Daryanto dalam “Kamus Bahasa Indonesia Lengkap” (1997:568) mengidentikkan takhayul dengan khayal, yaitu: angan-angan atau fantasi yang tidak terbukti secara nyata (lihat juga Daryanto, 1997:364). Sementara itu dalam Bahasa Inggris (lihat Echols, 2000:543), “takhayul” disebut “superstitious” atau “superstition”.
Ketika masyarakat dipandang masih kurang tunduk pada legenda, maka para pendukung takhayul tidak segan-segan mengarahkan agar masyarakat menjadikan fabel atau fable sebagai acuan. Soerjono Soekanto (1993:155) menyatakan, bahwa fabel atau fable adalah cerita-cerita yang menjadikan hewan sebagai tokohnya. Sedangkan lebih lengkapnya Daryanto (1997:199) menjelaskan, bahwa fabel adalah cerita pendek berupa dongeng tentang hewan yang menggambarkan watak manusia.
Takhayul semakin canggih ketika mulai dikembangkan mitos atau myth, yang berupa cerita keramat atau dikeramatkan yang menjamin kepatuhan terhadap suatu kepemimpinan (Soekanto, 1993:283). Bila dalam legenda dan fabel anggota masyarakat yang melanggar norma acuan tidak mendapat ancaman sanksi, maka dalam mitos anggota masyarakat yang melanggar norma acuan mendapat ancaman sanksi berupa kutukan dari alam gaib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar