Beberapa hari setelah Gus Dur (KH. Abdurrahaman Wahid) meninggal dunia muncul eforia kepahlawanan bagi dirinya. Beberapa tokoh nasional menawarkan beberapa sebutan baginya, antara lain: bapak pluralisme, dan ikon pluralisme.
Dalam perspektif kritis Islami, tawaran beberapa tokoh nasional ini merisaukan, sebab pluralisme bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah menetapkan hukum "haram" bagi pluralisme, sekularisme, dan liberalisme.
Banyak tokoh nasional tidak kritis dalam memaknai terminologi (istilah) "pluralisme" atau "pluralism" yang disusupkan ke Indonesia. Mereka gagal mengenali bahaya laten yang disembunyikan dalam pluralisme. Faham ini seringkali disalah-artikan sebagai faham yang toleran terhadap berbagai perbedaan pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain.
Sesungguhnya pluralisme, adalah faham yang berupaya meruntuhkan "truth claim" (klaim kebenaran) yang mendasari suatu agama. Melalui faham ini diupayakan agar manusia menganggap semua agama benar, sehingga tak diketahui lagi bedanya antara benar dengan salah. Target berikutnya dari faham ini adalah melemahkan konsepsi kebenaran Umat Islam atas agamanya (Agama Islam), sehingga Umat Islam tidak lagi sepenuhnya mengakui kebenaran Agama Islam, karena agama lain juga benar.
Kondisi ini tentu menguntungkan Barat (Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan sekutu-sekutunya) yang gemar melakukan kedzaliman di dunia (lihat kasus Palestina, Afghanistan, Iraq, Abu Ghraib, dan Guantanamo), karena satu-satunya komunitas manusia yang terus bersikap kritis terhadap Barat dengan berbasis agama (sehingga tak mudah ditipu dengan permainan media massa), adalah Umat Islam. Apabila keberagamaan Umat Islam menurun atau tersesatkan, maka Baratlah yang paling banyak mengambil keuntungan, karena mereka dapat leluasa berbuat kedzaliman di muka bumi (alam semesta), tanpa khawatir ada pihak yang mengetahui kedzalimannya.
Sesungguhnya, memeluk suatu agama adalah pilihan manusia yang bersifat asasi (sesuai dengan Hak Asasi manusia). Ketika memilih suatu agama tertentu maka manusia yang bersangkutan telah mempertimbangkan tingkat kebenaran, kebaikan, dan keindahan agama tersebut. Oleh karena itu, truth claim suatu agama adalah hal yang wajar dan bersifat asasi (sesuai dengan Hak Asasi Manusia).
Dalam Agama Islam, truth claim tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan pengikutnya. Dengan kata lain, dalam Agama Islam, truth claim tidaklah dilakukan oleh manusia, melainkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT. Tepatnya, Allah SWT-lah yang melakukan truth claim, atau menyatakan kebenaran Agama Islam dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Oleh karena itu, siapapun di dunia ini, tidak boleh memprotes Umat Islam atas truth claim yang dilakukannya, karena Umat Islam hanya menyampaikan dan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT, termasuk truth claim yang dilakukan Allah SWT.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam" (QS.3:19). Pada bagian ayat yang lain dalam Al Qur'an, Allah SWT menerangkan, bahwa Allah SWT menolak siapapun yang memeluk agama selain Islam (lihat QS.3:85). Allah SWT menolak truth claim yang dilakukan penganut agama selain Islam dalam QS.9:30-31, dan Allah SWT memandang orang-orang yang menolak memeluk Islam sebagai orang-orang kafir (lihat QS.5:72). Allah SWT menjelaskan, "Mereka menyembah selain Allah, tanpa keterangan yang diturunkan oleh Allah. Mereka tidak memiliki ilmu, dan tidaklah orang-orang dzalim itu memiliki pembela" (QS.67:71)
Oleh karena itu, Umat Islam menolak pluralisme (faham semua agama benar), namun mengakui dan menghormati adanya pluralitas (keaneka-ragaman agama yang dianut manusia). Bagi Umat Islam, upaya untuk menggalang kerjasama dan mereduksi konflik antar umat beragama, bukanlah dengan menebarkan pluralisme; melainkan dengan menebarkan semangat rahmatan lil'alamiin (memberi manfaat optimal bagi alam semesta).
Penebaran rahmatan lil'alamiin, tidak akan mengorbankan aqidah, ibadah, muamallah, adab dan akhlak; karena rahmatan lil'alamiin adalah buah dari aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak.
Allah SWT berfirman, "Hai manusia! Sesungguhnya Allah menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan, serta Allah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian, adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah" (QS.49:13).
Dengan demikian, bagi Umat Islam, dalam konteks ini, tidak ada kata lain, selain, "Tolak Pluralisme, Tebarkan Rahmatan Lil'alamiin."
Dalam perspektif kritis Islami, tawaran beberapa tokoh nasional ini merisaukan, sebab pluralisme bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah menetapkan hukum "haram" bagi pluralisme, sekularisme, dan liberalisme.
Banyak tokoh nasional tidak kritis dalam memaknai terminologi (istilah) "pluralisme" atau "pluralism" yang disusupkan ke Indonesia. Mereka gagal mengenali bahaya laten yang disembunyikan dalam pluralisme. Faham ini seringkali disalah-artikan sebagai faham yang toleran terhadap berbagai perbedaan pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain.
Sesungguhnya pluralisme, adalah faham yang berupaya meruntuhkan "truth claim" (klaim kebenaran) yang mendasari suatu agama. Melalui faham ini diupayakan agar manusia menganggap semua agama benar, sehingga tak diketahui lagi bedanya antara benar dengan salah. Target berikutnya dari faham ini adalah melemahkan konsepsi kebenaran Umat Islam atas agamanya (Agama Islam), sehingga Umat Islam tidak lagi sepenuhnya mengakui kebenaran Agama Islam, karena agama lain juga benar.
Kondisi ini tentu menguntungkan Barat (Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan sekutu-sekutunya) yang gemar melakukan kedzaliman di dunia (lihat kasus Palestina, Afghanistan, Iraq, Abu Ghraib, dan Guantanamo), karena satu-satunya komunitas manusia yang terus bersikap kritis terhadap Barat dengan berbasis agama (sehingga tak mudah ditipu dengan permainan media massa), adalah Umat Islam. Apabila keberagamaan Umat Islam menurun atau tersesatkan, maka Baratlah yang paling banyak mengambil keuntungan, karena mereka dapat leluasa berbuat kedzaliman di muka bumi (alam semesta), tanpa khawatir ada pihak yang mengetahui kedzalimannya.
Sesungguhnya, memeluk suatu agama adalah pilihan manusia yang bersifat asasi (sesuai dengan Hak Asasi manusia). Ketika memilih suatu agama tertentu maka manusia yang bersangkutan telah mempertimbangkan tingkat kebenaran, kebaikan, dan keindahan agama tersebut. Oleh karena itu, truth claim suatu agama adalah hal yang wajar dan bersifat asasi (sesuai dengan Hak Asasi Manusia).
Dalam Agama Islam, truth claim tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan pengikutnya. Dengan kata lain, dalam Agama Islam, truth claim tidaklah dilakukan oleh manusia, melainkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT. Tepatnya, Allah SWT-lah yang melakukan truth claim, atau menyatakan kebenaran Agama Islam dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Oleh karena itu, siapapun di dunia ini, tidak boleh memprotes Umat Islam atas truth claim yang dilakukannya, karena Umat Islam hanya menyampaikan dan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT, termasuk truth claim yang dilakukan Allah SWT.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam" (QS.3:19). Pada bagian ayat yang lain dalam Al Qur'an, Allah SWT menerangkan, bahwa Allah SWT menolak siapapun yang memeluk agama selain Islam (lihat QS.3:85). Allah SWT menolak truth claim yang dilakukan penganut agama selain Islam dalam QS.9:30-31, dan Allah SWT memandang orang-orang yang menolak memeluk Islam sebagai orang-orang kafir (lihat QS.5:72). Allah SWT menjelaskan, "Mereka menyembah selain Allah, tanpa keterangan yang diturunkan oleh Allah. Mereka tidak memiliki ilmu, dan tidaklah orang-orang dzalim itu memiliki pembela" (QS.67:71)
Oleh karena itu, Umat Islam menolak pluralisme (faham semua agama benar), namun mengakui dan menghormati adanya pluralitas (keaneka-ragaman agama yang dianut manusia). Bagi Umat Islam, upaya untuk menggalang kerjasama dan mereduksi konflik antar umat beragama, bukanlah dengan menebarkan pluralisme; melainkan dengan menebarkan semangat rahmatan lil'alamiin (memberi manfaat optimal bagi alam semesta).
Penebaran rahmatan lil'alamiin, tidak akan mengorbankan aqidah, ibadah, muamallah, adab dan akhlak; karena rahmatan lil'alamiin adalah buah dari aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak.
Allah SWT berfirman, "Hai manusia! Sesungguhnya Allah menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan, serta Allah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian, adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah" (QS.49:13).
Dengan demikian, bagi Umat Islam, dalam konteks ini, tidak ada kata lain, selain, "Tolak Pluralisme, Tebarkan Rahmatan Lil'alamiin."
4 komentar:
Setuju. Tolak pluralisme, tebarkan rahmatan lil 'alamin
missed it here after a long time of absence but now im back so see u around.
konsep multikultural ataupun pluralisme sebenarnya adalah kita menghargai perbedaan, mengenai masalah yang anda angkat Islam kan punya konsep dalam Al Kafirun. Kalau ada yang menggangu Islam, nah itu baru kita lawan. Prinsipnya saya sih Ok ok aja, cuman perlu diingat kita hidup di nerbagi macam budaya, suku bangsa dan agama. Mengenai Gus Dur dan pemikirannya, seperti kata Ahmad Dhani kita kadang-kadang tidak mengerti maksudnya sekarang
Assallamu'alaikum Wr. Wb.
Terimakasih untuk Muchlisin, Imelda, dan Muji Purnomo atas kesediaannya memberi komentar pada artikel ini.
Sesungguhnya nilai-nilai Islam mengajarkan faktualitas. Adalah fakta bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan adat istiadat. Oleh karena itu, Umat Islam wajib menghormati fakta tersebut.
Nilai-nilai Islam juga mengajarkan sensitivitas (kepekaan religius), yaitu kemampuan mengenali upaya pembelokan makna, yang akan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Umat Islam menolak pluralisme dan mengakui pluralitas.
Nilai-nilai Islam pun mengajarkan kemampuan memahami substansi, yang menjadi dasar bagi Umat Islam untuk menilai pemikiran seseorang bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau tidak. Oleh karena itu, Umat Islam mampu memutuskan bahwa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dengan demikian Umat Islam akan terhindar dari tipudaya, termasuk dari mereka yang beralasan "Pemikirannya Belum Dimengerti". Hal ini dikarenakan Umat Islam memiliki rujukan yang jelas, yaitu Al Qur'an dan Al Hadist, serta nasehat mayoritas ulama (misal: Fatwa Majelis Ulama Indonesia).
Apabila Umat Islam berkenan berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku "wara", maka hal itu akan menjadi sarana baginya dalam menggapai ridha Allah SWT. InsyaAllah...
Demikian yang dapat saya sampaikan, mohon maaf bila ada kesalahan. Semoga kita dapat terus bersahabat, meskipun berbeda pendapat.
Wassallamu'alaikum Wr. Wb.
Posting Komentar