Hari - hari terakhir ini, media massa memberitakan adanya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengkoordinir demonstrasi menentang pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu, ketika diwawancarai beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang turut merumuskan undang-undang tersebut menjelaskan, bahwa mereka yang menentang pengesahan undang-undang tersebut belum sungguh-sungguh memahami substansinya.
Kesemua ini menjadi bukti gugurnya adagium hukum, "Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan." Adagium seperti ini sungguh-sungguh tidak mendasar, sebab jika ingin mendengar "suara" Tuhan bukanlah dengan mendengar suara rakyat, melainkan dengan cara membaca Al Qur'an. Seorang pemimpin yang mendengar "suara" Tuhan melalui Al Qur'an, insyaAllah dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat dunia dan akherat bagi rakyatnya. Sekalipun rakyatnya tidak mengetahuinya.
Bila seorang pemimpin tinggal di Las Vegas, Amerika Serikat, yang merupakan kota maksiat (ada pelacuran, perjudian, mabuk-mabukan, dan maksiat-maksiat lainnya), maka bila ia menerapkan adagium hukum, "Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan," maka tentulah pemimpin tersebut akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan "suara" Tuhan yang sesungguhnya.
Dalam konteks Undang-Undang Anti Pornografi, maka sudah dapat diketahui, bahwa mereka yang menentangnya, adalah rakyat yang menentang "suara" Tuhan. Sebab perintah Tuhan dalam Kitab SuciNya, Al Qur'an adalah, jangan melakukan maksiat, termasuk pornografi dan berbagai turunannya.
Oleh karena itu para Lembaga Swadaya Masyarakat yang menentang Undang-Undang Anti Pornografi adalah institusi pendukung maksiat, yang menentang "suara" Tuhan. Oleh karena itu Tuhan, yaitu Allah SWT, berpesan, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik (penentang Allah SWT) dengan suatu berita (bujukan, atau provokasi), maka selidikilah, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum (masyarakat) tanpa mengetahui (menyadari) keadaannya. Kemudian kamu (akan) menyesal atas perbuatanmu itu" (QS.49:6)
Kesemua ini menjadi bukti gugurnya adagium hukum, "Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan." Adagium seperti ini sungguh-sungguh tidak mendasar, sebab jika ingin mendengar "suara" Tuhan bukanlah dengan mendengar suara rakyat, melainkan dengan cara membaca Al Qur'an. Seorang pemimpin yang mendengar "suara" Tuhan melalui Al Qur'an, insyaAllah dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat dunia dan akherat bagi rakyatnya. Sekalipun rakyatnya tidak mengetahuinya.
Bila seorang pemimpin tinggal di Las Vegas, Amerika Serikat, yang merupakan kota maksiat (ada pelacuran, perjudian, mabuk-mabukan, dan maksiat-maksiat lainnya), maka bila ia menerapkan adagium hukum, "Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan," maka tentulah pemimpin tersebut akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan "suara" Tuhan yang sesungguhnya.
Dalam konteks Undang-Undang Anti Pornografi, maka sudah dapat diketahui, bahwa mereka yang menentangnya, adalah rakyat yang menentang "suara" Tuhan. Sebab perintah Tuhan dalam Kitab SuciNya, Al Qur'an adalah, jangan melakukan maksiat, termasuk pornografi dan berbagai turunannya.
Oleh karena itu para Lembaga Swadaya Masyarakat yang menentang Undang-Undang Anti Pornografi adalah institusi pendukung maksiat, yang menentang "suara" Tuhan. Oleh karena itu Tuhan, yaitu Allah SWT, berpesan, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik (penentang Allah SWT) dengan suatu berita (bujukan, atau provokasi), maka selidikilah, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum (masyarakat) tanpa mengetahui (menyadari) keadaannya. Kemudian kamu (akan) menyesal atas perbuatanmu itu" (QS.49:6)