Istilah
“mengekalkan diri” bukanlah berarti kekal (abadi) secara fisik, karena setiap
yang bernyawa akan mengalami mati. Dengan demikian yang diharapkan kekal adalah
karyanya, bukan fisiknya. Meskipun secara fisik (biologi) seseorang telah mati,
meninggal, berpulang, atau wafat, tetapi karyanya masih kekal dalam pikiran
atau hati umat manusia.
Namun demikian
setiap manusia hendaknya menyadari, bahwa karya manusia memiliki dua prospek
(kemungkinan), yaitu karya yang baik dan karya yang buruk. Contoh karya yang
buruk, antara lain karya para petinggi Israel yang tak akan pernah
terlupakan di hati Bangsa Palestina, dan manusia pada umumnya.
Kekejian,
kebengisan, dan kekejaman para petinggi Israel merupakan karya terbesar
yang mereka persembahkan bagi umat manusia dan kemanusiaan. Bagi para petinggi Israel,
insyaAllah di akherat, Allah SWT akan memberi hadiah keburukan yang tak pernah
terbayangkan oleh manusia. Inilah keadilan Allah SWT, di mana setiap manusia
mendapat hadiah (hasil) sesuai dengan pemikiran, sikap, tindakan, dan
perilakunya.
Sementara itu,
contoh karya yang baik, antara lain karya para ilmuwan, yang sampai saat ini
masih dapat dinikmati, digunakan, dan dikembangkan oleh umat manusia untuk
merancang dan mewujudkan kebajikan. Sesuai dengan tugas dan fungsi manusia,
maka sesungguhnya setiap manusia diharapkan dapat meninggalkan karya yang baik
bagi manusia dan kemanusiaan.
Oleh karena itu:
Pertama, harta yang dimiliki seorang
manusia hendaknya dikeluarkan (dikontribusikan) untuk mendukung kebajikan. Kedua, ilmu, pengetahuan, dan teknologi
yang dikuasainya hendaklah memiliki nuansa kebajikan, sehingga bermanfaat bagi
manusia dan kemanusiaan. Ketiga,
keturunannya (anak) hendaklah senantiasa mampu berbuat kebajikan, karena ia
telah mendidik mereka dengan baik (sesuai Al Qur’an dan Al Hadist).
Setiap manusia
hendaknya bersungguh-sungguh dalam mengelola harta, ilmu, pengetahuan,
teknologi, dan keturunannya. Kesemua itu harus diarahkan pada kebajikan, agar
bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan.
Harta, ilmu,
pengetahuan, teknologi, dan keturunan seorang manusia hendaknya terus menerus
tampil sebagai kebajikan. Sebaliknya, setiap kejadian yang bernuansa kebajikan
hendaknya dapat memanfaatkan kehadiran harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan
keturunan yang telah ditinggalkan oleh orang tersebut.
Inilah kekekalan
diri seorang manusia, yaitu ketika keberadaan fisik tidak lagi menjadi
persyaratan bagi kehadirannya. Tetapi semua ini berawal pada kemampuan seorang
manusia dalam mendapatkan harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan keturunan
yang baik.
Oleh karena itu:
Pertama, bekerjalah dengan tekun,
dan bersemangat dengan cara yang halal (diperkenan atau dimuliakan Allah SWT)
agar memperoleh harta yang memadai untuk pelaksanaan tugas dan fungsi manusia. Kedua, belajar, berlatih, dan
berikhtiarlah agar memperoleh ilmu, pengetahuan, dan teknologi yang bermanfaat
bagi manusia, karena kental dengan nuansa kebajikan. Ketiga, menikahlah dengan orang yang shaleh atau shalehah agar
memperoleh keturunan yang baik (shaleh dan shalehah), sambil berikhtiar
mendidik keturunannya dengan sebaik-baiknya.
Apabila
seseorang berhasil mengelola harta, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan
keturunannya dengan baik, maka sesungguhnya ia telah berhasil mengekalkan
dirinya. Meskipun ia telah meninggalkan dunia ini, umat manusia akan tetap
mengingatnya sebagai ahli kebajikan. InsyaAllah di akherat, Allah SWT akan
memberinya hadiah kebaikan yang tak pernah terbayangkan oleh manusia.
Selamat
merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan Bangsa Indonesia dan
Bangsa Palestina.
Semoga Allah SWT berkenan meridhai…
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar