ABOUT ISLAM

Minggu, 16 Januari 2011

CARA EFISIEN MEMILIH PEMIMPIN

Pada tahun 2010 di Indonesia telah dilaksanakan 244 Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dengan menelan biaya Rp. 4,2 triliun. Ironinya pada tahun 2010 sebanyak 31 juta dari 237 juta penduduk Indonesia berada dalam kondisi sangat miskin (miskin luar biasa).


Uniknya, pada tahun 2010 terdapat fenomena, yaitu 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. “Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu,” demikian catatan Editorial MI tanggal 20 Januari 2011.


Allah SWT mengkritik manusia dengan menyatakan, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS.5:50).


Sesungguhnya manusia saat ini (Bangsa Indonesia) perlu belajar dari fenomena penetapan Abubakar RA sebagai Khalifah Pertama setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat. Para sahabat Rasulullah Muhammad SAW memilih Abubakar RA dengan memperhatikan semangat keumatan (demi kepentingan umat) yang membutuhkan pemimpin. Oleh karena itu, para sahabat berupaya memilih pemimpin umat yang bijaksana, melalui musyawarah yang dapat mewakili kepentingan umat dalam menggapai ridha Allah SWT.


Belajar dari pemilihan Khalifah Pertama (Abubakar RA) terdapat empat kata kunci, yaitu: Pertama, “semangat keumatan”, yang identik dengan “kerakyatan”. Kedua, “bijaksana” yang merupakan kata sifat, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “kebijaksanaan”, untuk menunjukkan sesuatu yang harus dilakukan, misal: harus bijaksana; Ketiga, “musyawarah” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “permusyawaratan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga musyawarah. Keempat, “mewakili” yang merupakan kata kerja, sehingga dapat dijadikan kata benda, yaitu “perwakilan”, untuk menunjukkan perlunya dibentuk lembaga bagi para wakil umat.


Dengan demikian terdapat empat kata kunci dalam memilih pemimpin, yaitu: “Kerakyatan … kebijaksanaan … permusyawaratan … perwakilan.” Keempat kata kunci ini selanjutnya disusun dan ditambah dengan kata-kata lain sehingga berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”


Teks ini sesuai dengan sila ke-4 Pancasila, dan hal ini bukanlah kebetulan. Ketahuilah tidak ada yang kebetulan di alam semesta ini, sebab segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini berada dalam kekuasaan Allah SWT.


Dalam sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin (seorang muslim) mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan pemikirannya. Pada saat itu Muhammad Yamin berpidato dengan judul “Asas Dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yang mengusulkan dasar negara Indonesia terdiri dari: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.


Setelah berpidato Muhammad Yamin menyampaikan usul tertulis, agar dasar negara Indonesia terdiri dari: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, kebangsaan persatuan Indonesia. Ketiga, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Setelah Muhammad Yamin berpidato, berikutnya pada tanggal 31 Mei 1945 giliran Soepomo berpidato, dan kemudian dilanjutkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Soepomo menjelaskan, bahwa negara Indonesia didirikan dengan memperhatikan tiga paket pilihan, yaitu: Pertama, persatuan negara, negara serikat, atau persekutuan negara; Kedua, hubungan antara negara dan agama; Ketiga, republik atau monarki.


Sementara itu, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didirikan dengan dasar: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima dasar negara usulan Soekarno itu, atas usul Muhammad Yamin (saat itu duduk di samping Soekarno) diberi nama “Pancasila”.


Untuk menampung usulan Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang, yang dikenal dengan nama “Panitia Sembilan” yang bertugas merumuskan dasar negara untuk dimasukkan dalam Mukadimah Hukum Dasar.


Panitia Sembilan terdiri dari: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Dari sembilan orang anggota Panitia Sembilan ini hanya A.A. Maramis yang beragama Kristen, sedangkan yang delapan orang lainnya beragama Islam.


Akhirnya Pancasila disahkan menjadi dasar Negara, melalui pengesahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, di mana Pancasila dimuat pada alinea ke-4 Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.


Pada Sila Ke – 4 Pancasila dinyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Teks ini bermakna, bahwa kepentingan rakyat diperjuangankan dan dikoordinir oleh seorang pemimpin, yang dalam menjalankan tugasnya menerapkan kebijaksanaan (wisdom) melalui musyawarah dengan para wakil rakyat.


Oleh karena itu, sesungguhnya pola suksesi kepemimpinan di Indonesia bukanlah demokrasi ala Barat, melainkan pola “pemilihan khalifah”. Caranya, sebagai berikut:


Pertama, warga masing-masing RT (Rukun Tetangga) memilih Ketua RT.

Kedua, ketua-ketua RT dalam masing-masing RW (Rukun Warga) memilih Ketua RW,

Ketiga, ketua-ketua RW dalam masing-masing Kelurahan/Desa memilih Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.

Keempat, para Kepala Kelurahan dan Kepala Desa dalam masing-masing Kecamatan memilih Camat.

Kelima, para Camat dalam masing-masing Kabupaten atau Kota memilih Bupati atau Walikota.

Keenam, para Bupati dan Walikota dalam masing-masing Provinsi memilih Gubernur.

Ketujuh, para Gubernur memilih seorang Presiden.


Dalam menjalankan tugasnya Presiden berkonsultasi dengan Dewan Gubernur; sedangkan dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur, maka Gubernur berkonsultasi dengan Dewan Bupati/Walikota.


Dengan kesederhanaan sistem suksesi kepemimpinan ini, maka akan dapat dihemat uang negara sebesar ratusan triliun rupiah. Selanjutnya seluruh uang ini dapat digunakan untuk melaksanakan sebagian program pengentasan kemiskinan, di mana pada tahun 2010 saja terdapat 31 juta orang miskin.

Minggu, 09 Januari 2011

CONTINUED TO GROW

Historians often have wondered at the remarkable success of Islam and the Prophet Muhammad (peace be upon him) in forming a new society. The pace of consolidation of this society and its evolving into one of the greatest of civilizations also has been mind-boggling.


The rise of Islam is perhaps the most amazing event in human history. Springing from a land and a people previously negligible, Islam spread within a century over half the earth, shattering great empires, overthrowing long established religions, remoulding the souls of races, and building up a whole new world (the world of Islam).


As confrontation and challenge of the existing powers provided the context for the new society to expand the territories under its control, in two other respects, the size of the Muslim community and its influence continued to grow at a rather astonishingly brisk pace.


First, representatives of the Muslim community, inspired by the call of Islam to propagate the message to the rest of the world, reached distant parts of the world. Also, the Arabs originally were a trading community, and under Islam, with trade and business considered a virtue and thus emphasized, many Muslims built trade contacts across the lands and seas and even settled in other parts of the world. Indeed, trade and propagation were often inseparable.


Second, as the Islamic polity took shape and achieved consolidation and even dominance, people of other faiths and from other parts of the world often migrated to the broad Islamic polity in search of peace, security and prosperity. The new universalist polity, not racially Arab any more, attracted people from many parts of the world: Bilal (a slave from Abyssinia, now Ethiopia), Salman from Persia, Shoaib from Rome, and so on.

Minggu, 02 Januari 2011

MEMBANGUN KUALITAS PRIBADI

Setiap muslim tentu menyadari, bahwa ia harus berusaha sungguh-sungguh agar dapat mengoptimalkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya, terutama dalam menerapkan nilai-nilai Islam pada kehidupan sehari-hari. Setiap muslim harus bersungguh-sungguh, agar terhindar dari sikap dan tindakan murtad, sehingga tergolong sebagai murtaddin, yaitu manusia yang menyatakan diri dan memperagakan pemikiran, sikap, dan perilaku yang menunjukkan ia tidak lagi memeluk agama Islam.


Menjadi murtaddin merupakan bencana terbesar bagi seorang manusia, karena saat itu ia tidak lagi menjadi bagian umat yang mempertuhankan Tuhan (Allah s.w.t.), sebaliknya ia akan menjadi bagian umat yang mempertuhankan tuhan palsu (tuhan yang bukan Tuhan). Murtad bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan telah melalui proses tertentu yang sebelumnya telah dipilih oleh yang bersangkutan.


Sebagai contoh: Pertama, bila ada seorang manusia yang gemar pada hal-hal yang bersifat mistik atau klenik, yaitu konsepsi dan ritual berkomunikasi dengan alam gaib dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariat Islam. Suatu saat ia akan tergelincir dengan merasa mendapat petunjuk gaib untuk murtad, padahal kondisi ini dikarenakan ia tidak dapat lagi membedakan petunjuk sesat dengan petunjuk kebenaran;


Kedua, bila ada seorang manusia gemar mengemis bantuan, tanpa peduli dari mana bantuan tersebut berasal, dan tidak lagi memperdulikan halal atau haram bantuan yang diperolehnya. Orang semacam ini akan berpeluang menjadi murtad, karena merasa simpatik atas bantuan atau perhatian kaum kafir kepadanya. Padahal kondisi ini diawali oleh ketidak-seriusannya menjemput rizki yang diberikan Allah s.w.t. kepadanya.


Secara umum diketahui, bahwa proses menjadi murtaddin terdiri dari tahapan-tahapan, sebagai berikut: (1) tidak menghargai kecerdasan atau fathonah, (2) sehingga ia mengalami proses pembodohan personal; (3) sejak itu ia tidak ingin mengetahui kebenaran; (4) dan enggan memahami Islam; (5) akibatnya ia tidak faham Islam; (6) dan tidak faham kebenaran dan keindahan nilai-nilai Islam; (7) bahkan ia terkesima dengan kebenaran versi manusia dan keindahan dunia; dan akhirnya (8) ia menjadi murtad.


Oleh karena itu setiap muslim wajib menjaga dan meningkatkan kualitas pribadi, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad s.a.w. Dengan kata lain setiap muslim wajib memiliki kualitas pribadi, yang: (1) fathonah atau cerdas, (2) amanah atau dapat dipercaya, (3) shiddiq atau obyektif, (4) tabligh atau informatif, (5) istiqomah atau konsisten, (6) ikhlas atau tulus hati, dan (7) ridha atau lapang dada.


Berbekal kualitas pribadi yang tinggi, maka setiap muslim dapat hidup dalam koridor nilai-nilai Islam, yaitu akidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak. Dengan bekal ini insyaAllah setiap muslim dapat memberi kontribusi dalam membangun peradaban Islam, yang: (1) transenden atau meruhani, yaitu mempertuhankan Allah s.w.t.; (2) humanis atau sesuai fitrah manusia; dan (3) emansipatori atau bersifat pembebasan manusia dari nilai-nilai jahiliah tradisional dan modern.

Minggu, 26 Desember 2010

EACH AND EVERY ASPECT

Islam is a complete and comprehensive religion. The comprehensiveness available in Islam is not found in any religion of the world. This is because there is not a single moment in the life of man i.e. from his first breath till his last breath in this world, wherein Islam has failed to provide any command for his benefit.


Islam has explained the simplest and the most ordinary things of life. Islam has provided direction for keeping and clipping nails, manners for entering and exiting the house, the etiquette for sitting on dining cloth, picking up a morsel and even chewing the morsel. Also, it has been explained where a person should look while having his food, while reciting prayers or while walking on the road... In brief, Islam has explained each and every aspect related to human life. There is not a single affair of humans which has been neglected by Islam.


On one hand, Islam has given the explanation of each and every necessity of human beings; on the other hand, the commands are in their simplest form so that they can be acted on very easily. The Prophet Muhammad said: “I have brought simple and easy Shariat (laws).” Therefore, all the rules of holy Islam are easy to act upon. Also, Allah has not put any obligations on man which are beyond his capacity to fulfill.


The question before us is that - when Allah has not made anything binding on a human which is beyond his capacity and Holy Prophet (s.a.w.a.) has brought simple and easy Shariat - then why is it difficult for us to act on the laws of Islam? And why is worship associated to few things?


The most important reason for the above is not being aware of the laws of Islam and the other significant reason being negligence. We have not paid heed to the fact that Islam has provided laws for each and every aspect of human life. This negligence is the cause of our not knowing the laws of Islam.


Islam has condemned heedlessness and ignorance. Islam has ordered people to refer to scholars for things about which they are ignorant. The scholars have been ordered to make the reality of things clear to those who inquire from them. Allah has never kept the earth void of His Proof so that people may contend that if they would have known the command they would have definitely acted on it.

Sabtu, 18 Desember 2010

MAKHLUK CIPTAAN ALLAH SWT

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT, ia (manusia) diciptakan dari tiada menjadi ada (lihat QS.76:1-2). Manusia setelah Nabi Adam AS memiliki korelasi genetik dengan Nabi Adam AS, karena Nabi Adam AS merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT, sedangkan manusia-manusia sesudahnya merupakan hasil reproduksi dari Nabi Adam AS dan keturunannya.


Penciptaan manusia oleh Allah SWT diketahui memiliki empat varian, yaitu: Pertama, penciptaan Adam AS yang memiliki keunikan, karena diciptakan dari tanah yang selanjutnya disempurnakan kejadiannya dan dilengkapi dengan ruh ciptaan Allah SWT (lihat QS.3:59);


Kedua, penciptaan Hawa (istri Nabi Adam AS) yang memiliki keunikan, karena diciptakan dari diri Adam AS (lihat QS.4:1). Penciptaan Hawa ini sekaligus memberi hikmah, tentang pentingnya suami istri bersatu dalam nilai-nilai Islam.


Ketiga, penciptaan Isa AS yang memiliki keunikan, karena diciptakan oleh Allah SWT tanpa melalui proses reproduksi sebagaimana manusia pada umumnya. Isa a.s. lahir dari seorang wanita suci bernama Maryam, yang tidak pernah “disentuh” laki-laki (lihat QS.4:171 dan QS.19:20).


Keempat, penciptaan manusia pada umumnya melalui proses reproduksi (lihat QS.23:12-14). Penciptaan ini memberi peluang bagi upaya mempertahankan eksistensi manusia di alam semesta, dalam rangka menjalankan nilai-nilai Islam.


Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, manusia harus berpegang pada aqidah, bahwa Tuhan semesta alam adalah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT (lihat QS.112:1-4). Oleh karena itu kehadiran manusia di dunia memiliki dua tugas utama, yaitu: Pertama, beribadah atau berbakti kepada Allah SWT (lihat QS.51:56). Kedua, menjadi rahmat bagi alam semesta atau rahmatan lil’alamiin (lihat QS.21:107).


Sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan tugasnya, manusia harus dapat mengelola alam semesta dengan sebaik-baiknya. Untuk itu manusia harus memiliki kualitas yang baik (fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh), agar ia dapat mengelola alam semesta dengan baik.


Salah satu indikator manusia yang berkualitas baik, adalah ketika ia mampu menata emosinya. Kemampuan ini akan memberi kontribusi pada manusia yang bersangkutan untuk secara optimal mengelola alam semesta.


Dengan demikian manusia dapat memberi makna dalam kehadirannya di alam semesta, dan benarlah kehendak Allah SWT yang berkenan menciptakan manusia. Hal ini sekaligus merupakan wujud rasa syukur manusia kepada Allah SWT.

Minggu, 12 Desember 2010

MAN AS GOD DEPUTY

The Holy Quran indicates that Allah (God) has created man as His deputy on earth to enjoy and protect God’s creation. Behold, thy Lord said to the angels; “I will create a vicegerent on earth” (Quran, 2:30); “It is He who hath made you the inheritors of the earth” (Quran, 6:165).


In Islam, the earth and its resources belong to Allah, and moslems are obligated to protect these resources for future generations. Consequently, Islamic norms will not allow one to benefit from these resources and impose cost on others. A complete application of Islamic norms will eliminate the problem of negative externalities and provide a safeguard for environmental protection.



It is important to remember that Islamic economics is of a normative form. Thus, the use of these resources is subject to Islamic norms of moderation and avoidance of wastefulness. The earth and its resources must be protected for all generations to come. In a few words, Islamic social justice demands intergenerational equity as well. This suggests that while we are allowed to use these resources for our own benefits, we must also protect them for our progeny. Consequently, Islamic economics could resolve a major problem that has preoccupied Western economists for a long time, namely, the problem of negative externalities and its impact on the environment.



In Islam, ownership in an absolute sense belongs to Allah. The earth and its natural resources are Allah’s blessings that He has mercifully made available to mankind for his/her sustenance. Allah said: (1) “To Allah belongs al that the heavens and earth contain” (Quran, 2:284); “Do you not see how He has subdued to you all that is in the earth?” (Quran, 22:65); “He has subjected to you what the heavens and the earth contain; all is from Him” (Quran, 45:13).



We have already established that absolute ownership belongs to Allah, and human beings are His trustees and care takers who have the right to use and enjoy the earth and its resources and yet they must protect and preserve it for future generations. Therefore, one can argue that Islam has pragmatically established the limited right of private ownership as a system of rewards and incentives to motivate individuals in their trusteeship function. Then, private ownership is God’s reward for those who fulfill their obligations.

Sabtu, 04 Desember 2010

HIJRAH DARI DUNIA JAHILIAH

Tak terasa umat manusia segera memasuki tahun 1432 Hijriah, yang memiliki makna perpindahan masa, dari masa sebelumnya ke masa berikutnya. Dalam konteks dunia, kepindahan ini sekaligus juga bermakna sebagai kepindahan dari situasi dan kondisi jahiliah (kegelapan) menuju ke situasi dan kondisi yang mencerahkan dalam temaram cahaya Islam.


Situasi dan kondisi jahiliah adalah suatu situasi dan kondisi yang dipenuhi oleh kemaksiatan di segala bidang. Pada tataran dunia (global), umat manusia berada pada situasi dan kondisi yang sesat, jenuh, membosankan, dan menyesakkan dada. Perzinahan dengan lawan jenis telah jenuh dan membosankan bagi para penggemar maksiat, sehingga mereka menciptakan perzinahan sejenis.


Kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme telah menjadi pedoman hidup masyarakat jahiliah, yang dengan senang hati mereka rasukkan pada semua aspek kehidupan. Akibatnya, kemusyrikan dan aliran sesat dipuja-puja, riba menjadi basis kegiatan usaha, kebejatan menjadi moralitas teragung, serta pejajahan dan imperialisme menjadi sandaran hubungan internasional.


Oleh karena itu, pada tahun 1432 Hijriah, sudah selayaknya umat manusia di dunia berbondong-bondong menjemput cahaya Islam. Sudah saatnya umat manusia menerapkan tata nilai yang transenden (meruhani), humanis (sesuai fitrah manusia), dan emansipatoris (membebaskan manusia dari kejahiliahan). Tata nilai inilah yang disediakan oleh cahaya Islam, namun dibenci oleh warga jahiliah.


Bagi umat manusia yang telah menyadari keburukan nilai-nilai jahiliah, marilah secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hiduplah dengan aqidah yang benar, agar ibadah yang dilaksanakan diridhai Allah SWT, dan dapat bermuamallah dengan saling memuliakan, melalui tata nilai yang berbasis pada adab yang shahih, dan akhlak terpuji.


Hiduplah dengan fathonah (cerdas), amanah (dapat dipercaya), shiddiq (obyektif), dan tabligh (informatif), agar substansi hidup yang dijalani dapat rahmatan lil’alamiin, sebagai salah satu wujud ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.


Bila setiap individu berkenan berhijrah dari kejahiliahan menuju cahaya. Bila setiap individu berkenan berhijrah dari kegelapan menuju Islam. InsyaAllah, secara kolektif kualitas umat manusia akan semakin baik, sehingga kehidupan umat manusia akan semakin indah, dan keridhaan Allah SWT akan semakin mudah diperoleh.


Bila para pemimpin dunia berkenan berhijrah dari kejahiliahan menuju cahaya, maka tidak akan ada lagi eksploitasi atas negara berkembang atau negara miskin oleh negara-negara maju. Tidak akan ada lagi pemimpin negara berkembang atau negara miskin yang bersedia menghamba pada negara-negara maju. InsyaAllah…….