Jum'at 27 Maret 2009, setelah adzan Subuh, Waduk Situ Gintung (di Tangerang, Banten) yang menampung jutaan kubik air, jebol di salah satu sisinya. Akibatnya, banjir bandang menerjang daerah sekitar waduk. Banyak warga masyarakat yang berhasil selamat dari musibah ini, namun 65 (enam puluh lima) orang lainnya tewas, dan ratusan orang luka-luka. Inilah "Musibah Situ Gintung".
Dalam perspektif keilmuan, ada konsepsi yang disebut: (1) monitoring, (2) controlling, (3) evaluasi, (4) probabilitas, dan (5) prospektif. Nampaknya, dalam kasus Musibah Situ Gintung kelima konsepsi tersebut kurang mendapat perhatian dan penerapan yang memadai dari para pemimpin, atau penanggung-jawab lokasi. Pertama, karena monitoring tidak memadai, maka tak terdeteksi adanya peluang musibah. Kedua, karena controlling tidak memadai, maka tak dapat dilakukan suatu tindak pencegahan terhadap musibah yang berpeluang terjadi. Ketiga, karena evaluasi tidak memadai, maka tak disiapkan respon komprehensif untuk mencegah terjadinya musibah. Keempat, karena kurang difahaminya konsep probabilitas, maka tak ada kemampuan untuk mengenali kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Kelima, karena kurang difahaminya konsep prospektif, maka tak ada kemampuan untuk merancang sebuah kegiatan yang dapat menguatkan konstruksi Waduk Situ Gintung, untuk mencegah terjadinya musibah.
Para pemimpin atau para penanggung-jawab lokasi yang mengabaikan konsepsi keilmuan, dalam perspektif Islam seringkali dikenali sebagai sosok, yang mengubah rahmat menjadi musibah. Bukankah air hujan adalah rahmat dari Allah SWT (lihat QS.22:63), namun di tangan para pemimpin atau penanggung-jawab lokasi yang tidak cerdas (tidak fathonah), tidak dapat dipercaya (tidak amanah), tidak jujur atau tidak obyektif (tidak shiddiq), dan tidak informatif (tidak tabligh), maka rahmat Allah SWT (yaitu air hujan) akan berubah menjadi musibah (yaitu banjir atau banjir bandang).
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan rahmatan lil'alamiin (manfaat optimal bagi alam semesta), sudah selayaknya para pemimipin atau para penanggung-jawab lokasi melakukan introspeksi diri, dan memperbaiki kualitas diri. Sudah saatnya pula para pemimpin atau para penanggung-jawab lokasi berupaya sungguh-sungguh agar memiliki kualitas diri, yang FAST (Fathonah, Amanah, Shiddiq, dan Tabligh). InsyaAllah mendapat ridhaNya.
Dalam perspektif keilmuan, ada konsepsi yang disebut: (1) monitoring, (2) controlling, (3) evaluasi, (4) probabilitas, dan (5) prospektif. Nampaknya, dalam kasus Musibah Situ Gintung kelima konsepsi tersebut kurang mendapat perhatian dan penerapan yang memadai dari para pemimpin, atau penanggung-jawab lokasi. Pertama, karena monitoring tidak memadai, maka tak terdeteksi adanya peluang musibah. Kedua, karena controlling tidak memadai, maka tak dapat dilakukan suatu tindak pencegahan terhadap musibah yang berpeluang terjadi. Ketiga, karena evaluasi tidak memadai, maka tak disiapkan respon komprehensif untuk mencegah terjadinya musibah. Keempat, karena kurang difahaminya konsep probabilitas, maka tak ada kemampuan untuk mengenali kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Kelima, karena kurang difahaminya konsep prospektif, maka tak ada kemampuan untuk merancang sebuah kegiatan yang dapat menguatkan konstruksi Waduk Situ Gintung, untuk mencegah terjadinya musibah.
Para pemimpin atau para penanggung-jawab lokasi yang mengabaikan konsepsi keilmuan, dalam perspektif Islam seringkali dikenali sebagai sosok, yang mengubah rahmat menjadi musibah. Bukankah air hujan adalah rahmat dari Allah SWT (lihat QS.22:63), namun di tangan para pemimpin atau penanggung-jawab lokasi yang tidak cerdas (tidak fathonah), tidak dapat dipercaya (tidak amanah), tidak jujur atau tidak obyektif (tidak shiddiq), dan tidak informatif (tidak tabligh), maka rahmat Allah SWT (yaitu air hujan) akan berubah menjadi musibah (yaitu banjir atau banjir bandang).
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan rahmatan lil'alamiin (manfaat optimal bagi alam semesta), sudah selayaknya para pemimipin atau para penanggung-jawab lokasi melakukan introspeksi diri, dan memperbaiki kualitas diri. Sudah saatnya pula para pemimpin atau para penanggung-jawab lokasi berupaya sungguh-sungguh agar memiliki kualitas diri, yang FAST (Fathonah, Amanah, Shiddiq, dan Tabligh). InsyaAllah mendapat ridhaNya.
3 komentar:
assalamualaikum.
maksaih y pak dah mau jadi temen saya.
yang pasti blog bapak jauh lebih baik dari blog saya,truz up to date gitu..
iya saya juga sempet mikir kenapa bisa musibah itu terjadi?
segala sesuatu memang merupakna sebuah takdir, tapi jika seandainya 5 konsepsi yang bapak sebutkan tadi dilakukan mungkin setidaknya ada upaya antisipasi mencegah resiko buruk yang tidak diharapkan.
posisi rumah penduduk sejajar dengan tanggul juga ada di belanda. harusnya indonesia belajar dari belanda bagaimana mencegah terjadinya hal seperti ini.
انّا لله وانّا اليه راجعون
فالبقاء لله والقضاء بيد الله
غفر الله ذنوبهم و ذنوبنا
وآجرهم فيما أصابهم
الفاتحة....
Untuk musibah Situ Gintung... Untuk mereka yang "memenuhi" panggilan-Nya... Untuk bangsa ini..
Btw, maturnuwun sanget, Pak. Sampun purun dados rencang kulo. Mugi barokah...
iya, benar...
Posting Komentar