BERBAGI NILAI-NILAI ISLAM, SEBAGAI RAHMATAN LIL'ALAMIIN
ABOUT ISLAM
Sabtu, 28 Agustus 2010
BERJUANG TERUS FPI
Berdasarkan informasi dari Tempo Interaktif tanggal 28 Agustus 2010 (www.tempointeraktif.com) diketahui, bahwa AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menyesalkan vonis kasasi Mahkamah Agung yang mempidana Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnanda, dengan vonis penjara selama dua tahun.
Sementara itu, dalam wawancara dengan Viva News (http://nasional.vivanews.com), Munarman dari FPI (Front Pembela Islam) menyatakan, bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung atas Erwin Arnanda telah dijatuhkan pada Juli 2009, namun sampai ia diwawancarai oleh Viva News (Agustus 2010) ternyata Erwin belum ditangkap.
Kasus ini diawali pada empat tahun yang lalu, ketika FPI melaporkan Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnanda, ke Polisi karena menyebarkan gambar-gambar yang melanggar kesopanan dan kesusilaan melalui Majalah Playboy Indonesia. Setelah melalui berbagai persidangan mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, barulah pada Juli 2009 Mahkamah Agung memvonis Erwin Arnanda selaku Pemimpin Redaksi Majalah Playboy dengan vonis dua tahun penjara.
Menurut AJI vonis terhadap Erwin Arnanda tidak tepat, karena yang digunakan sebagai dasar adalah Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kesopanan dan Kesusilaan, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (lihat Tempo Interaktif 28 Agustus 2010).
Sementara itu, menurut Hakim Agung, Mansur Kartayasa, Undang-Undang Pers hanya mengatur tentang pemberitaan peristiwa dan opini, tetapi tidak mengatur delik penyebaran gambar yang melanggar norma kesusilaan. Menurut Mansur Kartayasa, makasebagai Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia yang merencanakan isi majalah, memilih artikel, dan foto yang dimuat, Erwin Arnanda harus bertanggungjawab atas foto dan artikel yang dinilai Majelis Kasasi Mahkamah Agung melanggar kesopanan dan kesusilaan (lihat Tempo Interaktif 28 Agustus 2010).
Oleh karena itu, FPI perlu terus menerus berjuang dalam rangka membela nilai-nilai Islam, antara lain dengan cara mengingatkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia agar berkenan melaksankan keputusan Mahkamah Agung terhadap Erwin Arnanda. Lebih dari itu, FPI juga perlu terus menerus mengembangkan divisi hukumnya, agar pembelaan terhadap nilai-nilai Islam dapat dilakukan dalam jalur Hukum Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Umat Islam tentu berterimakasih pada FPI yang berjuang menentang pornografi di Indonesia, terutama yang mengarah pada industri pornografi. Umat Islam faham bahwa pornografi dan pornoaksi bukanlah karya seni, karena seni dan budaya selalu berupaya menampilkan keindahan, kesopanan, dan kesusilaan. Seni bukanlah alat menampilkan libido atau hasrat seksual manusia, seni ditampilkan sebagai kreativitas dalam koridor keindahan, kesopanan, dan kesusilaan.
Sesungguhnya suatu tindakan dikatakan kreatif, bila memiliki koridor yang pasti. Oleh karena itu ketika diterapkan adanya koridor keindahan, kesopanan, dan kesusilaan dalam menangkal pornografi dan pornoaksi, maka sebenarnya para seniman dan budayawan sedang didorong untuk berkreasi.
Allah s.w.t. mencontohkan dalam bahasa yang indah (tidak seronok atau tidak vulgar) ketika menggambarkan hubungan suami istri, sebagai berikut: “Istri-istrimu adalah seperti ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu sebagaimana kamu kehendaki, dan berbuat baiklah. Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan menghadapNya (Allah). Serta sampaikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman” (QS.2:223).
Umat Islam menolak mitologi Prometheus, yakni seorang pahlawan manusia yang memberontak kekuasaan langit. Umat Islam lebih memilih untuk menjadi khalifatullah fil ardl (wakil Allah s.w.t. di bumi) atau imago dei (jembatan antara Tuhan dan bumi). Oleh karena pandangan hidup distinktif (ada “jarak” antara Allah s.w.t. sebagai Tuhan dengan manusia sebagai hamba Tuhan) itulah, karya seni yang dihasilkan sejak zaman Hamzah Fanshuri hingga saat ini, menjadi artikulasi dari sistem nilai tersebut, yang telah tertanam dalam psikologi dan epistemologi Umat Islam.
Para seniman besar Indonesia selama perkembangan sejarahnya juga telah bersikap sebagai juru bicara sistem nilai distinktif, sehingga dapat memberikan pemaknaan-pemaknaan proporsional tentang kebenaran, di mana kebenaran Allah s.w.t. bersifat mutlak, sedangkan kebenaran manusia bersifat relatif. Oleh karena itu, sudah sepatutnya manusia Indonesia menjadi diri sendiri, dan tidak hanyut dalam arus deras hedonisme.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman dalam "Modern Sociological Theory" (2003) menjelaskan, bahwa ada kecenderungan masyarakat dunia untuk menganggap sosiologi sebagai fenomena Barat. Padahal sesungguhnya Abdulrahman Ibnu Khaldun (1332-1400) telah sejak lama mengajarkan ilmu tentang masyarakat kepada para mahasiswa atau santrinya di Universitas Al Azhar, Mesir, yang merupakan universitas tertua di dunia. Barulah kemudian pada tahun 1842 Auguste Comte (1798-1857) memberi nama bagi ilmu tentang masyarakat ini dengan sebutan "sosiologi". Pendapat yang senada sebelumnya telah disampaikan oleh Bjorn Eriksson (1993), bahkan dengan tegas Bjorn Eriksson menolak sebutan "Bapak Sosiologi" bagi Auguste Comte. Bagi seorang muslim sebenarnya tidaklah terlalu penting tentang sebutan "Bapak Sosiologi". Seorang muslim lebih mementingkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memperkenankan hadirnya seorang muslim bernama Abdulrahman Ibnu Khaldun, yang memiliki keahlian dalam sosiologi. Dengan demikian setiap muslim perlu memanfaatkan sosiologi dalam menebar nilai-nilai Islam di seluruh dunia, agar setiap manusia berkesempatan menyerap "cahaya" Islam. Agar dunia berkesempatan membangun peradaban Islam, yang memanusiakan manusia.
Saya adalah dosen pada STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) yang beralamat di Jalan Tata Bumi Nomor 5 Yogyakarta. Saya juga mengajar (Sosiologi Dakwah) di Pesantren Mahasiswa Takwinul Muballighin, yang beralamat di Desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. Saya juga pernah menjadi anggota Tim Ahli Pertanahan dan Pemetaan Kota, Dinas Pertanahan dan Pemetaan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005.
Berdasarkan kompetensi saya, saya berupaya mengembangkan Sosiologi Pertanahan di STPN, dan mengembangkan Sosiologi Dakwah di Pesantren Mahasiswa Takwinul Muballighin.
Saya memiliki seorang istri bernama Rahimah Ipa Lubis yang selalu mendukung kegiatan saya. Saya juga memiliki ayah, Untung Suharjo (almarhum), dan ibu (Sukartini). Selain itu, saya memiliki ayah mertua, Kasim Manan Lubis (almarhum), dan ibu mertua (Nurjani).
Allah SWT telah berpesan dalam QS.4:34, "Arrijaalu qawwaamuunaa 'alan nisaa-i" (laki-laki adalah pemimpin bagi wanita). Pesan ini tidak mengindikasikan diktatoriat seorang laki-laki, melainkan memerintahkan pelaksanaan sebuah tanggung jawab kepada laki-laki. Seorang laki-laki bertanggung- jawab atas semua yang berada dalam tanggungjawabnya. Bila ia sudah menikah, maka ia bertanggungjawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena itu, bila ada seorang istri yang ke luar rumah untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga, maka perlu dipertanyakan, "Sejauhmana ikhtiar suaminya, dalam memenuhi kebutuhan keluarga?" Demikian pula bila seorang anak ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka perlu dipertanyakan, "Sejauhmana ikhtiar ayahnya, dalam memenuhi kebutuhan keluarga?" Bila jawabannya adalah, "Ikhtiar suami/ayah belum maksimal!" , maka sesungguhnya laki-laki itu (suami/ayah itu) tergolong lak-laki yang dzalim. Ia telah melanggar QS.4:34, ia telah melalaikan tanggungjawabnya. Ia telah menyebabkan terjadinya eksploitasi istri/anak dalam keluarganya. Dengan demikian ia telah merusak tatanan masyarakat, karena gagal menata dan mengelola keluarganya, yang merupakan bagian dari masyarakat.
ABOUT VIETNAM WAR
NIKMATNYA BERISLAM
Allah SWT telah berfirman, bahwa Ia telah menyempurnakan nikmatNya bagi manusia, melalui ridhanya terhadap Agama Islam (lihat QS.5:3). Oleh karena itu umat manusia perlu bersyukur kepada Allah SWT, dengan cara mempelajari, dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, sebagai nilai-nilai utama (ultimate values). Selain itu, dalam rangka melestarikan nilai-nilai Islam, perlu disiapkan sebagian anggota masyarakat untuk mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh (lihat QS.9:122). Dengan demikian umat manusia mendapat kesempatan untuk menghadapkan diri dengan lurus (sebenar-benarnya) kepada Allah SWT (lihat QS.30:30). Hal ini penting karena contains Agama Islam, yang sesuai dengan fitrah (kondisi asasi) manusia. Hal ini terbukti dari substansi aqidahnya yang valid dan reliable, sebagaimana dimuat dalam QS.112:1-4). Aqidah tersebut berisikan komitmen manusia, bahwa: (1) Allah itu Maha Esa; (2) hanya kepada Allah, manusia mengharapkan dan meminta sesuatu; (3) Allah tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan; serta (4) tak ada sesuatupun yang setara denganNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar