BERBAGI NILAI-NILAI ISLAM, SEBAGAI RAHMATAN LIL'ALAMIIN
ABOUT ISLAM
Sabtu, 25 September 2010
PANCASILA SEBAGAI INSTRUMEN DERADIKALISASI
Setiap muslim di Indonesia faham, bahwa Pancasila adalah dasar negara. Substansi Pancasila yang dimuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 (Undang-Undang Dasar Tahun 1945) memberi dasar konstitusional, agar segenap undang-undang yang berlaku di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) mengandung muatan yang secara substantif sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Setiap muslim di Indonesia faham, bahwa perumusan Pancasila dalam UUD 1945 mendapat kontribusi dari ulama-ulama Indonesia ternama di era 1945. Para ulama Indonesia saat itu menggunakan Al Qur’an dan Al Hadist sebagai acuan dalam memberi kontribusi terbaiknya bagi NKRI. Oleh karena Al Qur’an dan Al Hadist merupakan tata nilai yang berlaku sepanjang masa, maka tentulah Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri NKRI (termasuk para ulama) dimaksudkan agar nilai-nilainya sesuai bagi Bangsa Indonesia pada sepanjang masa.
Oleh karena itu, ketika radikalisasi nampak semakin marak di NKRI dengan maraknya tindak terorisme, maka Pancasila hendaknya digunakan oleh segenap komponen bangsa (pemerintah dan masyarakat) sebagai instrumen deradikalisasi. Pancasila tepat sebagai instrumen deradikalisasi, karena secara ilmiah (filsafat, sosiologi, psikologi, dan psiko-sosial) nilai-nilai Pancasila dapat membentuk mindset Pancasila, yang menolak radikalisasi.
Seorang muslim yang memiliki mindset Pancasila cenderung menolak radikalisasi dalam ranah aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak. Mindset Pancasila mendorong seseorang mengerti, bahwa konsepsi ketuhanan yang dimilikinya boleh jadi berbeda dengan konsepsi ketuhanan orang lain. Perbedaan ini tidak akan menimbulkan konflik, karena tidak ada paksaan dalam konsepsi ketuhanan. Seorang muslim yang memiliki mindset Pancasila mengerti, bahwa perbedaan konsepsi ketuhanan yang ada ternyata memiliki persamaan dalam hal tujuan berketuhanan, yaitu berbakti kepada Tuhan, dan berbuat kebajikan kepada sesama manusia dan lingkungan secara umum (abiotik, biotik, dan cultural).
Berdasarkan pentingnya mindset Pancasila, maka segenap komponen bangsa hendaknya bergandengan tangan dalam melakukan deradikalisasi, yang mewujud dalam bentuk gerakan nasional anti terorisme. Caranya, pemerintah hendaknya berkenan menjadi fasilitator dalam membentuk mindset Pancasila bagi Bangsa Indonesia, melalui kerjasama dengan tokoh-tokoh agama dan para motivator.
Sudah saatnya ”Pendidikan Pancasila” di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus tidak lagi sekedar memberi informasi yuridis formal, melainkan harus ditambahkan dengan unsur ”Pancasila sebagai pembentuk mindset”. Perubahan format ”Pendidikan Pancasila” di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus akan membentuk mindset Pancasila peserta didiknya (pelajar dan mahasiswa).
Ketika ”Pendidikan Pancasila” berformat mindset telah dijalankan, maka radikalisasi di NKRI dapat terus menerus dikurangi. Dengan demikian NKRI dari hari ke hari akan semakin damai, dan terorisme dapat dikikis habis. Inilah salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam gerakan nasional anti terorisme.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman dalam "Modern Sociological Theory" (2003) menjelaskan, bahwa ada kecenderungan masyarakat dunia untuk menganggap sosiologi sebagai fenomena Barat. Padahal sesungguhnya Abdulrahman Ibnu Khaldun (1332-1400) telah sejak lama mengajarkan ilmu tentang masyarakat kepada para mahasiswa atau santrinya di Universitas Al Azhar, Mesir, yang merupakan universitas tertua di dunia. Barulah kemudian pada tahun 1842 Auguste Comte (1798-1857) memberi nama bagi ilmu tentang masyarakat ini dengan sebutan "sosiologi". Pendapat yang senada sebelumnya telah disampaikan oleh Bjorn Eriksson (1993), bahkan dengan tegas Bjorn Eriksson menolak sebutan "Bapak Sosiologi" bagi Auguste Comte. Bagi seorang muslim sebenarnya tidaklah terlalu penting tentang sebutan "Bapak Sosiologi". Seorang muslim lebih mementingkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memperkenankan hadirnya seorang muslim bernama Abdulrahman Ibnu Khaldun, yang memiliki keahlian dalam sosiologi. Dengan demikian setiap muslim perlu memanfaatkan sosiologi dalam menebar nilai-nilai Islam di seluruh dunia, agar setiap manusia berkesempatan menyerap "cahaya" Islam. Agar dunia berkesempatan membangun peradaban Islam, yang memanusiakan manusia.
Saya adalah dosen pada STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) yang beralamat di Jalan Tata Bumi Nomor 5 Yogyakarta. Saya juga mengajar (Sosiologi Dakwah) di Pesantren Mahasiswa Takwinul Muballighin, yang beralamat di Desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. Saya juga pernah menjadi anggota Tim Ahli Pertanahan dan Pemetaan Kota, Dinas Pertanahan dan Pemetaan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005.
Berdasarkan kompetensi saya, saya berupaya mengembangkan Sosiologi Pertanahan di STPN, dan mengembangkan Sosiologi Dakwah di Pesantren Mahasiswa Takwinul Muballighin.
Saya memiliki seorang istri bernama Rahimah Ipa Lubis yang selalu mendukung kegiatan saya. Saya juga memiliki ayah, Untung Suharjo (almarhum), dan ibu (Sukartini). Selain itu, saya memiliki ayah mertua, Kasim Manan Lubis (almarhum), dan ibu mertua (Nurjani).
Allah SWT telah berpesan dalam QS.4:34, "Arrijaalu qawwaamuunaa 'alan nisaa-i" (laki-laki adalah pemimpin bagi wanita). Pesan ini tidak mengindikasikan diktatoriat seorang laki-laki, melainkan memerintahkan pelaksanaan sebuah tanggung jawab kepada laki-laki. Seorang laki-laki bertanggung- jawab atas semua yang berada dalam tanggungjawabnya. Bila ia sudah menikah, maka ia bertanggungjawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena itu, bila ada seorang istri yang ke luar rumah untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga, maka perlu dipertanyakan, "Sejauhmana ikhtiar suaminya, dalam memenuhi kebutuhan keluarga?" Demikian pula bila seorang anak ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka perlu dipertanyakan, "Sejauhmana ikhtiar ayahnya, dalam memenuhi kebutuhan keluarga?" Bila jawabannya adalah, "Ikhtiar suami/ayah belum maksimal!" , maka sesungguhnya laki-laki itu (suami/ayah itu) tergolong lak-laki yang dzalim. Ia telah melanggar QS.4:34, ia telah melalaikan tanggungjawabnya. Ia telah menyebabkan terjadinya eksploitasi istri/anak dalam keluarganya. Dengan demikian ia telah merusak tatanan masyarakat, karena gagal menata dan mengelola keluarganya, yang merupakan bagian dari masyarakat.
ABOUT VIETNAM WAR
NIKMATNYA BERISLAM
Allah SWT telah berfirman, bahwa Ia telah menyempurnakan nikmatNya bagi manusia, melalui ridhanya terhadap Agama Islam (lihat QS.5:3). Oleh karena itu umat manusia perlu bersyukur kepada Allah SWT, dengan cara mempelajari, dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, sebagai nilai-nilai utama (ultimate values). Selain itu, dalam rangka melestarikan nilai-nilai Islam, perlu disiapkan sebagian anggota masyarakat untuk mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh (lihat QS.9:122). Dengan demikian umat manusia mendapat kesempatan untuk menghadapkan diri dengan lurus (sebenar-benarnya) kepada Allah SWT (lihat QS.30:30). Hal ini penting karena contains Agama Islam, yang sesuai dengan fitrah (kondisi asasi) manusia. Hal ini terbukti dari substansi aqidahnya yang valid dan reliable, sebagaimana dimuat dalam QS.112:1-4). Aqidah tersebut berisikan komitmen manusia, bahwa: (1) Allah itu Maha Esa; (2) hanya kepada Allah, manusia mengharapkan dan meminta sesuatu; (3) Allah tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan; serta (4) tak ada sesuatupun yang setara denganNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar