Akhir-akhir ini beberapa stasiun televisi ramai memberitakan tentang pernikahan. Oleh karena tidak serius memahami nilai-nilai Islam, maka beberapa stasiun televisi mewacanakan, bahwa keabsahan pernikahan terletak pada persetujuan negara (pemerintah) atau orang banyak (masyarakat).
Sesungguhnya tidaklah demikian. Dalam perspektif Islam (berdasarkan nilai-nilai Islam) keabsahan atau sahnya sebuah pernikahan tidaklah ditentukan oleh negara, pemerintah, atau masyarakat. Sahnya sebuah pernikahan ditentukan oleh Allah SWT, yang ukurannya adalah ketentuan-ketentuan dalam Al Qur'an dan Al Hadist.
Oleh karena itu, apabila negara, pemerintah, atau masyarakat mengatakan bahwa sebuah pernikahan tidak sah, tetapi Allah SWT menyatakan pernikahan tersebut sah, maka sah-lah pernikahan itu. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, peran negara atau pemerintah dalam pernikahan hanyalah sebagai lembaga (institusi) pencatat, atau pengadministrasian sebuah pernikahan, yang dibuktikan dengan Akta Nikah. Sementara itu, dalam konteks sosial, peran masyarakat hanyalah sebagai penggembira dan sasaran pengumuman, bahwa telah terjadi pernikahan.
Pemhaman ini perlu dibangun, untuk meluruskan pemahaman yang sudah mengarah pada upaya mempertuhankan negara, pemerintah, atau masyarakat. Negara dan pemerintah dihormati sebagai lembaga pelaksana kontrak sosial, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 , maka penyelenggara negara, atau pemerintah wajib mendorong masyarakat untuk bertaqwa kepada Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa), termasuk dalam hal pernikahan.
Dengan kata lain, masyarakat didorong untuk mengerti bahwa yang mengesahkan suatu pernikahan adalah Allah SWT. Pernikahan yang disahkan oleh Allah SWT adalah pernikahan yang memenuhi hukum dan rukun nikah, sebagaimana disebut dalam Al Qur'an dan Al Hadist.
Hukum nikah, dapat dilihat pada QS.4:3, dan QS.24:32, serta Hadist Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan, "Hai para pemuda, barangsiapa di antara kalian sanggup menikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menahan pandangan, dan lebih menjaga kemaluan" (Muttafaq Alaih).
Sementara itu, rukun nikah atau syarat sah sebuah pernikahan ada empat, yaitu: Pertama, adanya wali, yaitu ayah kandung wanita, atau yang mewakili (penerima wasiat, atau kerabat dekat); Kedua, adanya dua orang saksi; Ketiga, adanya shighat akad nikah, yaitu ucapan calon suami, atau yang mewakili, "Nikahkan aku dengan anak putrimu yang bernama ...," dan ucapan wali, "Aku nikahkan engkau dengan anak putriku yang bernama ....", yang kemudian dibalas oleh calon suami, atau yang mewakili, "Aku terima pernikahan anak putrimu denganku." Keempat, adanya mahar, yaitu suatu pemberian calon suami kepada calon istri.
Berdasarkan rukun nikah tersebut, maka tidak ada ketentuan mengenai umur calon suami dan calon istri. Oleh karena itu, tingkat kepatutan suatu masyarakatlah yang menjadi instrumen penentu mengenai umur calon suami atau calon istri. Kondisi ini bersifat relatif, atau berbeda-beda pada tiap-tiap kelompok masyarakat. Bagi masyarakat Arab di abad ke-6, wanita yang berusia 9 tahun sudah layak menikah. Sementara itu, bagi masyarakat di Pulau Jawa pada tahun 1940-an, wanita yang berusia 15 tahun sudah layak menikah. Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia pada umumnya di era sekarang, wanita yang berusia 18 tahun sudah layak menikah. Inilah konstruksi sosial yang dibangun masyarakat. Konstruksi sosial semacam ini tidak akan pernah menggugurkan nilai-nilai transendental yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia. Artinya konstruksi sosial masyarakat, tidak akan pernah menjadi penentu keabsahan suatu pernikahan. Sesuatu yang dihalalkan Allah SWT, tidaklah akan dapat diharamkan oleh manusia.
Hal ini menunjukkan, adalah berlebih-lebihan bila keabsahan pernikahan diambil-alih oleh negara, pemerintah, atau masyarakat. Sudah selayaknya pihak-pihak yang berupaya melakukan ini mengerti, bahwa kebenaran Allah SWT bersifat mutlak, hanya kebenaran manusialah yang bersifat relatif. Selain itu, upaya untuk mengkritisi hukum dan rukun nikah yang tertuang dalam Al Qur'an dan Al hadist merupakan perbuatan tercela, karena kecerdasan Allah SWT tak akan tertandingi oleh kecerdasan siapapun, baik individual maupun kolektif.
Sesungguhnya tidaklah demikian. Dalam perspektif Islam (berdasarkan nilai-nilai Islam) keabsahan atau sahnya sebuah pernikahan tidaklah ditentukan oleh negara, pemerintah, atau masyarakat. Sahnya sebuah pernikahan ditentukan oleh Allah SWT, yang ukurannya adalah ketentuan-ketentuan dalam Al Qur'an dan Al Hadist.
Oleh karena itu, apabila negara, pemerintah, atau masyarakat mengatakan bahwa sebuah pernikahan tidak sah, tetapi Allah SWT menyatakan pernikahan tersebut sah, maka sah-lah pernikahan itu. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, peran negara atau pemerintah dalam pernikahan hanyalah sebagai lembaga (institusi) pencatat, atau pengadministrasian sebuah pernikahan, yang dibuktikan dengan Akta Nikah. Sementara itu, dalam konteks sosial, peran masyarakat hanyalah sebagai penggembira dan sasaran pengumuman, bahwa telah terjadi pernikahan.
Pemhaman ini perlu dibangun, untuk meluruskan pemahaman yang sudah mengarah pada upaya mempertuhankan negara, pemerintah, atau masyarakat. Negara dan pemerintah dihormati sebagai lembaga pelaksana kontrak sosial, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 , maka penyelenggara negara, atau pemerintah wajib mendorong masyarakat untuk bertaqwa kepada Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa), termasuk dalam hal pernikahan.
Dengan kata lain, masyarakat didorong untuk mengerti bahwa yang mengesahkan suatu pernikahan adalah Allah SWT. Pernikahan yang disahkan oleh Allah SWT adalah pernikahan yang memenuhi hukum dan rukun nikah, sebagaimana disebut dalam Al Qur'an dan Al Hadist.
Hukum nikah, dapat dilihat pada QS.4:3, dan QS.24:32, serta Hadist Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan, "Hai para pemuda, barangsiapa di antara kalian sanggup menikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menahan pandangan, dan lebih menjaga kemaluan" (Muttafaq Alaih).
Sementara itu, rukun nikah atau syarat sah sebuah pernikahan ada empat, yaitu: Pertama, adanya wali, yaitu ayah kandung wanita, atau yang mewakili (penerima wasiat, atau kerabat dekat); Kedua, adanya dua orang saksi; Ketiga, adanya shighat akad nikah, yaitu ucapan calon suami, atau yang mewakili, "Nikahkan aku dengan anak putrimu yang bernama ...," dan ucapan wali, "Aku nikahkan engkau dengan anak putriku yang bernama ....", yang kemudian dibalas oleh calon suami, atau yang mewakili, "Aku terima pernikahan anak putrimu denganku." Keempat, adanya mahar, yaitu suatu pemberian calon suami kepada calon istri.
Berdasarkan rukun nikah tersebut, maka tidak ada ketentuan mengenai umur calon suami dan calon istri. Oleh karena itu, tingkat kepatutan suatu masyarakatlah yang menjadi instrumen penentu mengenai umur calon suami atau calon istri. Kondisi ini bersifat relatif, atau berbeda-beda pada tiap-tiap kelompok masyarakat. Bagi masyarakat Arab di abad ke-6, wanita yang berusia 9 tahun sudah layak menikah. Sementara itu, bagi masyarakat di Pulau Jawa pada tahun 1940-an, wanita yang berusia 15 tahun sudah layak menikah. Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia pada umumnya di era sekarang, wanita yang berusia 18 tahun sudah layak menikah. Inilah konstruksi sosial yang dibangun masyarakat. Konstruksi sosial semacam ini tidak akan pernah menggugurkan nilai-nilai transendental yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia. Artinya konstruksi sosial masyarakat, tidak akan pernah menjadi penentu keabsahan suatu pernikahan. Sesuatu yang dihalalkan Allah SWT, tidaklah akan dapat diharamkan oleh manusia.
Hal ini menunjukkan, adalah berlebih-lebihan bila keabsahan pernikahan diambil-alih oleh negara, pemerintah, atau masyarakat. Sudah selayaknya pihak-pihak yang berupaya melakukan ini mengerti, bahwa kebenaran Allah SWT bersifat mutlak, hanya kebenaran manusialah yang bersifat relatif. Selain itu, upaya untuk mengkritisi hukum dan rukun nikah yang tertuang dalam Al Qur'an dan Al hadist merupakan perbuatan tercela, karena kecerdasan Allah SWT tak akan tertandingi oleh kecerdasan siapapun, baik individual maupun kolektif.
9 komentar:
Hai friend
trimakasih supportnya,blog anda juga keren,oya saya punya pertanyaan seputar pernikahan,itu lo masalah syekh puji yang menikah dgn anak di bawah umur,,apa itu sah menurut islam??
sukses blognya friend!!
Terima kasih kunjungannya keblog saya. Mau ambil ilmu dari blog sini bolehkan pak? Ohya, sekalian tanya ya, hukumnya pernikahan dalam sinetron atau film itu bagaimana ya? Kan sudah ada calon mempelai,wali,penghulu, juga saksi. Makasih pak...
wah ngomongin Nikah.... mantab Pak,
nampakx kita perlu banyak belajar ginian sebelum melangkah di tahab selanjutnya,
Assallamu'alaikum Wr. Wb.
Buat Ajeng, kalau pernikahan dalam sinetron atau film itu yaa... tidak sah, meskipun rukun nikahnya kelihatan terpenuhi. karena semuanya pura-pura (bohongan).
Oleh karena itu, segala kebaikan yang dilakukan pura-pura (atau pura-pura baik), insyaAllah tertolak.
Trims yaa...
Oh iya, tetapi sebaiknya wanita yaa... jangan main sinetron atau film. Banyak cara menebar informasi tanpa sinetron dan film.
Trims lagi yaa...
Wassallamu'alaikum Wr. Wb.
Hi friend.. Interesting post.. Nice blog work.. keep it up.. will drop by your site often.. Do find time to visit my blog and post your comments.. Have a great day.. Cheers!!!
Trima kasih atas kunjungan dan komentarnya di blog saya.
Ngomong-ngomong mengenai pernikahan, saya jadi pengen cepet menikah. Hehe....
good. aku juga menulis tentang pernikahan sirri di blogku.
btw, trims atas kunjungan anda ke blog saya.
saya setuju kita tidak pantas mengkritisi qur'an dan hadist. Tapi, kita juga tidak bisa menutup mata dengan membiarkan banyak orang islam yang menyalahgunakan kemudahan yang diberikan islam, yang pada ujungnya merusak "islam" yang sesungguhnya.
Islam tidak mengatur umur dalam pernikahan, tapi kalau aturan islam diartikan secara kontekstual tanpa menimbang maslahat dan mudaratnya yang terjadi adalah "Puji menikahi anak-anak" :). Senang berkenalan dengan anda pak.
Assallamu'alaikum Wr. Wb.
Trims buat Setia Dth, yang telah berkenan memberi komentar pada artikel ini.
Saya setuju dengan sikap wara' (hati-hati dan cermat) yang Anda perlihatkan dalam komentar Anda.
Sudah saatnya Umat Islam mensikapi setiap fenomena yang diketahuinya dengan hati-hati dan cermat. Setiap muslim hendaknya berupaya sungguh-sungguh agar tidak menjadi "duri" bagi perkembangan Umat Islam.
Demikian komentar balasan dari saya, mohon maaf jika kata-katanya kurang tepat.
Wassallamu'alaikum Wr. Wb.
Artikel yang bagus pak!
Kita kadang heran dengan manusia yang dengan segala keterbatasan akal dan pemahaman ingin mengambil alih hak Allah dalam menilai baik buruknya sesuatu. Padahal mereka tiada lain hanya menuruti perasaan dan hawa nafsu saja.
Tapi kadang lucu juga, sesuatu yg seharusnya dikritisi krn bertentangan dgn syari'at justru dibiarkan dan dianggap biasa sj. Misalnya; berita pernikahan Syekh Puji dengan 'Anak2' kebanyakan masyarakat menganggapnya lebih heboh dari berita penelitian yg mengungkapkan 60 persen mahasiswa di salah satu kota di Indonesia sudah tidak perawan lagi. Bandingkan, berapa durasi yg disediakan oleh TV untuk meliput berita pertama dan pernahkah mereka meliput berita kedua? Begitupun dengan media lainnya.
Trims atas kunjungannya Pak!
Posting Komentar