ABOUT ISLAM

Selasa, 29 Maret 2011

"ADU DOMBA" BARAT DI LIBIA

Sebagai muslim, kita sedih ada sekian banyak saudara-saudara kita, sesama muslim, yang tewas di Libia, baik dari kalangan oposisi maupun kalangan pro Pemerintah Libia (pro Khadafi). Kita sedih, karena sesama muslim, oposisi dan pro Pemerintah Libia, saling bunuh. Kita sedih, karena muslim dari kalangan pro Pemerintah Libia tewas dibantai oleh Barat, atau Komunitas Iblis Internasional (lihat QS.114 dan QS.2:120).


Sebagai muslim kita faham bahwa di Benua Eropa dan Benua Amerika terdapat masyarakat yang cinta damai, yang menolak sepak terjang Barat. Untuk masyarakat cinta damai ini, Umat Islam memberi apresiasi yang tinggi, dan siap hidup berdampingan secara damai.


Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Barat, atau Komunitas Iblis Internasional, adalah komunitas yang terdiri dari Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Inggris, dan Pemerintah Perancis, serta para pendukungnya (seperti: Pemerintah Israel, Pemerintah Kanada, Pemerintah Italia, dan lain-lain).


Terkejut oleh runtuhnya rezim pro Barat di Afrika Utara dan Timur Tengah (seperti: Rezim Tunisia dan Rezim Mesir), Barat segera melakukan operasi balasan, yaitu melumat Umat Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Libia dipilih sebagai wilayah operasi, karena situasi dan kondisinya menguntungkan.


Sejak sepuluh tahun terakhir, Moamar Khadafi (penguasa Libia) sangat dekat dengan Barat, minyak bumi Libia sebagian besar mengalir ke Barat, bahkan segenap keluarga Moamar Khadafi bersemangat menabung dan menginvestasikan uangnya di Barat. Pada sisi yang lain, Barat telah sejak lama mendanai berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang ada di Libia, yang bersedia menjadi komparador (agen atau kaki-tangan) Barat di Libia.


Ketika rakyat Libia menuntut pemerintahan yang lebih adil kepada Moamar Khadafi, maka LSM komparador Barat segera melakukan langkah-langkah strategis menunggangi tuntutan rakyat Libia. Sementara itu, agen-agen Barat yang ada di sekitar Moamar Khadafi, yang menduduki jabatan tinggi, juga segera melakukan langkah-langkah strategis untuk menjerumuskan Moamar Khadafi.


Upaya agen Barat berhasil, Moamar Khadafi emosional merespon tuntutan rakyat Libia, dan menuduh Al Qaida sebagai pihak yang mendalangi tuntutan rakyat Libia. Respon ini berhasil memposisikan Moamar Khadafi sebagai lawan Al Qaida, yang merupakan komunitas pejuang muslim dunia.


Pada awalnya Moamar Khadafi seolah berada di atas angin, karena dengan menyebut kata “Al Qaida”, ia seakan mendapat legitimasi untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun.


Pada sisi yang lain LSM komparador Barat di Libia mulai bergerak mempersenjatai rakyat, dengan berbagai cara, termasuk dengan menyerang dan merampas gudang senjata milik polisi dan militer Libia. Setelah kondisi dipandang matang, maka LSM komparador Barat di Libia segera menggerakkan rakyat bersenjata untuk menyerang polisi dan militer Libia.


Dengan demikian kini berhadap-hadapanlah dua kelompok bersenjata, yaitu rakyat bersenjata yang disebut oposisi atau pemberontak, dengan polisi, militer, dan pemerintah Libia yang disebut pro Khadafi. Situasi ini sekaligus meresmikan terjadinya “perang saudara di Libia”, yaitu perang sesama muslim yang menjadi warga negara Libia. Situasi inilah yang menimbulkan kesedihan bagi Umat Islam dunia.


Setelah perang saudara meletus di Libia, Barat memperhitungkan bahwa Moamar Khadafi tidak lagi populer. Oleh karena itu, Barat memutuskan untuk mendukung oposisi atau pemberontak Libia, karena lebih populer, terutama dalam hal tuntutan keadilan dan upaya penegakan demokrasi (ideologi Barat).


Keberpihakan Barat pada oposisi atau pemberontak Barat juga dilatar-belakangi oleh peluang mendapat konsesi atas minyak bumi Libia yang sangat berlimpah, dan kesempatan membekukan kekayaan keluarga besar Moamar Khadafi yang berlimpah ruah di Benua Eropa dan Benua Amerika.


Akhirnya, Barat segera mendorong PBB (Pecundang Bangsa-Bangsa) untuk mengeluarkan resolusi “larangan terbang di wilayah udara Libia”. Berbekal logika penegakan resolusi PBB maka pesawat-pesawat Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis segera hilir mudik berpatroli di wilayah udara Libia.


Setelah masyarakat dunia terlihat mendukung resolusi PBB dan penegakkannya oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, maka tibalah waktunya bagi Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis untuk membantai Umat Islam Libia yang diidentifikasi sebagai kelompok pro Khadafi. Sejak saat itu, banyak Umat Islam Libia yang tewas dihantam rudal (peluru kendali) Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis; demikian juga dengan kota-kota Libia yang luluh lantak oleh serangan rudal Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.


Masyarakat dunia yang cenderung fasiq (mendustai Allah SWT) nampak gamang menyikapi serangan rudal Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis terhadap Libia. Akibatnya mengalir dukungan bagi Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis yang sedang asyik membantai Umat Islam Libia.


Bahkan beberapa pemerintah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, mengisyaratkan dukungannya atas Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, yang kemudian diperluas dengan bergabungnya beberapa anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization), seperti: Pemerintah Jerman, Pemerintah Italia, Pemerintah Kanada, dan lain-lain, dalam operasi pembantaian Umat Islam Libia.


Demikianlah pembantaian yang dilakukan Barat terhadap Umat Islam Libia, dengan menggunakan skenario “adu domba”, yang mendapat dukungan masyarakat dunia yang cenderung fasiq. Oleh karena itu, penting bagi Umat Islam di seluruh dunia untuk: Pertama, berikhtiar mendamaikan oposisi dengan Pemerintah Libia. Kedua, mengirim bantuan kemanusiaan untuk mengurangi korban tewas di kalangan oposisi dan Pemerintah Libia. Ketiga, berdoa atau memohon kepada Allah SWT agar berkenan menghentikan perang saudara di Libia, dan mengusir Barat dari bumi Libia.


Pembantaian atas Umat Islam Libia oleh Barat, antara lain dapat difahami dengan memperhatikan firman Allah SWT, sebagai berikut: Pertama, “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut yang ditetapkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS.5:44). Kedua, “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut yang ditetapkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS.5:45). Ketiga, “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut yang ditetapkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq” (QS.5:47).”


Berdasarkan ketiga firman Allah SWT tersebut, dan sehubungan dengan serangannya atas Libia yang menewaskan banyak Umat Islam Libia, maka Barat adalah komunitas kafir, dzalim dan fasiq di dunia, yang lebih tepat disebut sebagai Komunitas Iblis Internasional (berdasarkan QS.114 dan QS.2:120).


Semoga Allah SWT berkenan melindungi Umat Islam Libia, dan semoga Bangsa Indonesia berkenan bersungguh-sungguh belajar dari peristiwa Libia, dengan menciptakan kedamaian di bumi Indonesia.


Selamat berikhtiar, damai selalu negeriku Indonesia...

CONQUERING OF TERRITORY

The Spread of Islam started shortly after the death of the Islamic prophet Muhammad in 632 AD. During his lifetime, the community of Muhammad, the ummah, was established in the Arabian Peninsula by means of conversion to Islam and conquering of territory. In the first centuries conversion to Islam followed the rapid growth of the Islamic world under the Rashidun and Umayyad Caliphs.


Muslim dynasties were soon established and subsequent empires such as those of the Abbasids, Fatimids, Almoravids, Seljuk Turks, Mughals in India and Safavids in Persia and Ottomans were among the largest and most powerful in the world. The Islamic world was composed of numerous sophisticated centers of culture and science with far-reaching mercantile networks, travelers, scientists, astronomers, mathematicians, doctors and philosophers, all of whom contributed to the Golden Age of Islam.


The activities of this quasi-political early ummah resulted in the spread of Islam as far from Mecca as China and Indonesia, the latter containing the world's largest Muslim population. As of October 2009, there were 1.571 billion Muslims, making Islam the second-largest religion in the world.


Increasing conversion to Islam paralleled the rapid military expansion of the Arab Empire in the first centuries after the Islamic prophet Muhammad's death. Muslim dynasties were soon established in North Africa, West Africa, throughout the Middle East and in Iran.


This was the time of the life of Islamic Prophet Muhammad and his early successors, the four rightly guided caliphs, as well as the dynasty of the Umayyad Caliphs (661-750).


In the first last century the establishment of Islam upon the Arabian peninsula and the subsequent rapid expansion of the Arab Empire during the Muslim conquests, resulted in the formation of an empire surpassed by none before. For the subjects of this new empire, formerly subjects of the greatly reduced Byzantine, and obliterated Sassanid, Empires, not much changed in practice. The objective of the conquests was more than anything of a practical nature, as fertile land and water were scarce in the Arabian peninsula. A real Islamization therefore only came about in the subsequent centuries.


Ira Lapidus distinguishes between two separate strands of converts of the time: one is animists and polytheists of tribal societies of the Arabian peninsula and the Fertile crescent; the other one is the monotheistic populations of the Middle Eastern agrarian and urbanized societies.


For the polytheistic and pagan societies, apart from the religious and spiritual reasons each individual may have had, conversion to Islam "represented the response of a tribal, pastoral population to the need for a larger framework for political and economic integration, a more stable state, and a more imaginative and encompassing moral vision to cope with the problems of a tumultuous society."


Source: Wikipedia English, 20 February 2011

Minggu, 20 Maret 2011

TIPUDAYA BARAT DI LIBIA

Banyak orang-orang yang ceroboh mengagungkan Barat sebagai penegak hak asasi manusia. Pada hari Jum’at 19 Maret 2011, Allah SWT memperlihatkan bahwa Barat adalah komunitas pengejar rente dan sumberdaya alam (minyak bumi). Pada hari itu Perancis, Inggris, Amerika Serikat, serta negara-negara Barat lainnya, dan yang pro dengan mereka, berbondong-bondong menyerang Libia, dengan alasan membela kelompok oposisi (pemberontak) Libia.


Begitulah ciri khas komunitas Barat, bila ada kesempatan menyerang negara berpenduduk muslim, maka mereka dengan sangat gembira akan melakukannya. Demikianlah yang dilakukan oleh Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan kawan-kawannya, yang dengan penuh kegembiraan melakukan serangan udara ke wilayah Libia, untuk menewaskan muslim Libia.


Sebagai muslim, kita seharusnya cerdas dan menolak serangan Barat di Libia. Jangan pernah mendukung serangan Barat di Libia, yang menewaskan saudara-saudara kita. Sesungguhnya serangan Barat di Libia adalah dalam rangka memperoleh konsesi minyak bumi di Libia, apabila oposisi berhasil berkuasa di Libia.


Dalam konteks serangan Barat di Libia, perhatikan penegasan Allah SWT, bahwa banyak di antara ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) yang menginginkan agar Umat Islam tunduk pada mereka. Semua ini antara lain karena kedengkian mereka terhadap Umat Islam. Padahal semua ini mereka lakukan, justru karena mereka mengetahui kebenaran nilai-nilai Islam. Allah SWT juga telah mengingatkan, bahwa mereka tidak akan pernah rela atas penerapan nilai-nilai Islam oleh Umat Islam. Mereka ingin agar Umat Islam keluar atau meninggalkan nilai-nilai Islam, dan mengikuti cara hidup mereka, yang berarti tunduk pada mereka (lihat QS.2:109 dan QS.2:120).


Dalam konteks kekinian, dan berdasarkan sejarah di masa lalu, umat manusia sesungguhnya mengetahui bahwa karakter Barat adalah menjarah sumberdaya alam negara-negara lain, termasuk negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.


Oleh karena itu, tolak serangan Barat terhadap Umat Islam di Libia. Waspadai tipudaya Barat yang membantu oposisi Libia untuk mendapatkan konsesi minyak bumi di Libia. Berdoalah, agar Allah SWT berkenan melindungi Umat Islam di Libia.


Semoga Allah SWT berkenan menggerakkan negara-negara berpenduduk muslim, dan tokoh-tokoh muslim dunia, untuk menjadi juru damai bagi oposisi dan pemerintah Libia. Walaupun mudah dimengerti, bahwa upaya mendamaikan oposisi dengan pemerintah Libia akan dihalang-halangi oleh Barat, karena akan menggagalkan upaya mereka mendapat konsesi minyak bumi di Libia.


Semoga Allah SWT berkenan melindungi Umat Islam Libia dari kejahatan Barat...


Catatan:


Dalam siaran persnya pada hari Minggu tanggal 20 Maret 2011, Pemerintah Jepang menyatakan dukungannya atas serangan Barat di Libia. Oleh karena itu, kita dapat lebih mudah memahami, mengapa Allah SWT menimpakan gempa berkekuatan 8,9 sekala richter dan tsunami kepada masyarakat Jepang beberapa hari yang lalu, yang menghancurkan 40 % wilayah Jepang dan menewaskan 20.000 orang.

Selama ini Pemerintah Jepang mendukung serangan dan penjajahan Amerika Serikat dan NATO (North Atlantic Treaty Organizations) di bumi Afghanistan dan Iraq.


Subhanallah...

THE OTTOMAN DYNAMIC

Ottoman rulers (generally known as Sultans in the West) were known primarily by the title of Padishah and used the title of Caliph only sporadically. Mehmed II and his grandson Selim I used it to organized Islamic countries. As the Ottoman Empire grew in size and strength, Ottoman rulers beginning with Selim I began to claim Caliphat authority.


Ottoman rulers used the title "Caliph" symbolically on many occasions but it was strengthened when the Ottoman Empire defeated the Mamluk Sultanate in 1517 and took control of most Arab lands. The last Abbasid Caliph at Cairo, al-Mutawakkil III, was taken into custody and was transported to Constantinople, where he reportedly surrendered the Caliphate to Selim I. The first time the title of "Caliph" was used as a political instead of symbolic religious title by the Ottomans was the peace treaty with Russia in 1774.


The outcome of this war was disastrous for the Ottomans. Large territories, including those with large moslem populations, such as Crimea, were lost to the Russian Empire. However, the Ottomans under Abdul Hamid I claimed a diplomatic victory by assigning themselves as protectors of moslems in Russia as part of the peace treaty.


This was the first time the Ottoman caliph was acknowledged as having political significance outside of Ottoman borders by a European power. As a consequence of this diplomatic victory, as the Ottoman borders were shrinking, the powers of the Ottoman caliph increased.


Around 1880 Sultan Abdul Hamid II reasserted the title as a way of countering Russian expansion into moslem lands. His claim was most fervently accepted by the moslems of British India. By the eve of the First World War, the Ottoman state, despite its weakness relative to Europe, represented the largest and most powerful independent Islamic political entity. The sultan also enjoyed some authority beyond the borders of his shrinking empire as caliph of moslems in Egypt, India and Central Asia.


In the 1920s, the Khilafat Movement, a movement to defend the Ottoman Caliphate, spread throughout the British colonial territories in what is now Pakistan. It was particularly strong in British India, where it formed a rallying point for some Indian moslems as one of many anti-British Indian political movements. Its leaders included Maulana Mohammad Ali, his brother Shawkat Ali, and Abul Kalam Azad, Mukhtar Ahmed Ansari, and Muhammad Jan Abbasi.


On March 3, 1924, the first President of the Turkish Republic, Mustafa Kemal Atatürk, as part of his reforms, constitutionally abolished the institution of the Caliphate. Its powers within Turkey were transferred to the Grand National Assembly of Turkey, the parliament of the newly formed Turkish Republic.


Reference: Wikipedia English, 17 February 2011

Minggu, 13 Maret 2011

BELAJAR DARI DARSEM

Darsem adalah seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia. Ia membunuh majikan yang akan memperkosa dirinya, sehingga Pengadilan Saudi Arabia memvonisnya hukuman mati. Tetapi kemudian hukumannya diubah, menjadi kewajiban membayar denda sebesar Rp. 4,7 miliar kepada ahli waris dari orang yang terbunuh.


Dalam perspektif Islam, tindakan Darsem dapat dimaklumi, karena ia membunuh orang yang akan memperkosa dirinya. Nilai-nilai Islam mengajarkan, bahwa seseorang tidak boleh membunuh orang lain tanpa hak. Oleh karena itu, seseorang dibenarkan membunuh orang lain, bila ia berhak untuk itu. Dalam kasus Darsem, ia berhak membunuh orang yang akan memperkosanya, sebagai sebuah bentuk pembelaan diri, dalam menjaga martabat wanita yang merupakan hamba Allah SWT yang dimuliakanNya.


Belajar dari Darsem, maka sudah saatnya para wanita kembali pada fitrahnya, yaitu menjadi ibu rumah tangga, menjadi istri shalihah, menjadi ibu bagi anak-anak, dan menjadi wanita yang khusyu menyiapkan regenerasi. Terkecuali bila keadaan darurat, yaitu apabila suami telah tiada, atau suami menderita sakit yang membuat sang suami tidak mampu menjalankan peran sebagai suami.


Dalam keadaan normal (tidak darurat), selayaknya para wanita mencontoh pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku para istri Nabi, yang dimuliakan Allah SWT. Petunjuk semacam ini dapat dipelajari dalam Al Qur’an dan Al Hadist, yang diperuntukkan Allah SWT bagi wanita yang berkenan dimuliakanNya.


Sebagai contoh, dalam Qur’an Surat 33:30-33 Allah SWT telah memberi petunjuk, bahwa: Pertama, hendaknya kaum wanita berkenan menghindari keburukan (lihat QS.33:30). Untuk itu, kaum wanita hendaknya berupaya agar dirinya tidak menarik perhatian laki-laki lain, kecuali suaminya (lihat QS.33:32). Caranya, kaum wanita hendaknya berkenan berada di rumah (lihat QS.33:33). Upaya ini penting, agar kaum wanita terhindar dari ekses pekerjaan publik, dan terhindar dari komoditasasi wanita (menjadikan wanita sebagai barang dagangan).


Kedua, agar terhindar dari keburukan (lihat QS.33:30), maka hendaklah kaum wanita gemar berbuat kebajikan (lihat QS.33:31), caranya dengan berada di rumah (lihat QS.33:33), agar terhindar dari ekses pekerjaan publik (lihat QS.33:32). Dengan demikian kaum wanita dapat fokus pada pekerjaan domestik, yaitu berkonsentrasi dalam mempersiapkan regenerasi Umat Islam.


Umat Islam dilahirkan melalui proses regenerasi, bukan sekedar melalui proses reproduksi. Dalam regenerasi, terkandung pengertian adanya reproduksi, yang kemudian dilengkapi dengan internalisasi nilai-nilai Islam dalam diri individu-individu baru yang menjadi bagian dari regenerasi.


Oleh karena itu, belajar dari Darsem, sudah saatnya kaum wanita kembali ke rumah. Bagi kaum wanita, berikhtiarlah dengan sungguh-sungguh agar berada di rumah, dan fokuslah pada proses regenerasi. Janganlah terkecoh oleh tipudaya para pejuang kebebasan wanita, yang menawarkan dan menjual feminisme. Kembalilah pada nilai-nilai Islam, karena kelak tiap wanita akan menghadap Allah SWT, untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya.


Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

MASTERPIECES OF SPAIN

During the Ummayad dynasty, Hispania was an integral province of the Ummayad Caliphate ruled from Damascus, Syria. When the Caliphate was seized by the Abbasids, Al-Andalus (the Arab name for Hispania) split from the Abbasid Caliph in Baghdad to form their own caliphate.


The Caliphate of Córdoba ruled most of the Iberian Peninsula from the city of Córdoba from 929 to 1031. This period was characterized by remarkable flourishing in technology, trade and culture.


Many of the masterpieces of Spain were constructed in this period, including the famous Great Mosque of Córdoba. The title Caliph was claimed by Abd-ar-Rahman III on 16 January 929; he was previously known as the Emir of Córdoba.


All Caliphs of Córdoba were members of the Umayyad dynasty; the same dynasty had held the title Emir of Córdoba and ruled over roughly the same territory since 756. The rule of the Caliphate is considered as the heyday of moslem presence in the Iberian peninsula, before it fragmented into various taifas in the 11th century.


The Umayyad dynasty was overthrown by another family of Meccan origin, the Abbasids, in 750. The Abbasids had an unbroken line of Caliphs for over three centuries, consolidating Islamic rule and cultivating great intellectual and cultural developments in the Middle East.


By 940, however, the power of the Caliphate under the Abbasids was waning as non-Arabs, particularly the Berbers of the Maghrib, the Turks, and later, in the latter half of the 13th century, the Mamluks in Egypt, gained influence, and the various subordinate sultans and emirs became increasingly independent.


Initially controlling Morocco, Algeria, Tunisia and Libya, the Fatimid caliphs extended their rule for the next 150 years, taking Egypt and Palestine, before the Abbasid dynasty was able to turn the tide, limiting Fatimid rule to Egypt. The Fatimid dynasty finally ended in 1171. The Umayyad dynasty, which had survived and come to rule over the moslem provinces of Spain, reclaimed the title of Caliph in 929, lasting until it was overthrown in 1031.


The Fatimid Caliphate or al-Fātimiyyūn (Arabic) that ruled over varying areas of the Maghreb, Egypt, Sicily, Malta and the Levant from 5 January 909 to 1171. The caliphate was ruled by the Fatimids, who established the Egyptian city of Cairo as their capital.


1258 saw the conquest of Baghdad and the execution of Abbasid caliph al-Musta'sim by Mongol forces under Hulagu Khan. A surviving member of the Abbasid house was installed as caliph at Cairo under the patronage of the newly formed Mamluk Sultanate three years later; however, this line of caliphs had generally little authority although some Abbasid rulers had the actual rule over the Mamluk Sultans.


Later moslem historians referred to it as a "shadow" caliphate. Thus, the title continued into the early 16th century.

Source: Wikipedia English, 17 February 2011

Minggu, 06 Maret 2011

FPI, UMAT ISLAM, DAN AHMADIYAH

Jum’at petang tanggal 4 Maret 2011, terjadi peritiwa di depan Kantor KONI, Jakarta. Beberapa orang preman berbadan besar yang bersenjata parang panjang menyerang sebuah mobil milik petinggi PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), Andi Darusalam Tabusala.


Kemudian, beberapa orang polisi berusaha mengatasi keadaan. Namun tampak seorang polisi yang tidak bersenjata api, justru dikejar oleh salah seorang preman yang bersenjata parang panjang. Setelah beberapa saat berlalu, barulah pihak kepolisian berhasil mengatasi keadaan. Demikianlah tayangan berita beberapa stasiun televisi nasional pada jum’at malam dan sabtu pagi (5 Maret 2011).


Dalam konfrensi pers, Polisi Daerah Metro Jakarta Raya menjelaskan telah menangkap 11 orang yang terkait peristiwa tersebut. Tetapi polisi tidak berhasil menemukan senjata tajam yang digunakan. Uniknya, beberapa saat kemudian polisi membebaskan 11 orang yang ditangkap tersebut.


Pada tahun 1998 preman semacam itu pernah menyerang sebuah permukiman di Jakarta. Saat itu preman merajalela di Jakarta, dalam rangka mendukung para bandar judi. Bentrok warga dengan preman di Jakarta memuncak, ketika para preman berani merusak sebuah masjid di salah satu kawasan. Saat itulah Laskar FPI (Front Pembela Islam) bergerak untuk membela Umat Islam, yang masjidnya diserang preman.


Laskar FPI kemudian menyerang tempat-tempat mangkal para preman, dan mendesak POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) agar menangkap para preman. Saat itu, perlahan-lahan aktivitas para preman di Jakarta mulai berkurang.


Tetapi ketika FPI dihujat, dan didesak untuk dibubarkan oleh beberapa pihak, maka aktivitas para preman kembali meningkat. Para preman seolah mendapat angin segar, bahwa FPI tidak akan lagi mengganggu aktivitas mereka. Peristiwa perusakan mobil petinggi PSSI, merupakan bukti nyata peningkatan aktivitas para preman di Jakarta. Oleh karena itu, Umat Islam Indonesia membutuhkan kehadiran FPI, atau Laskar FPI, untuk merespon aktivitas para preman.


Umat Islam Indonesia bersyukur atas rahmat Allah SWT, yang berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, Umat Islam Indonesia membutuhkan kehadiran FPI, sebagai Ormas Islam yang mampu bertindak tegas terhadap para preman; dan mampu bertindak tegas dalam membela Umat Islam Indonesia.


Sesungguhnya Umat Islam Indonesia membutuhkan banyak Ormas (Organisasi Massa) Islam dalam berbagai karakter, untuk merespon dinamika sosial kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat Islam Indonesia membutuhkan: Pertama, Ormas Islam yang akurat dan bijaksana dalam memberi fatwa, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kedua, Ormas Islam yang berbasis intelektualitas, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Ketiga, Ormas Islam yang tegas dalam membela Islam, seperti FPI.


Ikhtiar berbagai Ormas Islam ini penting bagi keberlanjutan Islam dan Umat Islam di Indonesia. Perhatikanlah ikhtiar serius berbagai Ormas Islam dalam membubarkan Jama’ah Ahmadiyah Indonesia, karena telah merusak dan menodai Islam. Meskipun menyebut diri sebagai Umat Islam, tetapi Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (dan internasional) menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Inilah penodaan dan penistaan yang dilakukan oleh Jama’ah Ahmadiyah, yang bertentangan dengan petunjuk Al Qur’an dan Al Hadist.


Ikhtiar berbagai Ormas Islam di tingkat nasional belum berhasil, karena Pemerintah (Pusat) enggan secara tegas membubarkan Jama’ah Ahmadiyah Indonesia. Tetapi di tingkat lokal (provinsi) mulai menampakkan hasil yang baik.


Tanggal 28 Februari 2011 Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/94 KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jama’ah Ahmadiyah Indonesia di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan keputusan tersebut, maka: Pertama, Jama’ah Ahmadiyah Indonesia dilarang melakukan aktivitas yang dapat memicu gangguan keamanan di Provinsi Jawa Timur. Kedua, Jama’ah Ahmadiyah Indonesia dilarang memasang papan nama di tempat umum. Ketiga, Jama’ah Ahmadiyah Indonesia dilarang memasang papan nama di masjid, mushala, atau lembaga/yayasan. Keempat, Jama’ah Ahmadiyah Indonesia dilarang menggunakan atribut Ahmadiyah dan segala bentuknya.


Selanjutnya, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, pada tanggal 3 Maret 2011 mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Kegiatan Jama’ah Ahmadiyah Indonesia di Provinsi Jawa Barat. Dengan adanya peraturan gubernur ini, maka anggota Jama’ah Ahmadiyah Indonesia dilarang melakukan aktivitas dan atau kegiatan dalam bentuk apapun di Provinsi Jawa Barat, sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktivitas yang menyimpang dan bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Agama Islam.


Saat ini, Pemerintah Provinsi Banten sedang melakukan kajian yang berkaitan dengan aktivitas Jama’ah Ahmadiyah Indonesia di Provinsi Banten. Sebagai Umat Islam Indonesia, kita berharap Gubernur Banten berkenan mengikuti jejak Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Jawa Barat, sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin.


Namun demikian, Umat Islam Indonesia hendaknya dapat menahan diri, untuk tidak melakukan tindakan anarkis. Bersabarlah dalam menghadapi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat Islam Indonesia hendaknya terus berkoordinasi dengan para ulama, dan bersungguh-sungguh mengikuti nasehat para ulama.


Jika ada pakar (Doktor, atau Profesor Doktor) yang menyatakan, bahwa pelarangan terhadap aktivitas Jama’ah Ahmadiyah Indonesia bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945), maka: Pertama, pakar tersebut adalah pendusta ilmu atau pembohong professional, karena ia berdusta atau membohongi masyarakat dengan ilmunya. Kedua, konstitusi menjamin kebebasan beragama, bukan menjamin kebebasan menodai atau menistakan agama.


Umat Islam Indonesia jangan pernah gentar dengan celoteh para pendusta ilmu. Sebaliknya, dinamika dan momentum ini hendaknya dijadikan sebagai pendorong untuk mensinergikan tokoh-tokoh muslim dari berbagai ilmu untuk berjuang di “jalan” Allah SWT.


Umat Islam Indonesia hendaknya juga menyadari, bahwa mereka membutuhkan berbagai Ormas Islam dalam berbagai karakter perjuangan, karena dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara perlu direspon dengan baik. Umat Islam Indonesia membutuhkan MUI, HTI, FPI, FUI (Forum Umat Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Ikhwanul Muslimin Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, dan lain-lain, yang berkomitmen untuk berjuang dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan menghormati dan memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.


Umat Islam Indonesia perlu belajar dari pengalaman rakyat Iraq. Ketika Saddam Husein masih berkuasa, banyak orang yang mengaku diri sebagai nasionalis siap berjuang untuk Bangsa Iraq. Tetapi ketika Tentara Amerika Serikat menyerang dengan persenjataan lengkap, maka para nasionalis Iraq lari tunggang langgang, bahkan beberapa di antara mereka justru bergabung dalam kepolisian dan milter yang dibentuk oleh Amerika Serikat. Akhirnya, hanya pejuang Islam yang berani melawan dan menyerang Tentara Amerika Serikat yang bersenjata lengkap, hingga akhirnya Tentara Amerika Serikat ditarik dari Iraq.


Perjuangan Umat Islam Iraq memang belum selesai. Pejuang Islam di Iraq masih harus berjuang, karena meskipun Tentara Amerika Serikat telah ditarik, kaki tangan Amerika Serikat masih ada di Iraq, yaitu Pemerintah “Boneka” Iraq, yang melaksanakan tugas untuk kepentingan Amerika Serikat.


Belajar dari pengalaman Iraq, maka nasionalisme harus diberi “roh” Islam, agar berani menghadapi senjata lengkap, seperti yang dimiliki oleh Tentara Amerika Serikat. Nasionalisme harus diberi “roh” Islam, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang diridhai oleh Allah SWT. Nasionalisme harus diberi “roh” Islam, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Semoga Allah SWT meridhai setiap ikhtiar Umat Islam…

THE CALIPHATE

The caliph was often known as Amir al-Mu'minin, or "Commander of the Believers". Muhammad established his capital in Medina, and after he died it remained the capital for the Rashidun period. The first caliph to be called Amir al-Mu'minin was Abu Bakr Siddique, followed by Umar ibn al-Khattāb, the second of the Four Rightly Guided Caliphs. Uthman ibn Affan and Ali ibn Abi Talib also were called by the same title.


After the first four caliphs, the Caliphate was claimed by dynasties such as the Umayyads, the Abbasids, and the Ottomans, and for relatively short periods by other, competing dynasties in al-Andalus, North Africa, and Egypt. Mustafa Kemal Atatürk officially abolished the last Caliphate, the Ottoman Empire, and founded the Republic of Turkey, in 1924. The Kings of Morocco still label themselves with the title Amir al-Mu'minin for the Moroccans, but lay no claim to the Caliphate.


Abu Bakr, the first successor of Muhammad, nominated Umar as his successor on his deathbed, and there was consensus in the Muslim community to his choice. Umar Ibn Khattab, the second caliph, was killed by a servant. His successor, Uthman Ibn Affan, was elected by a council of electors (Majlis), but was soon perceived by some to be ruling as a "king" rather than an elected leader. Uthman was killed by members of a disaffected group. Ali then took control but was not universally accepted as caliph by the governors of Egypt, and later by some of his own guard. He faced two major rebellions and was assassinated after a tumultuous rule of only five years.


Muawiyah, a relative of Uthman and governor (Wali) of Syria, became one of Ali's challengers and after Ali's death managed to overcome the other claimants to the Caliphate. Muawiyah transformed the caliphate into a hereditary office, thus founding the Umayyad dynasty. Under the Umayyads, the Caliphate grew rapidly in territory. Islamic rule expanded westward across North Africa and into Hispania and eastward through Persia and ultimately to the ancient lands of Indus Valley, in modern day Pakistan. This made it one of the largest unitary states in history and one of the few states to ever extend direct rule over three continents (Africa, Europe, and Asia).


Source: Wikipedia English, 17 February 2011