“Mengupayakan” adalah tindakan seseorang berdasarkan segenap kemampuan, keahlian, dan kompetensinya dalam melakukan suatu kebajikan yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan masyarakat. Mengupayakan berkaitan dengan janji (promise) dan kepercayaan (confidence).
Dalam konteks janji, maka “mengupayakan” juga meliputi tindakan seseorang dalam menyampaikan kepada orang lain bahwa sesuatu berpeluang terjadi, karena ia telah bersungguh-sungguh mengupayakannya. Sementara itu, dalam konteks kepercayaan, maka “mengupayakan” juga meliputi tindakan seseorang dalam menyampaikan kepada orang lain bahwa sesuatu berpeluang terjadi, karena ia memiliki kemampuan untuk mengupayakannya.
Allah SWT berfirman, “Dan Dia (Allah) memudahkan untuk kamu segala sesuatu yang di langit dan di bumi, sebagai rahmat dariNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS.45:13).
Berdasarkan firman Allah SWT, maka setiap orang punya peluang untuk menjadi orang yang mampu mengupayakan, sepanjang ia berkenan menjaga hubungan baik dengan Allah SWT. Caranya dengan melaksanakan segenap perintah Allah SWT, dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Pandai-pandailah menarik simpati Allah SWT, agar ia berkenan atas setiap upaya yang dilakukan untuk menjadi orang yang mampu mengupayakan.
Ketika seseorang mampu mengupayakan, maka ada beberapa ciri yang ia perlihatkan, yaitu: Pertama, ia memiliki dorongan psikologis dan sosial yang mengarahkannya ke suatu kebajikan yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan masyarakat. Hal ini akan membuat orang tersebut terarah dalam pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya. Ia akan menetapkan cara atau teknik dalam membangkitkan semangat yang meredup dalam dirinya, sehingga tercipta kemauan untuk melakukan suatu kebajikan.
Kedua, ia mengambil semangat kebangkitan diri dari segenap sumber yang terpercaya, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Ia mengembangkan mindset (pola pikir) yang dapat merubah suatu kenegatifan menjadi sisi yang positif, sehingga ia berhasil menanamkan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu melakukan kebajikan. Oleh karena itu, ia menuntut diri sendiri agar bersedia berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku terbaik dalam memanfaatkan kemampuannya menghasilkan kebajikan.
Ketiga, ia bersedia memulai hidup baru dengan cara berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku secara baru. Ia wujudkan kecintaannya kepada Tuhannya dengan mewujudkan kebajikan bagi dirinya, orang lain, dan masyarakat. Rasa cinta kepada Tuhannya akan gagal dibuktikan, bila ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang cara-cara mewujudkan kebajikan.
Keempat, ia menyadari adanya faktor kunci pada dirinya, yang berupa pengenalan diri yang kuat dan akurat. Ia faham tentang perlunya: (1) karakter pribadi yang termotivasi secara baik sehingga mampu menghadapi tantangan dan dinamika hidup; (2) bakat, potensi dan kemampuan yang selalu dimanfaatkan olehnya dalam menyusuri setiap lorong-lorong kehidupannya yang penuh suka dan duka; serta (3) pengalaman hidup yang menjadi referensi nyata baginya dalam merancang, menerapkan, dan mengevaluasi capaian kebajikan.
Selamat mencoba, semoga Allah SWT berkenan meridhai...
2 komentar:
Pak.. boleh aku bertanya? ...
Bagaimana jika kita melakukan sesuatu, maksudnya memberikan pertolongan tetapi malah menjadi bumerang bagi kita?
dengan kata lain. Orang yang akan menerima pertolongan kita malah menginterpretasikannya suatu tindakan yang tidak baik.
dan bagaimana solusinya jika sudah terjadi demikian?
Oke, friend...
Untuk melakukan kebaikan perlu memperhatikan tiga hal, yaitu waktu pelaksanaan, pihak yang dituju, dan dosis kebaikan yang diberikan.
Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya "keracunan kebaikan.
Begitu friend, semoga bermanfaat.
Posting Komentar