Ketika para sahabat bertanya tentang kondisi zaman akhir (menjelang Hari Kiamat), Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, "Akan menimpa manusia tahun-tahun penuh dusta, di mana pendusta dibenarkan, dan yang benar didustakan. Si Pengkhianat diberi amanah, dan si Jujur dikhianati. Pada masa itu Ruwaibidhah pandai mengumbar kata-kata." Para sahabat lalu bertanya, "Siapakah Ruwaibidhah itu, yaa Rasulullah?" Rasulullah Muhammad SAW menjawab, "Ruwaibidhah adalah manusia bodoh, yang memegang jabatan publik," (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Diskusi Rasulullah Muhammad SAW dengan para sahabatnya tentang kondisi zaman akhir, menunjukkan beratnya situasi yang dihadapi umat manusia. Situasi berat tersebut ditimbulkan oleh adanya orang-orang bodoh yang memegang jabatan publik. Berbagai kebodohan yang menjadi basis pengambilan keputusan para pemegang jabatan publik ini, akhirnya selalu berhasil membuahkan permasalahan yang rumit. Uniknya, ketika permasalahan rumit yang ditimbulkan oleh kebijakan berbasis kebodohan diatasi oleh para pemegang jabatan publik, maka mereka kembali berhasil menciptakan permasalahan baru yang lebih rumit.
Rasulullah Muhammad SAW juga mengingatkan tentang rendahnya kepekaan logika, sosial, dan transendental masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya fenomena "pendusta dibenarkan dan yang benar didustakan, serta si Pengkhianat diberi amanah dan si Jujur dikhianati. Lihatlah histeria masyarakat (dunia) yang mencocok-cocokkan Islam dengan terorisme.
Padahal Islam hadir di dunia (alam semesta) membawa nilai-nilai Islam, yang berkoridorkan aqidah, ibadah, muamallah, adab dan akhlak; serta mendorong setiap manusia untuk berperan sebagai mujahiddin (pejuang kebenaran), uswatun hasanah (teladan yang baik), assabiqunal awwaluun (pioner), sirajan muniran (pencerah bagi orang lain), dan rahmatan lil'alamiin (pemberi manfaat optimal); dengan cara membangun karakter personal yang fathonah (cerdas komprehensif), amanah (dapat dipercaya), shiddiq (obyektif), tabligh (informatif), istiqamah (konsisten), ikhlas (tulus hati), dan ridha (lapang dada).
Dengan demikian akan terbentuk peradaban yang transenden (mempertuhankan Tuhan, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun yang setara denganNya), humanis (memposisikan manusia pada fitrahnya sebagai manusia, yang merupakan hamba Allah dan khalifah di alam semesta), serta emansipatori (membebaskan manusia dari kejahiliahan tradisional, modern, dan posmodern).
Diskusi Rasulullah Muhammad SAW dengan para sahabatnya tentang kondisi zaman akhir, menunjukkan beratnya situasi yang dihadapi umat manusia. Situasi berat tersebut ditimbulkan oleh adanya orang-orang bodoh yang memegang jabatan publik. Berbagai kebodohan yang menjadi basis pengambilan keputusan para pemegang jabatan publik ini, akhirnya selalu berhasil membuahkan permasalahan yang rumit. Uniknya, ketika permasalahan rumit yang ditimbulkan oleh kebijakan berbasis kebodohan diatasi oleh para pemegang jabatan publik, maka mereka kembali berhasil menciptakan permasalahan baru yang lebih rumit.
Rasulullah Muhammad SAW juga mengingatkan tentang rendahnya kepekaan logika, sosial, dan transendental masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya fenomena "pendusta dibenarkan dan yang benar didustakan, serta si Pengkhianat diberi amanah dan si Jujur dikhianati. Lihatlah histeria masyarakat (dunia) yang mencocok-cocokkan Islam dengan terorisme.
Padahal Islam hadir di dunia (alam semesta) membawa nilai-nilai Islam, yang berkoridorkan aqidah, ibadah, muamallah, adab dan akhlak; serta mendorong setiap manusia untuk berperan sebagai mujahiddin (pejuang kebenaran), uswatun hasanah (teladan yang baik), assabiqunal awwaluun (pioner), sirajan muniran (pencerah bagi orang lain), dan rahmatan lil'alamiin (pemberi manfaat optimal); dengan cara membangun karakter personal yang fathonah (cerdas komprehensif), amanah (dapat dipercaya), shiddiq (obyektif), tabligh (informatif), istiqamah (konsisten), ikhlas (tulus hati), dan ridha (lapang dada).
Dengan demikian akan terbentuk peradaban yang transenden (mempertuhankan Tuhan, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun yang setara denganNya), humanis (memposisikan manusia pada fitrahnya sebagai manusia, yang merupakan hamba Allah dan khalifah di alam semesta), serta emansipatori (membebaskan manusia dari kejahiliahan tradisional, modern, dan posmodern).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar