terkecil yang termasuk informasi antara lain sepotong tulisan atau sepenggal perkataan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.


Oleh kerena itu, ketika seseorang sedang berupaya mendidik diri sendiri, maka informasi hendaklah sekurang-kurangnya dimaknai sebagai sepotong tulisan atau sepenggal perkataan tentang diri sendiri maupun orang lain, yang disampaikan oleh dirinya sendiri kepada dirinya sendiri.


Beberapa pihak menyebut fenomena ini sebagai, “diskusi internal”, yang wujud konkritnya berupa kontestasi berbagai argumen yang ada dalam ranah pertimbangan, agar dapat dirumuskan sikap yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai…

Senin, 24 Oktober 2011

MEMBANGUN DISIPLIN DIRI

Disiplin diri (self discipline) adalah suatu kondisi ketika perilaku seseorang dikendalikan secara cermat oleh orang itu sendiri, berdasarkan tata nilai yang ditetapkannya sendiri. Dalam prakteknya, disiplin diri berkaitan dengan tiga hal yang berprosesi secara berurutan. Ketiga hal tersebut adalah, sebagai berikut: (1) pengetahuan (knowledge), (2) pengendalian (control), dan (3) pengendalian diri (self control).


Agar mampu mengendalikan diri, maka seseorang harus faham tentang konsepsi pengendalian. Selanjutnya, agar faham konsepsi pengendalian, maka seseorang harus memiliki pengetahuan tentang pengendalian. Akhirnya, agar memiliki pengetahuan tentang pengendalian, maka seseorang harus bersedia belajar (learning) tentang konsepsi dan pelaksanaan pengendalian, termasuk pengendalian diri.


Agar dapat belajar tentang konsepsi dan pelaksanaan pengendalian, maka dibutuhkan kesediaan seseorang untuk:


Pertama, bersungguh-sungguh menggapai keahlian atau keilmuan yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian.


Kedua, bersungguh-sungguh mengingat berbagai hal yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian.


Ketiga, bersungguh-sungguh memahami berbagai hal yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian.


Keempat, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai hal yang berkaitan dengan pengendalian diri, sebagai bagian dari pelaksanaan kebajikan.


Berbekal pengetahuan, seseorang memiliki informasi dan pemahaman tentang sesuatu di dalam pikirannya. Informasi tersebut antara lain berupa tata nilai dan cara-cara berbuat kebajikan, yang menjadi target pencapaian hidupnya. Kebajikan yang ingin dicapainya meliputi segala aktivitas yang mendapat posisi mulia di hadapan Allah SWT, dan rahmatan lil’alamiin.


Informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang juga meliputi tentang pentingnya pengendalian. Berbekal pengendalian, seseorang menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya atau organisasinya, untuk mengarahkan segenap aktivitasnya agar tetap berada pada jalur pencapaian tujuan. Kebajikan inilah yang menjadi salah satu pencapaian yang ingin diperoleh seseorang melalui pengendalian.


Orang tersebut selanjutnya sadar, bahwa pengendalian yang dibutuhkannya bukanlah pengendalian yang bersifat umum, melainkan pengendalian yang lebih terpusat pada dirinya. Ia harus mengendalikan dirinya sendiri, agar segenap aktivitas dirinya terkendali dengan berada pada jalur pencapaian tujuan. Hal ini terwujud, ketika ia berhasil melakukan kebajikan sebagai bagian dari pencapaian utamanya.


Dengan demikian dalam rangka membangun disiplin diri, maka seseorang harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebajikan dan konsepsi pengendalian, serta bersedia melakukan pengendalian diri.


Oleh karena itu, seseorang yang sedang membangun diri harus: Pertama, berupaya agar dirinya mampu menangkap hikmah dari setiap kejadian, baik yang dialaminya maupun yang diketahuinya.


Kedua, berupaya agar dirinya mampu mendekatkan diri pada Allah SWT, dan orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya.


Ketiga, berupaya agar dirinya mampu melaksanakan kebajikan.


Keempat, bersedia mempraktekkan hal-hal yang telah dicontohkan oleh tokoh-tokoh yang secara nyata mempraktekkan kebajikan dalam hidupnya.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Rabu, 19 Oktober 2011

MENENTUKAN NASIB SENDIRI

Allah SWT telah memberi petunjuk, bahwa Ia tidak akan merubah nasib seseorang atau suatu kelompok manusia, bila orang tersebut atau kelompok manusia tersebut tidak sungguh-sungguh berupaya mengubah nasibnya agar lebih baik, yaitu lebih mulia di hadapan Allah SWT, dan bermanfaat optimal bagi umat manusia.


Berdasarkan petunjuk Allah SWT itu, maka dapatlah difahami bahwa sesungguhnya peluang nasib manusia tidaklah tunggal, melainkan ada sekian banyak peluang nasib manusia. Oleh karena itu, upaya manusialah yang pada akhirnya memilih salah satu peluang itu. Dengan kata lain manusia berkontribusi bagi nasibnya sendiri.


Ketika peluang telah dipilih oleh manusia melalui upayanya, maka Allah SWT dengan cara ketuhananNya menetapkan takdirnya. Cara ketuhanan tersebut, antara lain berupa memberhasilkan atau menggagalkan upaya manusia.


Bila upaya yang dilakukan manusia akan “menjauhkannya” dari Allah SWT, maka besar kemungkinan akan digagalkan oleh Allah SWT. Sebaliknya, bila upaya yang dilakukan manusia akan “mendekatkannya” dengan Allah SWT, maka besar kemungkinan akan diberhasilkanNya.


Cara ini tidak berlaku, bagi manusia yang tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Bagi manusia seperti ini, maka Allah SWT akan mengabaikannya. Bagi manusia yang tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa, telah disiapkan perhitungan tersendiri yang berisi sanksi berat dariNya.


Oleh karena itu, seorang manusia harus berupaya sungguh-sungguh agar ia dapat melakukan sesuatu yang mulia di hadapan Allah SWT, dan dapat semakin mendekatkan dirinya dengan Allah SWT. Selain itu ia juga harus melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi orang lain atau masyarakat.


Dengan demikian seorang manusia yang ingin mulia dan dekat dengan Allah SWT serta berguna bagi orang lain atau masyarakat, harus: Pertama, melakukan determinasi (determination), yaitu upaya yang terus menerus dalam bertindak meskipun banyak menemui kesulitan dan rintangan. Determinasi dilakukan karena orang tersebut faham, bahwa tindakannya mulia di hadapan Allah SWT, dan diperlukan oleh orang lain atau masyarakat.


Kedua, faham bahwa kesulitan memang tidak selalu mudah untuk diatasi. Namun dengan berbekal keahlian dan keterampilan, maka ada peluang untuk mengatasi kesulitan tersebut. Dengan demikian selalu terbuka peluang bagi keberhasilan dalam mengatasi kesulitan.


Ketiga, berbekal keberanian, kualitas diri yang baik, dan tata nilai yang diacunya, maka segenap energi dikerahkan agar dirinya berada pada posisi sebagai manusia yang bersungguh-sungguh mengejar kemuliaan di hadapan Allah SWT. Kesungguhan ini juga diwujudkan melalui tindakan yang diperlukan oleh orang lain atau masyarakat. Dengan demikian Allah SWT dan orang lain atau masyarakat akan mendukungnya dalam melakukan kemuliaan.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 09 Oktober 2011

SIAP BERKORBAN

Berkorban, adalah suatu kondisi di mana seseorang memberikan atau mengerjakan sesuatu yang bernilai dalam hidupnya, untuk dipersembahkan kepada orang lain atau suatu masyarakat, agar dapat bersama-sama mencapai kemuliaan.


Tidak jarang semangat berkorban pada diri seseorang diawali oleh suatu penolakan masyarakat. Hal ini terjadi karena ada orang lain yang menyatakan, bahwa sesuatu yang akan diberikan atau dikerjakan merupakan sesuatu yang tidak benar. Adakalanya penolakan masyarakat terjadi karena tidak ada ijin dari pemegang otoritas (kekuasaan) untuk memberikan atau mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, seseorang yang siap berkorban harus mampu mengatasi hal ini.


Untuk melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya, maka seseorang perlu untuk memiliki pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memperlihatkan substansi siap berkorban. Dengan substansi ini, maka orang tersebut dapat memberikan atau mengerjakan sesuatu yang bernilai dalam hidupnya, untuk dipersembahkan kepada orang lain atau suatu masyarakat, agar dapat bersama-sama mencapai kemuliaan.


Salah satu contoh kesediaan berkorban, adalah kesediaan seorang pengelola perusahaan mengorbankan hubungan baik yang telah dijalinnya bertahun-tahun dengan orang kepercayaannya, demi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran. Pengelola perusahaan tersebut mampu mengendalikan emosinya, ketika ia mengetahui orang kepercayaannya telah melakukan tindakan yang membahayakan perusahaannya secara berulang-ulang.


Ia tetap tenang, ketika mendapat laporan dari stafnya, bahwa ia telah dikhianati oleh orang kepercayaannya. Orang kepercayaannya telah memberikan data palsu kepadanya, sehingga ia salah bersikap. Akibatnya ia memandang baik perbuatan yang buruk, dan sebaliknya, memandang buruk perbuatan yang baik.


Ia tetap dapat mengendalikan emosinya, ketika ia merasakan adanya kejanggalan dari deskripsi yang diberikan oleh orang kepercayaannya. Sampai akhirnya ia berhasil menjelaskan kepada orang kepercayaannya, bahwa ia telah mengetahui tipudaya orang kepercayaannya tersebut. Ia bersedia mengabulkan permohonan maaf orang kepercayaannya, namun ia terpaksa harus memecat orang kepercayaannya itu dari perusahaan yang dikelolanya.


Saat itulah, pengelola perusahaan tersebut, telah mengorbankan hubungan baik yang dijalinnya bertahun-tahun dengan orang kepercayaannya, demi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran. Meskipun tetap perlu difahami, bahwa orang kepercayaan pengelola perusahaan itulah yang telah terlebih dahulu mengorbankan hubungan baik tersebut.


Pengendalian emosi, merupakan konsepsi perilaku diri sendiri yang bersifat sadar dan sukarela. Sebagai konsepsi perilaku diri sendiri, maka pengendalian emosi bersifat individual. Sedangkan sebagai konsepsi yang bersifat sadar, maka pengendalian emosi bersifat rasional. Sementara itu, sebagai konsepsi yang bersifat sukarela, maka pengendalian emosi bersifat internal. Kesemua ini dilakukan dalam rangka interaksi dengan pihak lain.


Pengendalian emosi sebagai wujud dari kesiapan berkorban, pada akhirnya mengajarkan bahwa kesediaan berkorban dilakukan seseorang, karena:


Pertama, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa masih ada Allah SWT yang dapat dimohon pertolonganNya, terhadap situasi dan kondisi apapun yang dialami, termasuk situasi dan kondisi yang mengharuskan ia berkorban;


Kedua, ia terbiasa bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima laporan, informasi, deskripsi, atau berita apapun, yang pada akhirnya mengharuskan ia berkorban;



Ketiga, ia terbiasa bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima pengakuan dari pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya, yang akhirnya mengharuskan ia berkorban, dengan melepaskan kepercayaannya kepada pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya;


Keempat, ia memiliki kesabaran (dalam arti tetap gigih mencari solusi) dan dapat menahan perasaan, ketika mengetahui ada kejanggalan atau mengalami situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan, yang pada akhirnya mengharuskan ia berkorban;


Kelima, ia bersedia memohonkan ampunan kepada Allah SWT bagi pihak yang telah bertaubat dari kesalahannya, meskipun karena itu ia akhirnya harus berkorban;


Keenam, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa Allah SWT akan memberi kemudahan baginya dalam melakukan kebajikan.

Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 02 Oktober 2011

MAMPU MEMBELA DIRI

Membela diri, adalah suatu pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang dalam melindungi diri dari serangan yang bersifat fisik maupun non fisik terhadap dirinya. Hal ini dilakukan seseorang sebagai upaya mencegah diri dari bahaya atau tekanan yang akan merugikan dirinya.


Kemampuan membela diri menunjukkan, bahwa yang bersangkutan peduli pada dirinya. Dengan kata lain, yang bersangkutan mengetahui bahwa dirinya penting, dan merasa bahwa kepentingan dirinya harus dilindungi. Dirinya penting untuk melakukan sesuatu yang penting bagi kepentingannya, yaitu berbuat kebajikan.


Seseorang yang mampu membela diri tidak mudah terkecoh oleh pujian, karena boleh jadi pujian itu justru dimaksudkan untuk menghancurkan dirinya. Bila ada orang yang memuji dirinya, maka ia akan tersenyum dan menerimanya sebagai pemicu semangat.


Seseorang yang mampu membela diri akan menjaga dirinya agar tetap berada dalam koridor kebajikan. Ia tidak mudah terkecoh oleh hinaan, karena boleh jadi hinaan merupakan informasi penting tentang kekurangan dirinya.


Kekurangan itulah yang selama ini sedang ia upayakan untuk direduksi (dikurangi) dengan penuh kesungguhan. Oleh karena itu, ia membela diri, hanya apabila ikhtiar kebajikannya terganggu.


Sebagai contoh, apabila ada orang yang menghina tindakannya ketika membantu anak yatim, maka ia akan membela diri. Ia akan menjelaskan bahwa membantu anak yatim merupakan tindakan yang penting dan perlu.



Penggemar kebajikan ini juga sanggup membela diri secara fisik, jika ada orang yang ingin berbuat jahat kepadanya. Ia telah mempersiapkan diri dengan berlatih secukupnya dalam hal bela diri.




Ia menjaga kesehatannya, agar dapat selalu beribadah kepada Allah SWT, dan terus menerus melakukan kebajikan pada sesama manusia sesuai kemampuannya.
Ia ingin dirinya dinilai baik oleh Allah SWT. Ia juga ingin agar hidupnya bermakna bagi orang lain.



Ibadah kepada Allah SWT, dan kebajikan bagi sesama manusia menjadi instrumen interaksi dirinya. Allah SWT merupakan Dzat yang penting bagi dirinya, karena merupakan tujuan segenap ibadah dan kebajikannya. Sesama manusia merupakan sahabat yang penting bagi dirinya, terutama sebagai ”tempat” berbagi dalam suka dan duka.




Seseorang yang mampu membela diri selalu ingat firman Allah SWT, “
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik dengan suatu berita, maka selidikilah, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS.49:6).



Berdasarkan firman Allah SWT ini, maka seseorang yang mampu membela diri akan berhati-hati dalam mensikapi informasi, karena sebaik-baik pembelaan diri adalah kemampuan mensikapi informasi dengan tepat, agar tidak keliru dalam mengambil keputusan.



Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

Minggu, 25 September 2011

JANGAN MERUSAK DIRI

Merusak diri, adalah suatu kondisi di mana seseorang berupaya menggagalkan kesuksesan atau kemenangan dirinya atas segenap dinamika sosial yang dihadapinya.


Agar berhasil merusak dirinya sendiri, seseorang biasanya mengawali dengan merusak kesehatannya, yang kemudian dilanjutkan dengan merusak mindset atau pola pikirnya. Akibatnya segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya akan rusak, atau jauh dari kebajikan.


Agar tidak merusak diri, setiap orang hendaknya berupaya menghilangkan penyakit dalam “hatinya”, seperti rasa tamak (serakah), dan dengki (iri hati). Hal ini perlu dilakukan agar ia tidak terjebak dalam “jalan” sesat yang mengakibatkan psike atau jiwanya menjadi tak tenang, dan akhirnya sesak nafas atau stroke.


Agar tidak merusak diri, setiap orang hendaknya terus menerus mempelajari konsepsi kehidupan dengan baik. Selayaknya ia mengenali konsepsi kehidupan, dengan cara mempelajari kajian akademik tentang konsepsi kehidupan, dan informasi popular tentang konsepsi kehidupan.


Kesediaan mempelajari konsepsi kehidupan, akan menjadikan seseorang memiliki pengetahuan yang cukup tentang konsepsi kehidupan. Pengetahuan inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar bagi seseorang dalam merespon dinamika sosial yang dihadapinya, agar ia tetap berada pada jalur pencapaian kebajikan.


Tepatlah kiranya bila ia selalu berdoa kepada Allah SWT, agar Allah SWT berkenan melimpahkan petunjuk kepadanya. Saat itulah secara bersamaan ia berhasil mencegah mindset-nya dari kerusakan. Mindset yang baik, akan mendorong pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang tetap berada pada jalur pencapaian kebajikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.


Oleh karena buruknya akibat yang ditimbulkan dari aktivitas merusak diri, maka setiap orang dianjurkan untuk “Jangan Merusak Diri”. Untuk itu, setiap orang hendaknya bersungguh-sungguh berupaya sukses (success). Sebagaimana diketahui, sukses adalah suatu kondisi ketika seseorang berhasil mencapai sesuatu yang ingin dicapainya.


Seseorang dinyatakan sukses, ketika ia mampu mendapatkan kemajuan (achievement) yang berupa suatu kebajikan. Kesuksesan seseorang ditentukan oleh pencapaian kebajikan yang berhasil ia lakukan, karena seseorang yang sedang berupaya untuk sukses, akan berusaha agar pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya bernilai (valuable) serta berguna (useful) bagi dirinya dan masyarakat.


Allah SWT berfirman, “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56).


Allah SWT juga berfirman, “Dan Kami tiada mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil’alamiin” (QS.21:107).


Dengan memperhatikan firman Allah SWT dalam QS.51:56 dan QS.21:107 sudah selayaknya seorang manusia tidak merusak diri, agar ia berkesempatan memadukan semangat beribadah kepada Allah SWT dengan semangat rahmatan lil’alamiin.


Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...