BERBAGI NILAI-NILAI ISLAM, SEBAGAI RAHMATAN LIL'ALAMIIN
ABOUT ISLAM
Sabtu, 21 Agustus 2010
BANGSA YANG BERLEBIH - LEBIHAN
Oleh karena geram terhadap tindak korupsi dan terorisme, Bangsa Indonesia berpotensi menjadi bangsa yang berlebih-lebihan. Beberapa media massa telah mengabarkan hal itu, contoh: Pertama, ketika seseorang yang divonis korupsi diberi grasi oleh Presiden Republik Indonesia, maka beberapa pihak menyatakan protes keras. Padahal grasi diberikan dengan alasan kemanusiaan karena yang bersangkutan terserang stroke berat, dan telah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung;
Kedua, beredar wacana di media massa agar mereka yang divonis korupsi tidak perlu diberi remisi (pemotongan masa tahanan). Padahal setiap orang berpotensi taubat dan berpotensi memperbaiki diri, dan ketika yang bersangkutan telah menjadi orang baik, maka ia perlu segera mengabdi pada masyarakat. Bukankah lebih baik mantan penjahat, daripada mantan orang baik;
Ketiga, ketika ada berita penangkapan terduga teroris, maka banyak pihak menghujat yang bersangkutan, dan menghina segala sesuatu yang berkaitan dengan orang tersebut. Padahal yang bersangkutan belum tentu teroris, melainkan barulah diduga sebagai teroris.
Pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku berlebih-lebihan ini menunjukkan, bahwa sebagian Bangsa Indonesia tidak memahami relativitas kebenaran manusia. Sebagian Bangsa Indonesia tidak faham, bahwa sesungguhnya kebenaran manusia bersifat relatif, yaitu berpotensi benar dan juga berpotensi salah. Hanya kebenaran Allah SWT yang bersifat mutlak.
Kebenaran manusia bersifat relatif, karena kebenaran versi manusia tidaklah tunggal. Ada tiga jenis kebenaran versi manusia, yaitu: KebenaranPertama, kebenaran koherensi, adalah faham kebenaran yang menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar bila konsisten atau koheren dengan kebenaran sebelumnya yang telah ada dan telah diakui. Padahal karena rentang historis antara kebenaran saat ini dengan kebenaran sebelumnya terlalu jauh, maka terbuka peluang bagi adanya satu ketidak benaran yang disisipkan pada rentang tersebut. Dengan demikian tidak ada jaminan, bahwa kebenaran koherensi mengandung kebenaran, boleh jadi kebenaran ini justru mengandung ketidak-benaran.
Kebenaran Kedua, kebenaran korespondensi, adalah faham kebenaran yang menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar bila memiliki hubungan atau berkorespondensi dengan fakta. Sebagaimana diketahui fakta yang ditangkap oleh manusia seringkali bukanlah fakta yang sebenarnya, melainkan hanya fakta semu, yaitu bagian dari fakta yang dapat ditangkap indera manusia. Oleh karena itu fakta yang ditangkap manusia berpeluang memiliki kelemahan, antara lain:
Pertama, bersifat ahistori, yang artinya tidak memperhatikan sejarah atau proses. Fakta yang ditangkap manusia sering hanya melihat gejala permukaan saja, dan kurang memperhatikan behind the fact (di balik fakta);
Kedua, terjebak kerangka (frame) pandang. Sebagai contoh: gambar pondok bambu dalam kerangka pandang terbatas akan dimaknai sebagai, “kesederhanaan dan kedamaian yang indah.” Namun makna akan berubah ketika frame pandang diperluas. Nampak di belakang, kiri, dan kanan pondok bambu itu terdapat berbagai rumah mewah. Hal ini akan dimaknai sebagai, “kesenjangan sosial yang tajam dan membahayakan.” Sehingga terbukti adanya inkonsistensi fakta;
Ketiga, terjebak waktu. Sebagai contoh: tahun 1970-an celana jeans yang paling mahal adalah yang berwarna biru tua. Kemudian tahun 1980-an celana jeans yang paling mahal adalah yang berwarna biru belel (seperti telah berkali-kali dicuci). Selanjutnya tahun 1990-an celana jeans yang paling mahal adalah yang sobek (robek/koyak) di bagian lutut. Sehingga kembali terbukti adanya inkonsistensi fakta;
Keempat, terjebak ruang. Sebagai contoh: kebenaran di suatu wilayah, tidak dianggap sebagai kebenaran di wilayah lain. Sehingga sekali lagi terbukti adanya inkonsistensi fakta;
Kelima, terjebak pembanding. Sebagai contoh: pada suatu kondisi terlihat adanya empat kubus yaitu A (dengan volume 8 meter kubik), B (dengan volume 27 meter kubik), C (dengan volume 64 meter kubik), dan D (dengan volume 125 meter kubik). Maka timbul fakta, “kubus D adalah kubus terbesar”. Namun ketika pada deretan empat kubus tersebut diletakkan kubus E (dengan volume 216 meter kubik), maka fakta berubah “kubus D bukanlah kubus terbesar.” Sehingga untuk kesekian kalinya, terbukti adanya inkonsistensi fakta.
Dengan demikian tidak ada jaminan, bahwa kebenaran korespondensi mengandung kebenaran, boleh jadi kebenaran ini justru mengandung ketidak-benaran.
Kebenaran Ketiga, kebenaran pragmatis, adalah faham kebenaran yang menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar bila memiliki kegunaan atau manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Perlu diperhatikan, bahwa sesuatu dinyatakan “bermanfaat” berdasarkan rumusan yang dibuat oleh manusia, dengan menggunakan perspektif dan pengetahuan manusia yang terbatas. Hal ini memberi peluang bagi adanya pandangan berbeda pada manusia yang lain. Berdasarkan aspek pengetahuan, hal ini juga memberi peluang bagi munculnya kenyataan bahwa manfaat yang dimaksud tidaklah tepat, karena terbatasnya pengetahuan manusia. Dengan demikian tidak ada jaminan, bahwa kebenaran pragmatis mengandung kebenaran, boleh jadi kebenaran ini justru mengandung ketidak-benaran.
Pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku berlebih-lebihan ini menunjukkan, bahwa sebagian Bangsa Indonesia sedang sakit. Tepatnya, sebagian bangsa ini sedang menderita histeria sindrom, yaitu rasa takut yang berlebih-lebihan sehingga mendorongnya berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku berlebih-lebihan.
Para penderita histeria sindrom telah berada pada posisi mempertuhankan manusia. Mereka beranggapan bahwa keputusan hakim pasti benar, sehingga mereka yang telah divonis pasti salah. Padahal tidak sedikit bukti yang menunjukkan kesalahan vonis, di mana orang yang tidak melakukan kejahatan yang dituduhkan, ternyata telah divonis bersalah.
Sesungguhnya rasa takut merupakan sesuatu yang penting dan perlu dimiliki oleh setiap bangsa. Berbekal rasa takut, suatu bangsa dapat belajar tentang hal-hal yang mengancam eksistensinya. Dengan kata lain rasa takut yang berada dalam kadar normal, akan menjadikan bangsa yang bersangkutan “sehat” dan mampu mengantisipasi dinamika kehidupan.
Oleh karena itu Allah s.w.t. mengingatkan, bahwa kebenaran itu dari Allah SWT (lihat QS.2:147 dan QS.18:29). Kalau kebenaran itu berdasarkan kebenaran manusia, maka terjadilah kekacauan di alam semesta (lihat QS.23:71). Oleh karena itu bila kebenaran telah datang, maka ketidak-benaran akan sirna (lihat QS.34:49). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Muhammad s.a.w. diutus oleh Allah s.w.t. untuk menyampaikan kebenaran (lihat QS.35:24). Namun demikian ada manusia yang mendustakan kebenaran Allah s.w.t. yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad s.a.w. (lihat QS.50:5).
George Ritzer dan Douglas J. Goodman dalam "Modern Sociological Theory" (2003) menjelaskan, bahwa ada kecenderungan masyarakat dunia untuk menganggap sosiologi sebagai fenomena Barat. Padahal sesungguhnya Abdulrahman Ibnu Khaldun (1332-1400) telah sejak lama mengajarkan ilmu tentang masyarakat kepada para mahasiswa atau santrinya di Universitas Al Azhar, Mesir, yang merupakan universitas tertua di dunia. Barulah kemudian pada tahun 1842 Auguste Comte (1798-1857) memberi nama bagi ilmu tentang masyarakat ini dengan sebutan "sosiologi". Pendapat yang senada sebelumnya telah disampaikan oleh Bjorn Eriksson (1993), bahkan dengan tegas Bjorn Eriksson menolak sebutan "Bapak Sosiologi" bagi Auguste Comte. Bagi seorang muslim sebenarnya tidaklah terlalu penting tentang sebutan "Bapak Sosiologi". Seorang muslim lebih mementingkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memperkenankan hadirnya seorang muslim bernama Abdulrahman Ibnu Khaldun, yang memiliki keahlian dalam sosiologi. Dengan demikian setiap muslim perlu memanfaatkan sosiologi dalam menebar nilai-nilai Islam di seluruh dunia, agar setiap manusia berkesempatan menyerap "cahaya" Islam. Agar dunia berkesempatan membangun peradaban Islam, yang memanusiakan manusia.
Saya adalah dosen pada STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) yang beralamat di Jalan Tata Bumi Nomor 5 Yogyakarta. Saya juga mengajar (Sosiologi Dakwah) di Pesantren Mahasiswa Takwinul Muballighin, yang beralamat di Desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. Saya juga pernah menjadi anggota Tim Ahli Pertanahan dan Pemetaan Kota, Dinas Pertanahan dan Pemetaan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005.
Berdasarkan kompetensi saya, saya berupaya mengembangkan Sosiologi Pertanahan di STPN, dan mengembangkan Sosiologi Dakwah di Pesantren Mahasiswa Takwinul Muballighin.
Saya memiliki seorang istri bernama Rahimah Ipa Lubis yang selalu mendukung kegiatan saya. Saya juga memiliki ayah, Untung Suharjo (almarhum), dan ibu (Sukartini). Selain itu, saya memiliki ayah mertua, Kasim Manan Lubis (almarhum), dan ibu mertua (Nurjani).
Allah SWT telah berpesan dalam QS.4:34, "Arrijaalu qawwaamuunaa 'alan nisaa-i" (laki-laki adalah pemimpin bagi wanita). Pesan ini tidak mengindikasikan diktatoriat seorang laki-laki, melainkan memerintahkan pelaksanaan sebuah tanggung jawab kepada laki-laki. Seorang laki-laki bertanggung- jawab atas semua yang berada dalam tanggungjawabnya. Bila ia sudah menikah, maka ia bertanggungjawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena itu, bila ada seorang istri yang ke luar rumah untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga, maka perlu dipertanyakan, "Sejauhmana ikhtiar suaminya, dalam memenuhi kebutuhan keluarga?" Demikian pula bila seorang anak ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka perlu dipertanyakan, "Sejauhmana ikhtiar ayahnya, dalam memenuhi kebutuhan keluarga?" Bila jawabannya adalah, "Ikhtiar suami/ayah belum maksimal!" , maka sesungguhnya laki-laki itu (suami/ayah itu) tergolong lak-laki yang dzalim. Ia telah melanggar QS.4:34, ia telah melalaikan tanggungjawabnya. Ia telah menyebabkan terjadinya eksploitasi istri/anak dalam keluarganya. Dengan demikian ia telah merusak tatanan masyarakat, karena gagal menata dan mengelola keluarganya, yang merupakan bagian dari masyarakat.
ABOUT VIETNAM WAR
NIKMATNYA BERISLAM
Allah SWT telah berfirman, bahwa Ia telah menyempurnakan nikmatNya bagi manusia, melalui ridhanya terhadap Agama Islam (lihat QS.5:3). Oleh karena itu umat manusia perlu bersyukur kepada Allah SWT, dengan cara mempelajari, dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, sebagai nilai-nilai utama (ultimate values). Selain itu, dalam rangka melestarikan nilai-nilai Islam, perlu disiapkan sebagian anggota masyarakat untuk mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh (lihat QS.9:122). Dengan demikian umat manusia mendapat kesempatan untuk menghadapkan diri dengan lurus (sebenar-benarnya) kepada Allah SWT (lihat QS.30:30). Hal ini penting karena contains Agama Islam, yang sesuai dengan fitrah (kondisi asasi) manusia. Hal ini terbukti dari substansi aqidahnya yang valid dan reliable, sebagaimana dimuat dalam QS.112:1-4). Aqidah tersebut berisikan komitmen manusia, bahwa: (1) Allah itu Maha Esa; (2) hanya kepada Allah, manusia mengharapkan dan meminta sesuatu; (3) Allah tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan; serta (4) tak ada sesuatupun yang setara denganNya.
1 komentar:
kalo salah cepat dihukum, kalo berbuat baik tidak cepat dikasih hadiah, itu berlebihan.
Posting Komentar