ABOUT ISLAM

Sabtu, 30 Juni 2012

MENGHARGAI DIRI SENDIRI


Setiap manusia memiliki harga diri, karena ia merupakan makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah SWT, dan dimuliakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, setiap manusia hendaknya bersedia dan mampu menghargai diri sendiri, sebelum berharap orang lain menghargai dirinya.

Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, maka seorang manusia yang telah bersedia dan mampu menghargai diri sendiri, hendaknya bersedia dan mampu beriman kepada Allah SWT. Tanpa iman kepada Allah SWT, seorang manusia tidak akan dapat menghargai dirinya secara obyektif.

Tanpa iman kepada Allah SWT, seorang manusia tidak akan faham, bahwa ia merupakan makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah SWT, dan dimuliakan oleh Allah SWT. Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT, juga akan sulit memuliakan manusia. Baginya kemuliaan hanyalah milik dirinya, dan bukanlah milik orang lain.

Contoh nyata keburukan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dapat dilihat pada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku Pemerintah Israel terhadap Bangsa Palestina. Bagi Pemerintah Israel kemuliaan hanyalah milik Bangsa Yahudi, dan bukan milik Bangsa Palestina. Oleh karena itu, kebiadaban adalah sesuatu yang layak dilakukan oleh Bangsa Yahudi (Pemerintah Israel), demikianlah mindset Pemerintah Israel.

Satu hal yang dilupakan oleh Pemerintah Israel, adalah “kebiadaban” yang mereka perlihatkan menunjukkan level atau kelas manusia yang mereka sandang. Dengan kata lain, perilaku yang ditunjukkan Pemerintah Israel terhadap Bangsa Palestina memperlihatkan, bahwa Pemerintah Israel berada pada level manusia biadab, dan bukan berada pada level manusia beradab.

Oleh karena itu, setiap orang yang ingin menghargai diri sendiri, hendaklah ia beriman kepada Allah SWT agar ia menjadi bagian dari manusia beradab, yaitu manusia yang mampu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam tata kesopanan dan etika sebagai manusia mulia yang dimuliakan Allah SWT, dengan cara memuliakan manusia lainnya.

Untuk itu, setiap manusia yang ingin menghargai diri sendiri, hendaknya mampu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku benar atau obyektif, dengan: Pertama, memperhatikan data secara cermat dan mengubahnya menjadi informasi. Kedua, melakukan analisis terhadap informasi yang diperoleh dan merumuskan beberapa alternatif tindakan. Ketiga, menyusun alternatif tindakan dalam suatu urutan prioritas. Keempat, menetapkan urutan pertama dalam prioritas sebagai tindakan yang akan dilaksanakan. Kelima, melaksanakan tindakan yang telah ditetapkan atau dipilih untuk dilaksanakan.

Sudah saatnya seorang manusia yang menghargai diri sendiri dan orang lain faham, bahwa kalau ia melakukan kesalahan, misal: tidak memuliakan orang lain, maka hal itu akan kembali pada dirinya sendiri, misal: ia dikenal sebagai pribadi yang tidak mulia. Kebaikan atau kebajikan yang dilakukannya terhadap orang lain sesungguhnya kembali pada dirinya sendiri, di mana kelak ia dikenal sebagai pribadi yang berciri kebajikan. Selain itu, seorang manusia yang menghargai diri sendiri dan orang lain wajib beryukur atas segenap rahmat Allah SWT kepadanya, bersabar dalam melakukan kebajikan, dan ikhlas, sesuai QS.112, ketika melakukan kebajikan.

Segenap ikhtiar untuk menghargai diri sendiri ini bersesuaian dengan firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya, mereka itu orang-orang yang shiddiqien (benar/obyektif) dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhannya (Allah). Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (Allah), mereka itulah penghuni-penghuni neraka” (QS.57:19).

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Sabtu, 16 Juni 2012

KETERGANTUNGAN DIRI


Secara umum, ketergantungan diri pada sesuatu adalah terlarang. Contoh, bagi orang yang mengalami ketergantungan obat, maka ia akan dirawat di rumah sakit ketergantungan obat. Satu-satunya ketergantungan yang dibolehkan, adalah ketergantungan kepada Allah SWT.

Mindset ini diajarkan oleh Allah SWT sebagai berikut, “Katakanlah, “Dialah Alah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak, dan tiada pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun yang setara denganNya” (QS.112:1-4).

Berdasarkan petunjuk Allah SWT tersebut, maka sudah selayaknya manusia membangun ketergantungan dirinya kepada Allah SWT. Ketergantungan ini akan menjadikan manusia gemar berbuat kebajikan, karena Allah SWT memerintahkan manusia untuk berbuat kebajikan.

Dengan semangat kebajikan, maka petunjuk Allah SWT merupakan sesuatu yang fungsional bagi seorang manusia. Tanpa petunjuk Allah SWT manusia akan kehilangan fungsinya sebagai manusia. Selanjutnya, tanpa fungsi, maka manusia akan terhalang dari perannya sebagai manusia. Padahal setiap makhluk atau ciptaan Allah SWT memiliki fungsi dan perannya masing-masing.

Kemuliaan seorang manusia dapat diamati dari peran dan fungsinya sebagai manusia. Fungsi yang difahami dengan sungguh-sungguh akan terformat dalam mindset seorang manusia. Mindset ini akan membentuk sikap yang menyetujui dan memutuskan diri sebagai pelaku kebajikan.

Keputusan diri sebagai pelaku kebajikan, diwujudkan di alam nyata dengan tindakan-tindakan yang bernuansa kebajikan. Tindak kebajikan ini diulang-ulang terus menerus dalam setiap kesempatan, sehingga menjadi perilaku diri. Inilah karakter atau ciri seorang manusia yang memiliki ketergantungan pada Allah SWT.

Oleh karena itu, setiap manusia hendaknya berupaya membangun ketergantungan diri kepada Allah SWT, dan tidak tergantung pada sesuatu yang lain selain Allah SWT. Tepatnya, seorang manusia yang memiliki ketergantungan pada Allah SWT akan:

Pertama, mematuhi perintahnya, dan tidak akan melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu, hidupnya akan diisi dengan kegiatan yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin;

Kedua, tidak malu, ketika ia diberi label “tradisional”, karena baginya “tradisional” bermakna, sebagai kesiapan seorang manusia untuk melakukan tradisi kebajikan secara rasional dalam hidupnya.

Ketiga, tenang saja, ketika ia diberi label “modern”, karena baginya “modern” bermakna, sebagai kesiapan seorang manusia untuk membangun momen dermawan pada setiap kesempatan. Sudah saatnya momen-momen yang ada dimanfaatkan untuk menunaikan zakat, infaq, dan sedekah.

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai…

...

Minggu, 10 Juni 2012

MEMBANGUN HARGA DIRI


Setiap manusia memiliki harga diri, karena Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mulia. Harga diri seorang manusia tidak boleh dikorbankan, karena hal itu berarti mengabaikan kemuliaan yang dihadiahkan Allah SWT kepada manusia.

Harga diri seorang manusia tidak ditentukan oleh kelimpahan harta, tidak ditentukan oleh ketinggian pangkat dan jabatan, tidak ditentukan oleh tingginya peringkat dan gelar (akademis dan sosial), serta tidak ditentukan oleh asal muasal keturunan.

Harga diri seorang manusia ditentukan oleh ketaqwaannya kepada Allah SWT. Ketaqwaan seorang manusia kepada Allah SWT mendorongnya beribadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin (bermanfaat optimal bagi lingkungan atau alam semesta).

Dalam konteks rahmatan lil’alamiin, seorang manusia perlu menghindarkan diri dari prasangka buruk, terutama prasangka buruk kepada Allah SWT. Prasangka buruk kepada Allah SWT merupakan sesuatu yang dapat mengganggu kehidupan seorang manusia. Oleh karena itu, setiap manusia dianjurkan untuk berprasangka baik kepada Allah SWT.

Prasangka buruk kepada Allah SWT mengakibatkan timbulnya suasana hati yang mudah cemas berlebihan, dan tidak nyaman. Akibatnya kinerja seorang manusia yang berprasangka buruk kepada Allah SWT seringkali tidak optimal. Tidak sedikitpun prasangka buruk kepada Allah SWT dapat memberi manfaat kepada manusia. Bahkan apabila tidak segera dihilangkan, prasangka buruk kepada Allah SWT dapat menjebak seorang manusia, sehingga ia percaya pada prasangka buruknya.

Prasangka buruk kepada Allah SWT merupakan pikiran menyesatkan yang merasuk pada diri seorang manusia. Oleh karena itu, prasangka buruk kepada Allah SWT harus dilawan, dan harus segera dihadirkan pesaingnya, yaitu prasangka baik kepada Allah SWT. Untuk itu, setiap manusia harus memeriksa pikirannya sejak dini, atau sejak ia sadar tentang pentingnya memeriksa pikiran.

Caranya, upayakan agar pikiran mengarah pada dorongan peningkatan kualitas diri, terutama peningkatan taqwa kepada Allah SWT. Bangun pikiran yang mampu meningkatkan taqwa kepada Allah SWT dengan menghasilkan pikiran yang bersedia terus menerus menyemangati diri dalam berbuat kebajikan.

Upayakan agar pikiran dapat memanfaatkan semangat berbuat kebajikan, dengan menghasilkan pikiran baru yang dapat mengotimalkan manfaat kebajikan yang telah dilakukan bagi orang lain. Pikiran yang berisi optimalisasi manfaat kebajikan ini dapat mendorong terciptanya pikiran yang mampu menyediakan solusi, bila ada pihak atau orang lain yang belum mampu memanfaatkan kebajikan yang telah dilakukan. Dengan kata lain, pikiran baru perlu dihasilkan, yaitu pikiran yang mampu menyediakan solusi.

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Minggu, 03 Juni 2012

MELINDUNGI DIRI SENDIRI


“Melindungi diri sendiri” merupakan sebuah konsepsi yang fitri, atau sesuai fitrah manusia. Ketika Allah SWT menciptakan manusia, maka Ia membekalkan manusia kemampuan dasar untuk melindungi diri sendiri. Kemampuan ini harus terus menerus ditingkatkan, untuk mengimbangi masalah yang juga terus menerus meningkat.

Salah satu hal penting dalam melindungi diri sendiri adalah kemampuan pengendalian diri, sebab tidak jarang masalah terberat seorang manusia justru datang dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, setiap manusia perlu berlatih melakukan pengendalian diri, agar ia dapat mengendalikan dirinya dalam suka dan duka.

Ada empat alasan yang menunjukkan tentang pentingnya latihan pengendalian diri, yaitu: Pertama, setiap manusia hendaknya mengerti, bahwa dalam hidupnya sehari-hari ia akan menghadapi masalah, hambatan, kendala, atau tantangan. Adakalanya seseorang bermasalah karena tidak memiliki harta, sehingga ia sulit membiayai hidup dan aktivitas kebajikannya.

Namun adakalanya pula seseorang bermasalah, karena memiliki harta yang berlimpah, di mana ia memanfaatkan hartanya untuk hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kondisi ini menunjukkan, bahwa harta menjadi alat untuk menguji manusia, yang hasilnya dapat berupa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang bernuansa kebajikan; namun dapat pula berupa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang bernuansa keburukan.

Kedua, setiap manusia hendaknya mengerti, bahwa dalam hidupnya sehari-hari ia berpeluang menghadapi sesuatu yang menyakitkan hati. Adakalanya seseorang dapat menahan diri, ketika menghadapi sesuatu yang menyakitkan hati. Namun adakalanya pula seseorang sulit menahan diri, ketika menghadapi sesuatu yang menyakitkan hati.

Oleh karena itu, setiap orang perlu berlatih dalam mengendalikan diri, sehingga sesuatu yang menyakitkan hati tidak akan melukai dirinya. Kondisi ini menunjukkan, bahwa sesuatu yang menyakitkan hati merupakan alat untuk menguji manusia, yang hasilnya dapat berupa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang bernuansa kebajikan; namun dapat pula berupa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang bernuansa keburukan.

Ketiga, latihan pengendalian diri seorang manusia, akan membentuk sosok diri yang penyabar dan bertaqwa. Ia akan bersabar dalam melakukan berbagai tindak kebajikan, meskipun banyak masalah, hambatan, kendala, atau tantangan yang harus dihadapi. Ia juga akan meningkatkan ketaqwaan, meskipun banyak godaan yang menawarkan kesuksesan palsu, kemuliaan palsu, dan kebahagiaan palsu.

Dengan demikian latihan pengendalian diri seorang manusia merupakan suatu urusan yang patut diutamakan. Setiap manusia harus bersungguh-sungguh berlatih mengendalikan diri, terutama yang berkaitan dengan harta dan sesuatu yang menyakitkan hati, agar ia dapat melakukan tindakan kebajikan dengan hartanya, dan memiliki kekebalan ketika terjadi sesuatu yang menyakitkan hati.

Keempat, latihan pengendalian diri insyaAllah akan menjadikan seorang manusia mampu mengatasi godaan harta. Ia juga tabah menghadapi segenap fitnah yang menyakitkan hati. Baginya kesabaran merupakan keharusan, sebagai bukti ketaqwaannya kepada Allah SWT.

Hal ini telah diarahkan oleh Allah SWT dalam QS.3:186, sebagai berikut: “Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan” (QS.3:186).

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...