ABOUT ISLAM

Kamis, 16 September 2010

MEMAHAMI KASUS HKBP BEKASI

“Tidak ada asap, kalau tidak ada api”, begitulah kata pepatah. Hal inilah yang hendaknya disadari ketika memahami “Kasus HKBP Bekasi”.

Seperti diketahui, Minggu tanggal 12 September 2010 sekitar pukul 09.05 WIB, Hasian Lumbantoruan Sihombing, anggota majelis HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi ditusuk oleh orang tidak dikenal. Peristiwa tersebut terjadi di sekitar daerah Ciketing, Mustika Jaya, Bekasi. Pelaku berboncengan mengendarai sepeda motor lalu menusukkan senjata tajam ke tubuh Hasian Lumbantoruan Sihombing. Akibatnya, Hasian Lumbantoruan Sihombing harus dirawat di Rumah Sakit Mitra Bekasi.

Sesungguhnya peristiwa buruk di Hari Minggu tersebut dapat dicegah, bila Jemaat HKBP berkenan mengikuti imbauan Kapolres Bekasi. Sebagaimana diketahui Kapolres Bekasi telah mengirimkan surat imbauan kepada jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Mustikajaya, Bekasi, untuk tidak beribadah di lokasi sengketa antara Jemaat HKBP dengan warga setempat.

Surat Kapolres Bekasi dikirimkan sekitar tiga hari sebelum Idul Fitri 2010. Surat ini bukan tanpa alasan, melainkan karena diketahui adanya potensi gangguan keamanan. Potensi ini muncul disebabkan adanya penolakan dari warga sekitar terhadap penggunaan tanah di lokasi tersebut sebagai lokasi peribadatan HKBP.

Oleh karena itu Mabes Polri membantah pernyataan beberapa pihak yang menyebutkan bahwa jajaran Polri lalai melindungi Jemaat HKBP Bekasi. Polri mengaku telah menyiapkan sejumlah petugas untuk mengawal jemaat saat kebaktian. Setiap kebaktian Jemaat HKBP di lokasi ini, Polres Bekasi selalu memberikan pengawalan. Tindakan ini dilakukan, karena Polisi mengetahui potensi kerawanan.

Pepatah “Tidak ada asap, kalau tidak ada api” ternyata masih relevan, bila dilakukan penelusuran terhadap penyebab awal ketegangan antara jemaat HKBP Pondok Timur Indah, Ciketing, Bekasi dengan warga setempat.


Sebagaimana diketahui warga setempat berkeberatan di lokasi tersebut didirikan Gereja HKBP, karena wilayah tersebut dihuni warga yang sebagian besar beragama Islam. Hal ini relevan dengan pernyataan kuasa hukum salah satu Jemaat HKBP, Saor Siagian, dalam perbincangan dengan Viva News, setelah terjadi peristiwa penusukan terhadap Hasian Lumbantoruan Sihombing. Saor Siagian menyatakan, "Memang ijin penggunaan tanah di Ceketing untuk dijadikan tempat ibadah bagi jemaat HKBP masih dalam proses."


Oleh karena warga setempat menentang pendirian Gereja HKBP di lokasi tersebut, maka sudah empat kali rencana pembangunan Gereja HKBP gagal. Pernah sebelumnya di lokasi tersebut didirikan bangunan untuk beribadah oleh Jemaat HKBP, namun dirobohkan oleh warga setempat. Namun Jemaat HKBP tetap bertahan dengan beribadah di tanah kosong tersebut.


Lokasi sengketa antara Jemaat HKBP dengan warga setempat berkaitan dengan penggunaan tanah kosong seluas 2.000 meter persegi untuk tempat beribadah Jemaat HKBP. Tanah ini diapit oleh rumah warga di kiri dan kanan. Di sebelah kanan lahan terdapat rumah sederhana yang dilengkapi mushala kecil. Adapun di sebelah kiri berdiri dua rumah sederhana. Sekitar 400 meter dari tanah tersebut atau di Jalan Asem Raya terdapat Masjid Jamie Al Mughniyah yang sehari-hari digunakan warga setempat untuk beribadah.

Sesungguhnya peristiwa itu berawal saat pemerintah Kota Bekasi menyegel Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI) yang beralamat di Jalan Puyu Raya No 14 RW 15, Perumahan PTI, Kelurahan/ Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi pada 21 Juni 2010. Pemerintah setempat melalui Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) Kota Bekasi menyegel rumah yang dijadikan gereja oleh sekitar 300 orang. Penyegelan itu dilakukan karena keberadaan gereja menyalahi peruntukan bangunan.

Sekitar bulan Juli 2010, Jemaat HKBP mencari lokasi baru untuk melakukan peribadahan, yakni sebidang tanah seluas 2.000 meter persegi di Kampung Ciketing Asem, RT.03/RW.03, Mustika Jaya, Bekasi. Tetapi warga setempat berkeberatan atas penggunaan tanah tersebut sebagai tempat ibadah Jemaat HKBP.

Demikianlah konflik yang terjadi antara warga sekitar dengan Jemaat HKBP Mustika Jaya, Bekasi. Kondisi ini mendorong penelusuran terhadap peraturan pendirian tempat ibadah.

Sesungguhnya peraturan dibuat untuk mengkondisikan semua berjalan pada relnya masing-masing, atau agar semua pihak dan semua kepentingan dapat diperlakukan dengan adil, yaitu proporsional dan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, semua pihak hendaknya dengan senang hati menjalani peraturan tersebut.

Dalam ”Kasus HKBP Bekasi” ternyata diketahui bahwa pihak Jemaat HKBP Bekasi kurang memperhatikan peraturan tentang pendirian tempat ibadah. Akibatnya warga setempat resah, karena Jemaat HKBP menggunakan rumah tinggal di Jalan Puyu Raya No 14 RW 15, Perumahan PTI, Kelurahan/ Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi untuk Gereja HKBP. Kondisi inilah yang kemudian mengundang Pemkot Bekasi untuk melakukan penyegelan, karena penggunaan bangunan tidak sesuai dengan peraturan yang ada tentang peruntukkan bangunan.

Selanjutnya Jemaat HKBP ingin terus melakukan kegiatan keagamaannya di wilayah tersebut, meskipun menggunakan tanah kosong di di Kampung Ciketing Asem, RT.03/RW.03, Mustika Jaya, Bekasi. Akibatnya, hal ini kembali memicu warga setempat untuk memprotes penggunaan tanah tersebut sebagai tempat ibadah Jemaat HKBP.

Tidak salah memang menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing karena itu telah diatur Undang-Undang Dasar. Namun dalam menjalankan hak ini hendaklah tidak sampai melangkahi peraturan yang lainnya tentang syarat berdirinya tempat ibadah.

Pelanggaran terhadap peraturan pendirian tempat ibadah merupakan upaya menikmati hak dengan mengganggu hak orang lain, dan merusak tatanan harmoni yang sedang diperjuangkan. Alangkah bijaksananya (tidak memicu konflik), bila sementara ijin pendirian rumah ibadah belum turun, Jemaat HKBP Mustika Jaya, Bekasi bergabung dengan jemaat gereja di tempat yang lain untuk beribadah.

Jika peraturan tentang pendirian tempat ibadah diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka tidak akan ada pihak yang akan merasa terganggu. Hal ini dibuktikan dengan adanya ribuan gereja di Indonesia, yang berdiri dengan aman dan dapat melakukan aktivitas sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, patut diduga trend informasi saat ini memperlihatkan adanya sebuah gerakan sistematis, yang berupaya membangun opini menyesatkan dengan menyatakan, bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan beragama. Opini sesat ini kemudian disertai dengan pernyataan bahwa pluralisme di Indonesia terancam.

Kenyataannya tidaklah seperti itu, menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar pertumbuhan tempat ibadah yang terjadi sejak 1977 hingga 2004 justru meningkat. Pertumbuhan rumah ibadah Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam, pada periode itu meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (lihat Republika, 18 Februari 2006)

Laporan Majalah Time juga berbicara hal senada, dalam tulisan yang berjudul ”Christianity’s Surge in Indonesia” (http://www.time.com). Majalah ini menunjukkan adanya gelora peribadahan pemeluk Kristen di Indonesia. Dalam laporan yang ditulis Hannach Beech (26 April 2010) itu gelora pertumbuhan kristen di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ledakan penganut kristen di Asia. Jumlah umat Kristen Asia meledak menjadi 351 juta pengikut pada tahun 2005, naik dari 101 juta di tahun 1970 (merujuk kepada the Pew Forum on Religion and Public Life yang berbasis Washington, D.C.)

Oleh karena itu, sangat keliru ketika ada pihak tertentu yang menyimpulkan, bahwa “Kasus HKBP Bekasi” menunjukkan tidak adanya kebebasan beragama. Sesungguhnya “Kasus HKBP Bekasi” berawal dari adanya upaya membangun gereja dengan cara melanggar peraturan, khususnya peraturan pendirian tempat ibadah. Misalnya, membangun gereja di tempat pemukiman yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Fakta-fakta seperti ini sering tidak diungkap sehingga memperkuat pemahaman, bahwa memang ada upaya beberapa pihak untuk membangun opini bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan beragama. Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme, yang telah difatwakan sebagai sesuatu yang haram oleh Majelis Ulama Indonesia.

Alasan melindungi pluralisme inilah yang digunakan untuk membenarkan kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari Islam. Penyesatan kemudian berlanjut, dengan menyatakan beberapa organisasi massa Islam sebagai orgainsasi radikal, dan karenanya dituntut untuk dibubarkan. Alasan menjaga pluralisme juga digunakan untuk membenarkan pembangunan tempat ibadah tanpa izin, yang berpotensi menimbulkan konflik dengan warga sekitar. Pluralisme juga digunakan oleh pihak tertentu untuk membenarkan kegiatan pemurtadan, sehingga menimbulkan resistensi Umat Islam.

Opini sesat, bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan beragama, kemudian oleh pihak tertentu ditambah lagi dengan opini “minoritas ditindas mayoritas”. Padahal dalam perspektif kolektif terlihat kondisi sebaliknya, di mana pihak mayoritas justru menjadi korban marginalisasi oleh pihak minoritas. Oleh karena itu, yang terjadi bukanlah “diktator mayoritas”, melainkan “tirani minoritas”.

Oleh karena itu, harmoni sosial dapat terwujud, jika segenap pihak bersedia mengikuti peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006, yang merupakan hasil kompromi majelis-majelis agama yang ada di Indonesia. Peraturan Bersama ini pada Bab IV khusus mengatur tentang ”Pendirian Rumah Ibadat”, dan dimuat dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 17.

Peraturan Bersama ini mengatur, bahwa pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata, dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus, yang meliputi: (1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang, yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah (desa, kecamatan, atau Kabupaten/Kota); (2) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; (3) Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; (4) Rekomendasi tertulis FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) kabupaten/kota.

Rekomendasi FKUB merupakan hasil musyarawah dan mufakat dalam rapat FKUB, yang dituangkan dalam bentuk tertulis.


Permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) rumah ibadah. Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah. Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadah yang telah memiliki IMB, yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.


Peraturan Bersama ini berlaku bagi semua penganut agama di Indonesia. Oleh karena itu, ketika Umat Islam membangun masjid mereka juga tunduk pada Peraturan Bersama ini. Demikian pula penganut agama lain, seperti: Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Dengan demikian, seharusnya Jemaat HKBP juga tunduk pada Peraturan Bersama.


Kondisi ini membuktikan, bahwa tidaklah benar jika ada pihak tertentu yang menyatakan bahwa Peraturan Bersama ini diskriminatif (tidak adil). Sesungguhnya Peraturan Bersama ini telah memuat rasa keadilan, yang tidak adil adalah pihak-pihak yang tidak bersedia tunduk pada peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu, tidaklah logis, jika ada pihak yang menuntut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 dicabut.


Analoginya, sebagai berikut: ”Saat ini ada peraturan tentang lalu lintas, tetapi tetap ada kecelakaan. Apakah kemudian peraturan tentang lalu lintasnya yang dicabut, atau pengendaranya yang didorong untuk mematuhi peraturan tentang lalu lintas? Akal sehat tentu menyatakan, sebaiknya para pengendara didorong untuk mematuhi peraturan tentang lalu lintas, untuk menekan angka kecelakaan di jalan raya.”


Demikian pula halnya dengan pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Para penganut agama harus didorong agar mematuhi Peraturan Bersama ini.


Kalau ingin adil, Polri hendaknya melakukan dua pengusutan sekaligus, yaitu:

Pertama, usut tuntas pelaku tindak kriminal penusukan dan aktor intelektualnya, serta bawa mereka ke muka Pengadilan.

Kedua, usut tuntas pelaku tindak pelanggaran Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang memicu konflik dan keresahan serta aktor intelektualnya, kemudian bawa mereka ke muka Pengadilan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Makasih sudah ngunjungi blog saya, ya, Pak. Islam memang seperti tak putus dirundung cobaan, ini karena umatnya kurang memahami ajarannya yang mulia, sehingga dengan dalih demi membela Islam, mereka berprilaku yang tidak pas dengan ajaran Islam. Sudah sepatutnya para Islam radikal itu membaca lagi Al Qur'an dan hadist, agar mereka tidak justru malah mempermalukan Islam. Nice blog, Pak. Salam, maman rohman http://sangpemburuberita.blogspot.com, http://myintermezo.blogspot.com, http://my-greatest-world.blogspot.com