Beberapa hari ini, rakyat Indonesia dihebohkan oleh rencana pembangunan gedung baru DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Awalnya pembangunan ini beralasan, karena gedung yang lama miring beberapa derajat. Alasan kemudian berkembang, menjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang kerja masing-masing anggota DPR. Sebagaimana diketahui diproyeksikan tiap anggota DPR memiliki 1 (satu) staf administrasi dan 4 (empat) staf ahli. Sementara itu dari sisi nominal, awalnya pembangunan gedung baru DPR dianggarkan Rp. 1,8 triliun, tetapi seiring dengan protes berbagai pihak kemudian diturunkan menjadi Rp. 1,1 triliun.
Sebelumnya, saat pelantikan anggota DPR terpilih periode 2009 – 2014 telah dikeluarkan dana oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebesar Rp. 11 miliar. Sementara itu, Sekretariat Jenderal DPR mengeluarkan dana Rp. 26 miliar untuk biaya pindah tugas bagi anggota baru terpilih yang berasal dari luar Jakarta.
Rakyat juga pernah dihebohkan oleh kegiatan studi banding anggota DPR ke beberapa negara, di mana saat ke luar negeri seorang anggota DPR akan mendapat uang saku sebesar Rp. 20 – 28 juta, dan uang representasi Rp. 20 juta. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil dana studi banding anggota DPR ke luar negeri pada tahun 2010 sebesar Rp. 162, 9 miliar.
Dalam konteks pemilihan umum kepala daerah, pada tahun 2007 telah dilaksanakan 226 Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota dengan menelan biaya Rp. 1,2 triliun. Sementara itu, pada tahun 2010 telah dilaksanakan 244 Pilkada dengan menelan biaya Rp. 4,2 triliun.
Biaya demokrasi yang besar juga dikeluarkan dalam rangka Pemilihan Umum, yang memilih presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD (DPR Daerah), dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Uraian tentang biaya demokrasi ala Barat ini sangat ironis, bila disandingkan dengan data tentang masih adanya 31 juta orang rakyat Indonesia yang miskin.
Sesungguhnya Bangsa Indonesia saat ini perlu belajar dari fenomena penetapan Abubakar RA sebagai Khalifah Pertama setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat. Para sahabat Rasulullah Muhammad SAW memilih Abubakar RA dengan memperhatikan semangat keumatan (demi kepentingan umat) yang membutuhkan pemimpin. Oleh karena itu, para sahabat berupaya memilih pemimpin umat yang bijaksana, melalui musyawarah yang dapat mewakili kepentingan umat dalam menggapai ridha Allah SWT.
Belajar dari pemilihan Khalifah Pertama (Abubakar RA) terdapat empat kata kunci, yaitu: Pertama, “semangat keumatan”, yang identik dengan “kerakyatan”. Kedua, “bijaksana” yang merupakan kata sifat, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “kebijaksanaan”, untuk menunjukkan sesuatu yang harus dilakukan, misal: harus bijaksana; Ketiga, “musyawarah” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “permusyawaratan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga musyawarah. Keempat, “mewakili” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “perwakilan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga bagi para wakil umat.
Dengan demikian terdapat empat kata kunci dalam memilih pemimpin, yaitu: “Kerakyatan … kebijaksanaan … permusyawaratan … perwakilan.” Keempat kata kunci ini selanjutnya disusun dan ditambah dengan kata-kata lain sehingga berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Teks ini sesuai dengan sila ke-4 Pancasila, dan hal ini bukanlah kebetulan. Ketahuilah tidak ada yang kebetulan di alam semesta ini, sebab segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini berada dalam kekuasaan Allah SWT.
Dalam sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin (seorang muslim) mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan pemikirannya. Pada saat itu Muhammad Yamin berpidato dengan judul “Asas Dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yang mengusulkan dasar negara Indonesia terdiri dari: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Setelah berpidato Muhammad Yamin menyampaikan usul tertulis, agar dasar negara Indonesia terdiri dari: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, kebangsaan persatuan Indonesia. Ketiga, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah Muhammad Yamin berpidato, berikutnya pada tanggal 31 Mei 1945 giliran Soepomo berpidato, dan kemudian dilanjutkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Soepomo menjelaskan, bahwa negara Indonesia didirikan dengan memperhatikan tiga paket pilihan, yaitu: Pertama, persatuan negara, negara serikat, atau persekutuan negara; Kedua, hubungan antara negara dan agama; Ketiga, republik atau monarki.
Sementara itu, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didirikan dengan dasar: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima dasar negara usulan Soekarno itu, atas usul Muhammad Yamin (saat itu duduk di samping Soekarno) diberi nama “Pancasila”.
Untuk menampung usulan Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang, yang dikenal dengan nama “Panitia Sembilan” yang bertugas merumuskan dasar negara untuk dimasukkan dalam Mukadimah Hukum Dasar.
Panitia Sembilan terdiri dari: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Dari sembilan orang anggota Panitia Sembilan ini hanya A.A. Maramis yang beragama Kristen, sedangkan yang delapan orang lainnya beragama Islam.
Akhirnya Pancasila disahkan menjadi dasar negara, melalui pengesahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, di mana Pancasila dimuat pada alinea ke-4 Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Pada Sila Ke – 4 Pancasila dinyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Teks ini bermakna, bahwa kepentingan rakyat diperjuangankan dan dikoordinir oleh seorang pemimpin, yang dalam menjalankan tugasnya menerapkan kebijaksanaan (wisdom) melalui musyawarah dengan para wakil rakyat.
Oleh karena itu, sistem pengelolaan negara yang ideal bagi Bangsa Indonesia bukanlah demokrasi ala Barat, melainkan pola “pemilihan khalifah”. Caranya, sebagai berikut:
Pertama, warga masing-masing RT (Rukun Tetangga) memilih Ketua RT.
Kedua, ketua-ketua RT dalam masing-masing RW (Rukun Warga) memilih Ketua RW,
Ketiga, ketua-ketua RW dalam masing-masing Kelurahan/Desa memilih Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.
Keempat, para Kepala Kelurahan dan Kepala Desa dalam masing-masing Kecamatan memilih Camat.
Kelima, para Camat dalam masing-masing Kabupaten atau Kota memilih Bupati atau Walikota.
Keenam, para Bupati dan Walikota dalam masing-masing Provinsi memilih Gubernur.
Ketujuh, para Gubernur memilih seorang Presiden.
Dalam menjalankan tugasnya Presiden berkonsultasi dengan Dewan Gubernur; sedangkan dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur, maka Gubernur berkonsultasi dengan Dewan Bupati/Walikota.
Dengan kesederhanaan sistem pengelolaan negara ini, maka akan dapat dihemat uang negara sebesar ratusan triliun rupiah. Selanjutnya seluruh uang ini dapat digunakan untuk melaksanakan sebagian program pengentasan kemiskinan.
Demokrasi ala Barat adalah sistem berbiaya tinggi yang hanya cocok di negara-negara Barat, yang negaranya telah makmur, sebagai hasil merampok sumberdaya negara-negara berkembang di masa kolonial (lihat sejarah Belanda, Inggris, Perancis, dan lain-lain).
Bagi Bangsa Indonesia yang perlu cermat dalam mengelola keuangan negara, maka sistem yang ditawarkan oleh Sila Keempat Pancasila adalah sistem yang paling tepat, yaitu sistem “permusyawaratan/perwakilan”. Dengan kata lain Sila Keempat Pancasila menghendaki sistem “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Semoga Bangsa Indonesia berkenan mempertimbangkan konsepsi ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar